Lebih dari 1.000 Anak di Gaza Diamputasi Anggota Tubuhnya
loading...
A
A
A
“Tidak hanya mereka diamputasi tanpa anestesi, namun banyak dari mereka yang diamputasi dengan cara yang sangat cepat,” ungkap dia.
“Sekitar setengah dari daftar operasi saya, yaitu sekitar 10 hingga 12 kasus setiap hari… adalah anak-anak,” ungkap Dr Ghassan Abu Sitta, ahli bedah yang berbasis di London yang melakukan perjalanan ke Gaza untuk merawat pasien di tengah serangan Israel yang sedang berlangsung, mengatakan dalam konferensi pers pada bulan November.
“Suatu malam, di RS Al-Ahli saya melakukan amputasi terhadap enam anak,” ungkap dia.
Dalam wawancara dengan Middle East Eye, Sittah mengatakan, “Harus melakukan operasi ini tanpa anestesi adalah salah satu hal tersulit yang harus saya lakukan dalam karier saya."
Sebelum perang di Gaza saat ini, 12% anak-anak Palestina berusia dua hingga 17 tahun menghadapi satu atau lebih kesulitan fungsional, sementara 21% rumah tangga di Gaza memiliki setidaknya satu anggota keluarga yang menderita cacat fisik atau mental.
Menurut PCRF, sebelum terjadinya serangan brutal Israel saat ini, Gaza sudah menderita “krisis amputasi”.
Pengepungan Israel yang sedang berlangsung di daerah kantong tersebut, yang secara ketat mengontrol arus orang, peralatan medis dan obat-obatan masuk dan keluar dari wilayah tersebut, membuat evakuasi korban luka ke rumah sakit yang lebih lengkap di Tepi Barat seringkali tidak mungkin dilakukan.
Hambatan terhadap akses layanan kesehatan sedemikian rupa sehingga PBB mendefinisikan “individu yang membutuhkan rujukan medis” sebagai kelompok rentan dalam populasi Palestina.
Menurut PCRF, banyak warga Palestina yang berisiko terkena osteomielitis (infeksi tulang) setelah cedera jika perawatan medis tertunda.
Kurangnya sumber daya medis dan pembatasan pergerakan di wilayah yang terkepung menyebabkan banyak cedera yang dapat diobati, memerlukan amputasi.
“Sekitar setengah dari daftar operasi saya, yaitu sekitar 10 hingga 12 kasus setiap hari… adalah anak-anak,” ungkap Dr Ghassan Abu Sitta, ahli bedah yang berbasis di London yang melakukan perjalanan ke Gaza untuk merawat pasien di tengah serangan Israel yang sedang berlangsung, mengatakan dalam konferensi pers pada bulan November.
“Suatu malam, di RS Al-Ahli saya melakukan amputasi terhadap enam anak,” ungkap dia.
Dalam wawancara dengan Middle East Eye, Sittah mengatakan, “Harus melakukan operasi ini tanpa anestesi adalah salah satu hal tersulit yang harus saya lakukan dalam karier saya."
Krisis Amputasi
Sebelum perang di Gaza saat ini, 12% anak-anak Palestina berusia dua hingga 17 tahun menghadapi satu atau lebih kesulitan fungsional, sementara 21% rumah tangga di Gaza memiliki setidaknya satu anggota keluarga yang menderita cacat fisik atau mental.
Menurut PCRF, sebelum terjadinya serangan brutal Israel saat ini, Gaza sudah menderita “krisis amputasi”.
Pengepungan Israel yang sedang berlangsung di daerah kantong tersebut, yang secara ketat mengontrol arus orang, peralatan medis dan obat-obatan masuk dan keluar dari wilayah tersebut, membuat evakuasi korban luka ke rumah sakit yang lebih lengkap di Tepi Barat seringkali tidak mungkin dilakukan.
Hambatan terhadap akses layanan kesehatan sedemikian rupa sehingga PBB mendefinisikan “individu yang membutuhkan rujukan medis” sebagai kelompok rentan dalam populasi Palestina.
Menurut PCRF, banyak warga Palestina yang berisiko terkena osteomielitis (infeksi tulang) setelah cedera jika perawatan medis tertunda.
Kurangnya sumber daya medis dan pembatasan pergerakan di wilayah yang terkepung menyebabkan banyak cedera yang dapat diobati, memerlukan amputasi.