Tekad Xi Jinping Jadikan China Kekuatan Dunia Terhambat Isu Internal PLA
loading...
A
A
A
BEIJING - Presiden Xi Jinping meyakini bahwa militer yang kuat diperlukan jika China ingin menjadi negara adidaya. Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA) merupakan alat milik Xi untuk membangun tatanan dunia yang berpusat pada China.
Xi Jinping berupaya membangun PLA menjadi kekuatan militer modern dan kelas dunia dalam waktu singkat. Sesuai dengan panduannya, PLA harus memiliki sistem mekanisasi (dengan senjata dan peralatan), sistem informasi (kemampuan perang informasi), dan kecerdasan (kecerdasan buatan dalam perencanaan militer) pada tahun 2027.
Xi Jinping ingin PLA dimodernisasi secara komprehensif di tahun 2035, dan pada 2049, China didorong harus menjadi kekuatan kelas dunia.
Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, pengeluaran pertahanan yang besar merupakan hal lumrah di China, dengan didukung strategi gabungan militer-sipil yang ambisius. Peralatan pertahanan berteknologi tinggi dengan harga mahal terus dimasukkan ke PLA dalam kecepatan yang sangat tinggi.
Deretan roket, rudal, pesawat terbang, dan kapal baru di angkatan bersenjata China tentu saja mengesankan. Perangkat keras baru berkualitas tinggi dengan kemampuan yang dipublikasikan secara luas dan dianggap menakutkan ini menarik perhatian global dan domestik. Hal ini memungkinkan aparat China untuk mengukur dan dengan mudah memproyeksikan gambaran tak terkalahkannya PLA.
Namun, menurut Letnan Jenderal (Purnawirawan) PR Shankar dari India, ada realitas lain di balik itu.
Mengutip dari laman Eurasian Times pada Rabu (6/12/2023), Shankar mengatakan bahwa beberapa laporan terbaru menunjukkan Xi Jinping khawatir terhadap PLA. Xi Jinping dinilai khawatir atas keandalan politik, kemampuan mobilisasi, dan kemampuan PLA untuk berperang dan memenangkan pertempuran. Hal terpenting, ada pertanyaan mengenai kepemimpinan dan kemampuan komando PLA.
Selalu ada keraguan terhadap PLA sejak zaman Mao Zedong. Masalah loyalitas PLA muncul di era Mao Zedong hingga Lin Biao. Isu ini berakhir dengan jatuhnya pesawat yang menewaskan Lin Biao, seperti peristiwa yang menimpa bos tentara bayaran Wagner Group Yevgeny Prigozhin di Rusia.
Pada masanya, bahkan Deng Xiaoping—bapak China modern—mengungkapkan keraguannya terhadap PLA dengan slogan "Dua Ketidakmampuan”. Hal ini berkaitan dengan ketidakmampuan PLA untuk bertempur dalam perang modern dan ketidakmampuan kadernya (terutama perwira) di semua tingkatan untuk memimpin peperangan kontemporer.
Pada 2006, mantan presiden China Hu Jintao mengungkapkan pandangannya tentang "Dua Ketidakcocokan" dari PLA. Tingkat modernisasi PLA dinilai tidak memenuhi persyaratan untuk memenangkan perang lokal dalam kondisi "terinformasi”, dan kemampuan militernya tidak memenuhi persyaratan untuk melaksanakan misi-misi historis.
Memasuki 2013, Xi Jinping menghidupkan kembali "Dua Ketidakmampuan" ala Deng dan menambahkan "Dua Kesenjangan Besar" terkait PLA.
Kesenjangan pertama adalah antara tingkat modernisasi militer PLA dan persyaratan keamanan nasional dibandingkan dengan militer-militer maju di dunia. Kesenjangan kedua adalah kekhawatiran kemampuan tempur PLA secara umum dibandingkan militer maju lainnya.
Satu tahun kemudian, Xi Jinping berbicara tentang "Tiga Apakah" — Apakah PLA dapat mempertahankan kepemimpinan absolut Partai (Komunis China); Apakah PLA dapat berperang dengan kapasitas penuh saat diperlukan; dan Apakah para komandan di semua tingkat kompeten untuk memimpin pasukan dan perintah dalam perang.
