Kejahatan Perang! 43 Warga Palestina Tewas Sekejap oleh Bom AS yang Ditembakkan Israel

Jum'at, 08 Desember 2023 - 00:02 WIB
loading...
Kejahatan Perang! 43 Warga Palestina Tewas Sekejap oleh Bom AS yang Ditembakkan Israel
Sebanyak 43 warga sipil Palestina tewas dalam sekejap oleh dua serangan udara Israel di Gaza, Oktober lalu. Serangan itu menggunakan bom presisi buatan Amerika Serikat, Joint Direct Attack Munition (JDAM). Foto/US Air Force
A A A
GAZA - Sebanyak 43 warga sipil Palestina tewas dalam sekejap oleh dua serangan udara Israel di Gaza pada bulan Oktober. Serangan itu diketahui menggunakan senjata presisi buatan Amerika Serikat (AS), Joint Direct Attack Munition (JDAM).

Itu merupakan temuan Amnesty International, yang menyimpulkannya sebagai salah satu kejahatan perang yang nyata.

Penemuan pecahan senjata di reruntuhan rumah terjadi ketika penyelidikan terpisah mengungkap bahwa AS telah mengirimkan pesanan rudal berpemandu presisi ke Israel sejak 7 Oktober.

Lembaga non-profit Women for Weapons Trade Transparency (W2T2) yang berbasis di AS, mengutip sumber Departemen Luar Negeri, melaporkan bahwa para pejabat AS telah menerapkan bagian dari Undang-Undang Otorisasi Pertahanan Nasional tahun 2021 untuk mengizinkan transfer rudal.



W2T2 telah meminta AS untuk segera menghentikan pengiriman rudal berpemandu presisi ke Israel, dan Amnesty menyerukan agar serangan tersebut diselidiki sebagai kejahatan perang.

“Fakta bahwa amunisi buatan AS digunakan oleh militer Israel dalam serangan melanggar hukum dengan konsekuensi mematikan bagi warga sipil harus menjadi peringatan mendesak bagi pemerintahan [Presiden Joe] Biden,” kata Agnes Callamard, Sekretaris Jenderal Amnesty International, seperti dikutip Middle East Eye (MEE), Kamis (7/12/2023).

Lillian Mauldin, anggota dewan pendiri W2T2 dan peneliti di Pusat Kebijakan Internasional, mengatakan anggota Parlemen AS harus menekan Departemen Luar Negeri untuk lebih memahami amunisi apa yang telah dikirim dan di bawah otoritas apa.

“Kondisi seperti kepatuhan terhadap ketentuan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-Undang Kontrol Ekspor Senjata dan kepatuhan terhadap hukum kemanusiaan internasional harus ditempatkan pada bantuan keamanan ke Israel,” kata Mauldin.

Departemen Luar Negeri AS tidak menanggapi permintaan komentar Middle East Eye pada saat berita ini diterbitkan.

”Hidup Kami Hancur dalam Sekejap”


Amnesty mengatakan dua serangan udara yang menjadi inti laporannya menghantam rumah-rumah yang dipenuhi warga sipil, dan para penyelidik mengumpulkan rincian dari citra satelit, pecahan yang ditemukan di reruntuhan dan wawancara dengan anggota keluarga yang selamat.

Amnesty mengatakan pihaknya tidak menemukan bukti adanya sasaran atau target militer di salah satu lokasi tersebut, sehingga meningkatkan kekhawatiran bahwa serangan tersebut “merupakan serangan langsung terhadap warga sipil atau objek sipil”.



“Bahkan jika terdapat sasaran militer yang sah di sekitar bangunan yang terkena serangan, serangan ini gagal membedakan antara sasaran militer dan sasaran sipil,” kata Amnesty. “Serangan tanpa pandang bulu yang membunuh atau melukai warga sipil merupakan kejahatan perang.”

Serangan pertama terjadi pada malam tanggal 10 Oktober, ketika serangan udara Israel menghantam kediaman Al-Najjar di Deir al-Balah, sebuah kota di Gaza tengah, menewaskan 21 anggota keluarga dan tiga tetangganya.

Suleiman Salman Al-Najjar (48), seorang penjual mobil dan pemilik bengkel, kehilangan istrinya, Susanne, dan empat anaknya, Farah (23), Nadim (20), Yazan (14), dan putrinya yang berusia 17 bulan, Safa .

Najjar sedang pulang ke rumah setelah menerima perawatan di rumah sakit karena masalah ginjalnya ketika dia mendengar ledakan dan segera mengetahui rumahnya telah dibom.