Di tahun 2015, Xi Jinping menargetkan kepemimpinan PLA dengan pemikirannya tentang "Lima Ketidakmampuan”. Lima poin ini merujuk pada perwira yang tidak dapat menilai situasi, memahami niat otoritas yang lebih tinggi, membuat keputusan operasional, mengerahkan pasukan, dan menghadapi situasi tak terduga. Penulis terkenal Dennis J Blasko telah menyoroti kelima poin tersebut dalam artikel berjudul "War On The Rocks."
"Dua Ketidakmampuan”, "Dua Ketidaksesuaian”, "Dua Kesenjangan Besar”, "Tiga Apakah”, dan "Lima Ketidakmampuan" yang diungkapkan para pemimpin China menimbulkan sebuah masalah. Bagi para pemimpin yang selalu menaruh keyakinan mereka dan mengandalkan PLA untuk menyampaikan pesan-pesan politik untuk mengungkapkan pemikiran seperti itu adalah hal membingungkan bagi pihak luar.
Hal ini terutama terjadi ketika PLA merupakan inti dari inisiatif global China–Keamanan, Pembangunan, dan Peradaban. Namun, analisis yang lebih mendalam terhadap PLA menunjukkan bahwa PLA merupakan kekuatan besar dengan kelemahan signifikan.
Ketika berupaya bertransformasi menjadi tentara modern sesuai keinginan Xi Jinping, PLA harus mengatasi berbagai masalah besar. Sebuah studi di balik kedok slogan “tak terkalahkan” yang dibangun propaganda China menunjukkan bahwa PLA telah memasuki keadaan yang terus berubah di mana sebagian besar landasan fungsinya selalu "baru”.
PLA adalah kekuatan yang terus-menerus memiliki tentara baru, pemimpin baru, peralatan baru, peran baru, dan organisasi baru dan diharapkan dapat tampil di medan perang baru. Shankar mengatakan semua faktor “baru” ini menjadikan PLA sebagai kekuatan dengan "Enam Ketidakmampuan Baru."
Sebagian warga China di era kebijakan “anak tunggal” menentang pendaftaran militer secara sukarela. Padahal, PLA bergantung pada wajib militer. Wajib militer bertugas selama dua tahun. Pada waktu tertentu, sepertiga dari pasukan nasional China terdiri dari wajib militer dengan masa kerja kurang dari dua tahun.
Seperti di angkatan bersenjata mana pun, semua prajurit baru yang tidak berpengalaman ini harus dikirim ke unit garis depan. Mereka tidak dapat dikirim ke unit khusus atau dikerahkan untuk tugas-tugas kompleks. Di saat yang sama, para tentara baru ini juga diharapkan mampu menangani persenjataan berteknologi tinggi dan peralatan terkini di medan yang sulit dan menanggung beban tindakan musuh jika terjadi perang.
Bagaimanapun, motivasi para prajurit baru China untuk “berkorban demi negara” patut dipertanyakan. Secara keseluruhan, segala sesuatunya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, unit-unit garis depan tidak dapat memiliki kemampuan profesional atau siap tempur.
Hal yang lebih penting lagi, para senior dari prajurit muda ini juga berasal dari generasi “anak tunggal” yang tidak memiliki banyak pengalaman bertempur. Oleh karena itu, PLA berada dalam situasi di mana mereka terus-menerus memiliki tentara baru karena tingginya pergantian tentara tanpa keahlian, motivasi, atau kepemimpinan yang memadai dalam unit-unit mutakhir.
Ada laporan yang dapat dipercaya bahwa sejumlah tentara China telah meninggalkan pos mereka dan melarikan diri dalam situasi sulit di misi PBB. Perang yang terjadi baru-baru ini juga telah membuktikan bahwa kehadiran tentara di lapangan sangatlah penting, dan bahwa teknologi saja tidak akan bisa memenangkan pertempuran.
Kinerja wajib militer muda dan tidak berpengalaman dalam perang Ukraina dan konflik Israel-Hamas yang sedang berlangsung dipastikan membuat para perencana militer China tidak bisa tidur. Kondisi selalu memiliki “Tentara Baru” ini merupakan ketidakmampuan konstan dari PLA.
Xi Jinping telah membacakan aturan-aturan tertentu ke jajaran pimpinan PLA. Dia tampaknya tidak mempercayai kesetiaan pimpinan angkatan bersenjatanya sendiri. Akibatnya, PLA tidak dipimpin dan dikelola dengan baik. Hal ini terlihat dari fakta bahwa dua menteri pertahanan China berturut-turut telah disingkirkan.
Saat ini, China bahkan belum memiliki menteri pertahanan. Pimpinan puncak PLARF (Pasukan Roket Tentara Pembebasan Rakyat) baru di China telah disingkirkan secara besar-besaran. Pembatasan ketat telah diterapkan pada kepemimpinan PLA (dulu dan sekarang). Hal ini membuat kepemimpinan di PLA terlihat seperti komidi putar.
Misalnya, seseorang bisa dipromosikan karena terjadi pembersihan internal secara terus-menerus di PLA. Seseorang juga bisa dipromosikan karena ekspansi PLA yang cepat dan pengenalan peralatan baru. Hal ini terutama berlaku pada Angkatan Laut China yang berkembang pesat.
Akibatnya, akan selalu ada pemimpin-pemimpin baru di PLA yang tidak memiliki pengalaman kepemimpinan yang diperlukan, dan satu-satunya kualifikasi untuk berada di sana adalah loyalitas atau ditempatkan di sana karena tidak ada orang lagi. Hal ini diperkuat laporan yang menunjukkan bahwa PLA tidak memiliki cukup pilot atau kapten kapal.
Oleh karena itu, situasi keseluruhan di PLA adalah pemimpin baru terus hadir untuk memimpin prajurit baru. Ini bukan situasi baik untuk kekuatan militer mana pun. Hal di dalam PLA ini sepertinya tidak akan berubah.
Siklus waktu untuk pengenalan peralatan baru hampir merupakan standar untuk semua militer profesional. Jika siklus ini diperpendek maka akan timbul masalah. Tingkat masuknya peralatan baru ke dalam PLA harus sangat tinggi karena ekspansi dan modernisasi.
Peralatan modern yang segera digunakan dalam militer tidak akan efektif karena masalah penyesuaian dan kurangnya pengalaman pemeliharaan. Jika peralatan ini berkualitas buruk, masalahnya akan semakin parah.
Fakta bahwa kualitas persenjataan yang dimasukkan ke dalam PLA berada di bawah standar sudah terlalu sering muncul ke permukaan. Berdasarkan laporan media China, hal ini terutama disebabkan korupsi, kurangnya transparansi, dan prosedur yang tidak tepat.
Hal ini semakin diperkuat buruknya kualitas peralatan PLA yang dijual secara internasional kepada mitra China, termasuk Pakistan, Nigeria, Bangladesh, dan Myanmar. Peralatan militer berteknologi tinggi yang tidak dapat diandalkan dan digunakan tentara tak berpengalaman dengan kepemimpinan buruk selalu mengakibatkan rendahnya pengoperasian, biaya pemeliharaan yang tinggi, berkurangnya siklus hidup operasional, dan biaya penggantian yang tinggi.
Jika ditambah faktor korupsi sistemik, dampaknya akan mematikan. Secara keseluruhan, prajurit baru dengan pemimpin baru yang menangani peralatan baru dengan kualitas di bawah standar yang belum teruji dalam pertempuran bukanlah resep terbaik bagi PLA untuk sukses dalam operasi.
Secara tradisional, PLA dimaksudkan untuk mendukung rezim komunis. Belakangan, mereka beralih untuk membela kepentingan nasional China. PLA baru-baru ini dipercaya untuk melindungi aset-aset China di luar negeri dan mengamankan koridor energinya.
Mereka juga ditugaskan bertransformasi menjadi kekuatan ekspedisi yang konsisten dengan ambisi global China. Peran-peran baru ini memerlukan perubahan pola pikir militer dan pemikiran politik. Ini rumit untuk PLA yang tidak berpengalaman.
Lebih jauh lagi, kepemimpinan China ragu-ragu untuk melibatkan PLA dalam konflik aktif. PLA bahkan tidak bisa menjaga aset Belt and Road Initiative di luar negeri. Tampaknya China juga tidak berencana untuk bersikap defensif dalam pendekatan militernya.
Dalam Kongres ke-20 Partai Komunis China pada Oktober 2022, Xi Jinping menekankan perlunya kemampuan militer "untuk membentuk postur keamanan kita, mencegah dan mengelola krisis dan konflik, serta memenangkan perang lokal."