"Saya bergegas pulang dan melihat pemandangan yang hancur total. Saya tidak dapat mempercayai mata saya. Semua orang berada di bawah reruntuhan. Rumah itu hancur lebur. Mayat-mayat hancur berkeping-keping," katanya kepada Amnesty.

“Hanya jenazah anak saya Nadim yang ditemukan utuh. Bayi perempuanku, Safa, kami hanya menemukan tangannya."

Najjar kini tinggal bersama dua putranya yang masih hidup di tenda dekat reruntuhan rumahnya.

"Hidup kami hancur dalam sekejap. Keluarga kami hancur. Sesuatu yang tidak terpikirkan kini menjadi kenyataan," katanya.

Serangan kedua terjadi pada 22 Oktober sekitar tengah hari, ketika serangan udara Israel menghantam tiga rumah di utara Deir al-Balah milik keluarga Abu Mu'eileq, menewaskan 18 anggota keluarga dan tetangganya.

Bakir Abu Mu'eileq, seorang dokter spesialis telinga, hidung dan tenggorokan, kehilangan istrinya, Islam (34), dan empat anak mereka, Do'a (16), Ghanem (14), Mohamed (12), dan Lama (11).

Abu Mu'eileq mengatakan kepada Amnesty bahwa dia dan kerabatnya "fokus pada keluarga dan pekerjaan kami dan jauh dari politik".

"Kami dokter para ilmuwan dan peneliti, dan fokus kami adalah menjalani kehidupan yang baik dan membangun masa depan yang baik bagi anak-anak kami,” katanya. “Kami tidak mengerti mengapa rumah kami dibom.”

Menurut Amnesty, tanda-tanda khas pada pecahan yang ditemukan di kedua lokasi tersebut menunjukkan bahwa pecahan tersebut merupakan bagian dari kerangka yang mengelilingi badan bom Joint Direct Attack Munition (JDAM), sebuah peralatan yang dapat mengubah bom "jatuh bebas" menjadi rudal berpemandu presisi.

Pada potongan yang ditemukan, penyelidik menemukan kode yang menurut Amnesty terkait dengan pabrikan Boeing yang berbasis di AS.

Boeing merujuk MEE ke Departemen Pertahanan untuk memberikan komentar, yang kemudian merujuk MEE ke sebuah pengarahan pada hari Selasa di mana juru bicara Pentagon mengatakan bahwa laporan Amnesty sedang ditinjau.

“Kami akan terus berkonsultasi erat dengan mitra Israel kami mengenai pentingnya mempertimbangkan keselamatan warga sipil dalam melakukan operasi mereka,” kata juru bicara Pentagon Brigadir Jenderal Pat Ryder.

Senjata Pilihan Israel


W2T2 mengatakan rudal berpemandu presisi, seperti yang dikutip dalam laporan Amnesty, telah menjadi “senjata pilihan Israel” dalam serangan terbarunya di Gaza.

Sembilan puluh persen senjata yang digunakan militer Israel dalam dua minggu pertama setelah tanggal 7 Oktober adalah bom yang dipandu satelit dengan berat antara 1.000 dan 2.000 pon, kata mereka.

Selain serangan yang menjadi fokus Amnesty, para ahli senjata mengatakan mereka yakin Israel menyerang kamp pengungsi Jabalia yang padat penduduk pada tanggal 31 Oktober dan 1 November dengan menggunakan rudal berpemandu presisi, yang menewaskan sedikitnya 195 orang.

Mengutip sumber Departemen Luar Negeri, W2T2 melaporkan pada hari Selasa bahwa para pejabat AS telah terburu-buru melakukan transfer rudal dalam dua bulan terakhir, mengutip Undang-Undang Otorisasi Pertahanan Nasional tahun 2021.

Pasal 1275 undang-undang tersebut mengizinkan pemindahan rudal tanpa batas dari persediaan AS ke Israel tanpa pemberitahuan Kongres jika terjadi keadaan darurat, dan dengan asumsi hal itu demi kepentingan keamanan nasional Amerika dan “kesiapan tempur” AS tidak akan dikompromikan.

“Kami tahu bahwa Gedung Putih telah menggunakan pembenaran darurat untuk mengabaikan pemberitahuan dan tinjauan Kongres sejauh ini, sehingga sangat mungkin bahwa pembenaran darurat juga digunakan dalam proses ini untuk tujuan yang sama,” kata Mauldin.

Dia mengatakan kecil kemungkinan masyarakat akan mengetahui jumlah dan nilai pasti dari rudal berpemandu presisi yang dikirim ke Israel, mengingat kurangnya transparansi seputar senjata yang dijual atau ditransfer AS secara internasional.
(mas)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1638 seconds (0.1#10.140)