Namun, lima tahun sebelumnya, pada Kongres ke-19 Partai Komunis China, "perang lokal" telah hilang dari pidatonya, yang menunjukkan orientasi militer ke luar. Kembalinya Xi ke "perang lokal" dapat diartikan bahwa itulah kenyataan yang dihadapi China.
Oleh karena itu, definisi peran PLA juga tampaknya berubah. PLA yang tidak berpengalaman ditugaskan untuk mengambil peran ambigu. Kekuatan seperti itu tidak bisa menjadi sesuatu yang berdampak besar di dunia.
Karena ekspansi dan peran barunya, PLA telah melahirkan organisasi-organisasi baru. Organisasi-organisasi baru ini terdengar mengancam di atas kertas. Namun, organisasi baru memerlukan waktu untuk menjadi matang. Pertanyaan utamanya adalah: Apakah organisasi-organisasi baru ini sesuai dengan peran baru yang diharapkan untuk PLA?
Dalam situasi di mana definisi peran masih kabur, organisasi juga harus terus berubah dan berkembang. Ambiguitas ini terlihat jelas dalam sistem komando teater PLA.
Komando teater China terutama dimaksudkan untuk pertahanan benua atau, paling banter, untuk melindungi aset lepas pantai dalam jangkauan benua. China kekurangan organisasi yang dimaksudkan untuk keamanan aset luar negeri atau tugas ekspedisi mereka.
Ketika organisasi-organisasi baru ini muncul, mereka akan melalui siklus pertumbuhannya. Hal terpenting, semua organisasi yang ada belum teruji. Organisasi baru juga akan bertambah untuk menyesuaikan peran-peran ini seiring ditetapkannya peran baru. Keadaan yang berubah-ubah ini sepertinya tidak bisa dihindari.
Taktik zona abu-abu dan “Salami Slicing” mungkin berhasil di Selat Taiwan dan Laut China Selatan. Tapi di luar itu, PLA harus menghadapi situasi operasional baru di medan perang baru yang belum ditentukan.
Untuk menjadi negara adidaya, China harus siap melawan musuh konvensional dan hibrida di medan perang tersebut. PLA terakhir kali melakukan pertempuran yang layak pada tahun 1979 melawan Vietnam.
Obsesi China saat ini adalah Taiwan. Perjuangan untuk Taiwan sepenuhnya bersifat amfibi, di mana PLA tidak memiliki pengalaman atau tradisi apa pun. Lebih jauh lagi, ketika PLA memutuskan untuk melakukan ekspedisi, mereka harus melakukan pertempuran di masa depan di lokasi yang jauh dan belum diketahui.
Sampai saat ini, kemampuan sebenarnya dari PLA belum dapat dinilai secara menyeluruh karena terbatasnya paparan militer China terhadap dunia luar.
Selain itu, PLA telah melakukan semacam sandiwara melalui operasi informasi dan propaganda bahwa dominasi teknologi adalah bagian dari kekuatan nasional komprehensif China yang dapat berjaya dalam pertempuran.
Sebagian orang di seluruh dunia menganggap hari-hari perang konvensional yang berdarah sudah lama berlalu. Mereka, termasuk di India, meyakini bahwa China dapat menang dalam perang tanpa perlu berperang karena memiliki teknologi tinggi.
Namun, konflik Rusia-Ukraina dan perang Israel-Hamas telah membuktikan bahwa perang kinetik berdarah tetap berlangsung di era modern, dan teknologi tinggi mempunyai keterbatasan yang parah. Selain itu, dengan meningkatnya keterpaparan PLA sebagai bagian dari pasukan PBB, konferensi/pertemuan internasional, dan tindakan di darat/laut, terdapat banyak kejelasan yang muncul mengenai kemampuan sebenarnya dari PLA.
Tidak diragukan lagi, PLA tetap merupakan kekuatan tangguh dan sedang dipersiapkan serta dibina untuk memainkan peran besar dunia. Namun, masih ada keraguan apakah PLA dapat memenuhi tujuan yang diharapkan, karena tidak ada kekuatan yang dapat berhasil dengan tentara, pemimpin, dan peralatan baru yang didasarkan pada peran dan organisasi baru di medan perang baru.
Menurut Shankar, “Enam Ketidakmampuan Baru” PLA ini kemungkinan besar akan bertahan untuk jangka waktu lama.
Xi Jinping berupaya membangun PLA menjadi kekuatan militer modern dan kelas dunia dalam waktu singkat. Sesuai dengan panduannya, PLA harus memiliki sistem mekanisasi (dengan senjata dan peralatan), sistem informasi (kemampuan perang informasi), dan kecerdasan (kecerdasan buatan dalam perencanaan militer) pada tahun 2027.
Xi Jinping ingin PLA dimodernisasi secara komprehensif di tahun 2035, dan pada 2049, China didorong harus menjadi kekuatan kelas dunia.
Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, pengeluaran pertahanan yang besar merupakan hal lumrah di China, dengan didukung strategi gabungan militer-sipil yang ambisius. Peralatan pertahanan berteknologi tinggi dengan harga mahal terus dimasukkan ke PLA dalam kecepatan yang sangat tinggi.
Deretan roket, rudal, pesawat terbang, dan kapal baru di angkatan bersenjata China tentu saja mengesankan. Perangkat keras baru berkualitas tinggi dengan kemampuan yang dipublikasikan secara luas dan dianggap menakutkan ini menarik perhatian global dan domestik. Hal ini memungkinkan aparat China untuk mengukur dan dengan mudah memproyeksikan gambaran tak terkalahkannya PLA.
Namun, menurut Letnan Jenderal (Purnawirawan) PR Shankar dari India, ada realitas lain di balik itu.
Kekhawatiran Xi Jinping
Mengutip dari laman Eurasian Times pada Rabu (6/12/2023), Shankar mengatakan bahwa beberapa laporan terbaru menunjukkan Xi Jinping khawatir terhadap PLA. Xi Jinping dinilai khawatir atas keandalan politik, kemampuan mobilisasi, dan kemampuan PLA untuk berperang dan memenangkan pertempuran. Hal terpenting, ada pertanyaan mengenai kepemimpinan dan kemampuan komando PLA.
Selalu ada keraguan terhadap PLA sejak zaman Mao Zedong. Masalah loyalitas PLA muncul di era Mao Zedong hingga Lin Biao. Isu ini berakhir dengan jatuhnya pesawat yang menewaskan Lin Biao, seperti peristiwa yang menimpa bos tentara bayaran Wagner Group Yevgeny Prigozhin di Rusia.
Pada masanya, bahkan Deng Xiaoping—bapak China modern—mengungkapkan keraguannya terhadap PLA dengan slogan "Dua Ketidakmampuan”. Hal ini berkaitan dengan ketidakmampuan PLA untuk bertempur dalam perang modern dan ketidakmampuan kadernya (terutama perwira) di semua tingkatan untuk memimpin peperangan kontemporer.
Pada 2006, mantan presiden China Hu Jintao mengungkapkan pandangannya tentang "Dua Ketidakcocokan" dari PLA. Tingkat modernisasi PLA dinilai tidak memenuhi persyaratan untuk memenangkan perang lokal dalam kondisi "terinformasi”, dan kemampuan militernya tidak memenuhi persyaratan untuk melaksanakan misi-misi historis.
Memasuki 2013, Xi Jinping menghidupkan kembali "Dua Ketidakmampuan" ala Deng dan menambahkan "Dua Kesenjangan Besar" terkait PLA.
Kesenjangan pertama adalah antara tingkat modernisasi militer PLA dan persyaratan keamanan nasional dibandingkan dengan militer-militer maju di dunia. Kesenjangan kedua adalah kekhawatiran kemampuan tempur PLA secara umum dibandingkan militer maju lainnya.
Satu tahun kemudian, Xi Jinping berbicara tentang "Tiga Apakah" — Apakah PLA dapat mempertahankan kepemimpinan absolut Partai (Komunis China); Apakah PLA dapat berperang dengan kapasitas penuh saat diperlukan; dan Apakah para komandan di semua tingkat kompeten untuk memimpin pasukan dan perintah dalam perang.
Di tahun 2015, Xi Jinping menargetkan kepemimpinan PLA dengan pemikirannya tentang "Lima Ketidakmampuan”. Lima poin ini merujuk pada perwira yang tidak dapat menilai situasi, memahami niat otoritas yang lebih tinggi, membuat keputusan operasional, mengerahkan pasukan, dan menghadapi situasi tak terduga. Penulis terkenal Dennis J Blasko telah menyoroti kelima poin tersebut dalam artikel berjudul "War On The Rocks."
Enam Ketidakmampuan Baru
"Dua Ketidakmampuan”, "Dua Ketidaksesuaian”, "Dua Kesenjangan Besar”, "Tiga Apakah”, dan "Lima Ketidakmampuan" yang diungkapkan para pemimpin China menimbulkan sebuah masalah. Bagi para pemimpin yang selalu menaruh keyakinan mereka dan mengandalkan PLA untuk menyampaikan pesan-pesan politik untuk mengungkapkan pemikiran seperti itu adalah hal membingungkan bagi pihak luar.
Hal ini terutama terjadi ketika PLA merupakan inti dari inisiatif global China–Keamanan, Pembangunan, dan Peradaban. Namun, analisis yang lebih mendalam terhadap PLA menunjukkan bahwa PLA merupakan kekuatan besar dengan kelemahan signifikan.
Ketika berupaya bertransformasi menjadi tentara modern sesuai keinginan Xi Jinping, PLA harus mengatasi berbagai masalah besar. Sebuah studi di balik kedok slogan “tak terkalahkan” yang dibangun propaganda China menunjukkan bahwa PLA telah memasuki keadaan yang terus berubah di mana sebagian besar landasan fungsinya selalu "baru”.
PLA adalah kekuatan yang terus-menerus memiliki tentara baru, pemimpin baru, peralatan baru, peran baru, dan organisasi baru dan diharapkan dapat tampil di medan perang baru. Shankar mengatakan semua faktor “baru” ini menjadikan PLA sebagai kekuatan dengan "Enam Ketidakmampuan Baru."
Prajurit Baru PLA
Sebagian warga China di era kebijakan “anak tunggal” menentang pendaftaran militer secara sukarela. Padahal, PLA bergantung pada wajib militer. Wajib militer bertugas selama dua tahun. Pada waktu tertentu, sepertiga dari pasukan nasional China terdiri dari wajib militer dengan masa kerja kurang dari dua tahun.
Seperti di angkatan bersenjata mana pun, semua prajurit baru yang tidak berpengalaman ini harus dikirim ke unit garis depan. Mereka tidak dapat dikirim ke unit khusus atau dikerahkan untuk tugas-tugas kompleks. Di saat yang sama, para tentara baru ini juga diharapkan mampu menangani persenjataan berteknologi tinggi dan peralatan terkini di medan yang sulit dan menanggung beban tindakan musuh jika terjadi perang.
Bagaimanapun, motivasi para prajurit baru China untuk “berkorban demi negara” patut dipertanyakan. Secara keseluruhan, segala sesuatunya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, unit-unit garis depan tidak dapat memiliki kemampuan profesional atau siap tempur.
Hal yang lebih penting lagi, para senior dari prajurit muda ini juga berasal dari generasi “anak tunggal” yang tidak memiliki banyak pengalaman bertempur. Oleh karena itu, PLA berada dalam situasi di mana mereka terus-menerus memiliki tentara baru karena tingginya pergantian tentara tanpa keahlian, motivasi, atau kepemimpinan yang memadai dalam unit-unit mutakhir.
Ada laporan yang dapat dipercaya bahwa sejumlah tentara China telah meninggalkan pos mereka dan melarikan diri dalam situasi sulit di misi PBB. Perang yang terjadi baru-baru ini juga telah membuktikan bahwa kehadiran tentara di lapangan sangatlah penting, dan bahwa teknologi saja tidak akan bisa memenangkan pertempuran.
Kinerja wajib militer muda dan tidak berpengalaman dalam perang Ukraina dan konflik Israel-Hamas yang sedang berlangsung dipastikan membuat para perencana militer China tidak bisa tidur. Kondisi selalu memiliki “Tentara Baru” ini merupakan ketidakmampuan konstan dari PLA.
Pemimpin Baru PLA
Xi Jinping telah membacakan aturan-aturan tertentu ke jajaran pimpinan PLA. Dia tampaknya tidak mempercayai kesetiaan pimpinan angkatan bersenjatanya sendiri. Akibatnya, PLA tidak dipimpin dan dikelola dengan baik. Hal ini terlihat dari fakta bahwa dua menteri pertahanan China berturut-turut telah disingkirkan.
Saat ini, China bahkan belum memiliki menteri pertahanan. Pimpinan puncak PLARF (Pasukan Roket Tentara Pembebasan Rakyat) baru di China telah disingkirkan secara besar-besaran. Pembatasan ketat telah diterapkan pada kepemimpinan PLA (dulu dan sekarang). Hal ini membuat kepemimpinan di PLA terlihat seperti komidi putar.
Misalnya, seseorang bisa dipromosikan karena terjadi pembersihan internal secara terus-menerus di PLA. Seseorang juga bisa dipromosikan karena ekspansi PLA yang cepat dan pengenalan peralatan baru. Hal ini terutama berlaku pada Angkatan Laut China yang berkembang pesat.
Akibatnya, akan selalu ada pemimpin-pemimpin baru di PLA yang tidak memiliki pengalaman kepemimpinan yang diperlukan, dan satu-satunya kualifikasi untuk berada di sana adalah loyalitas atau ditempatkan di sana karena tidak ada orang lagi. Hal ini diperkuat laporan yang menunjukkan bahwa PLA tidak memiliki cukup pilot atau kapten kapal.
Oleh karena itu, situasi keseluruhan di PLA adalah pemimpin baru terus hadir untuk memimpin prajurit baru. Ini bukan situasi baik untuk kekuatan militer mana pun. Hal di dalam PLA ini sepertinya tidak akan berubah.
Peralatan Baru PLA
Siklus waktu untuk pengenalan peralatan baru hampir merupakan standar untuk semua militer profesional. Jika siklus ini diperpendek maka akan timbul masalah. Tingkat masuknya peralatan baru ke dalam PLA harus sangat tinggi karena ekspansi dan modernisasi.
Peralatan modern yang segera digunakan dalam militer tidak akan efektif karena masalah penyesuaian dan kurangnya pengalaman pemeliharaan. Jika peralatan ini berkualitas buruk, masalahnya akan semakin parah.
Fakta bahwa kualitas persenjataan yang dimasukkan ke dalam PLA berada di bawah standar sudah terlalu sering muncul ke permukaan. Berdasarkan laporan media China, hal ini terutama disebabkan korupsi, kurangnya transparansi, dan prosedur yang tidak tepat.
Hal ini semakin diperkuat buruknya kualitas peralatan PLA yang dijual secara internasional kepada mitra China, termasuk Pakistan, Nigeria, Bangladesh, dan Myanmar. Peralatan militer berteknologi tinggi yang tidak dapat diandalkan dan digunakan tentara tak berpengalaman dengan kepemimpinan buruk selalu mengakibatkan rendahnya pengoperasian, biaya pemeliharaan yang tinggi, berkurangnya siklus hidup operasional, dan biaya penggantian yang tinggi.
Jika ditambah faktor korupsi sistemik, dampaknya akan mematikan. Secara keseluruhan, prajurit baru dengan pemimpin baru yang menangani peralatan baru dengan kualitas di bawah standar yang belum teruji dalam pertempuran bukanlah resep terbaik bagi PLA untuk sukses dalam operasi.
Peran Baru PLA
Secara tradisional, PLA dimaksudkan untuk mendukung rezim komunis. Belakangan, mereka beralih untuk membela kepentingan nasional China. PLA baru-baru ini dipercaya untuk melindungi aset-aset China di luar negeri dan mengamankan koridor energinya.
Mereka juga ditugaskan bertransformasi menjadi kekuatan ekspedisi yang konsisten dengan ambisi global China. Peran-peran baru ini memerlukan perubahan pola pikir militer dan pemikiran politik. Ini rumit untuk PLA yang tidak berpengalaman.
Lebih jauh lagi, kepemimpinan China ragu-ragu untuk melibatkan PLA dalam konflik aktif. PLA bahkan tidak bisa menjaga aset Belt and Road Initiative di luar negeri. Tampaknya China juga tidak berencana untuk bersikap defensif dalam pendekatan militernya.
Dalam Kongres ke-20 Partai Komunis China pada Oktober 2022, Xi Jinping menekankan perlunya kemampuan militer "untuk membentuk postur keamanan kita, mencegah dan mengelola krisis dan konflik, serta memenangkan perang lokal."
Namun, lima tahun sebelumnya, pada Kongres ke-19 Partai Komunis China, "perang lokal" telah hilang dari pidatonya, yang menunjukkan orientasi militer ke luar. Kembalinya Xi ke "perang lokal" dapat diartikan bahwa itulah kenyataan yang dihadapi China.
Oleh karena itu, definisi peran PLA juga tampaknya berubah. PLA yang tidak berpengalaman ditugaskan untuk mengambil peran ambigu. Kekuatan seperti itu tidak bisa menjadi sesuatu yang berdampak besar di dunia.
Organisasi Baru
Karena ekspansi dan peran barunya, PLA telah melahirkan organisasi-organisasi baru. Organisasi-organisasi baru ini terdengar mengancam di atas kertas. Namun, organisasi baru memerlukan waktu untuk menjadi matang. Pertanyaan utamanya adalah: Apakah organisasi-organisasi baru ini sesuai dengan peran baru yang diharapkan untuk PLA?
Dalam situasi di mana definisi peran masih kabur, organisasi juga harus terus berubah dan berkembang. Ambiguitas ini terlihat jelas dalam sistem komando teater PLA.
Komando teater China terutama dimaksudkan untuk pertahanan benua atau, paling banter, untuk melindungi aset lepas pantai dalam jangkauan benua. China kekurangan organisasi yang dimaksudkan untuk keamanan aset luar negeri atau tugas ekspedisi mereka.
Ketika organisasi-organisasi baru ini muncul, mereka akan melalui siklus pertumbuhannya. Hal terpenting, semua organisasi yang ada belum teruji. Organisasi baru juga akan bertambah untuk menyesuaikan peran-peran ini seiring ditetapkannya peran baru. Keadaan yang berubah-ubah ini sepertinya tidak bisa dihindari.
Medan Perang Baru
Taktik zona abu-abu dan “Salami Slicing” mungkin berhasil di Selat Taiwan dan Laut China Selatan. Tapi di luar itu, PLA harus menghadapi situasi operasional baru di medan perang baru yang belum ditentukan.
Untuk menjadi negara adidaya, China harus siap melawan musuh konvensional dan hibrida di medan perang tersebut. PLA terakhir kali melakukan pertempuran yang layak pada tahun 1979 melawan Vietnam.
Obsesi China saat ini adalah Taiwan. Perjuangan untuk Taiwan sepenuhnya bersifat amfibi, di mana PLA tidak memiliki pengalaman atau tradisi apa pun. Lebih jauh lagi, ketika PLA memutuskan untuk melakukan ekspedisi, mereka harus melakukan pertempuran di masa depan di lokasi yang jauh dan belum diketahui.
Perang Konvensional di Era Modern
Sampai saat ini, kemampuan sebenarnya dari PLA belum dapat dinilai secara menyeluruh karena terbatasnya paparan militer China terhadap dunia luar.
Selain itu, PLA telah melakukan semacam sandiwara melalui operasi informasi dan propaganda bahwa dominasi teknologi adalah bagian dari kekuatan nasional komprehensif China yang dapat berjaya dalam pertempuran.
Sebagian orang di seluruh dunia menganggap hari-hari perang konvensional yang berdarah sudah lama berlalu. Mereka, termasuk di India, meyakini bahwa China dapat menang dalam perang tanpa perlu berperang karena memiliki teknologi tinggi.
Namun, konflik Rusia-Ukraina dan perang Israel-Hamas telah membuktikan bahwa perang kinetik berdarah tetap berlangsung di era modern, dan teknologi tinggi mempunyai keterbatasan yang parah. Selain itu, dengan meningkatnya keterpaparan PLA sebagai bagian dari pasukan PBB, konferensi/pertemuan internasional, dan tindakan di darat/laut, terdapat banyak kejelasan yang muncul mengenai kemampuan sebenarnya dari PLA.
Tidak diragukan lagi, PLA tetap merupakan kekuatan tangguh dan sedang dipersiapkan serta dibina untuk memainkan peran besar dunia. Namun, masih ada keraguan apakah PLA dapat memenuhi tujuan yang diharapkan, karena tidak ada kekuatan yang dapat berhasil dengan tentara, pemimpin, dan peralatan baru yang didasarkan pada peran dan organisasi baru di medan perang baru.
Menurut Shankar, “Enam Ketidakmampuan Baru” PLA ini kemungkinan besar akan bertahan untuk jangka waktu lama.
(mas)