Eks Intelijen AS: Hamas Menang Perang Gaza, Israel Dikalahkan Secara Memalukan
loading...
A
A
A
WASHINGTON - Scott Ritter, mantan perwira intelijen militer Amrerika Serikat, menggambarkan gencatan senjata antara Hamas dan Israel yang dimulai Jumat (24/11/2023) sebagai berkah bagi Palestina.
Gencatan senjata ini akan memungkinkan pertukaran tahanan, masuknya bantuan kemanusiaan, dan ketenangan konflik.
"Gencatan senjata, yang dinegosiasikan antara Israel dan Hamas dan dimediasi oleh Qatar, disepakati bersama antara kedua pihak, dan tidak seorang pun boleh tertipu dengan berpikir bahwa ini hanyalah kemenangan bagi Hamas. Israel telah mengambil sikap yang sangat agresif dan, mengingat tujuannya untuk menghancurkan Hamas sebagai sebuah organisasi, Israel tidak akan menyetujui gencatan senjata dalam keadaan apa pun," papar Ritter, seperti dikutip Al-Quds.
Ritter melanjutkan, “Di sisi lain, Hamas telah menjadikan salah satu tujuan utamanya sebagai awal dari putaran pertempuran melawan Israel saat ini, dengan membebaskan tahanan Palestina, terutama perempuan dan anak-anak, yang ditahan oleh Israel. Mengingat hal ini, gencatan senjata merupakan kemenangan penting bagi Hamas, dan kekalahan yang memalukan bagi Israel.”
Menurutnya, kesediaan Israel untuk gencatan senjata menjadi tanda ada yang tidak beres dengan operasi militernya di Gaza.
"Penandatanganan gencatan senjata oleh Israel merupakan indikasi paling pasti sejauh ini bahwa segala sesuatunya tidak berjalan baik sehubungan dengan serangannya terhadap Hamas," kata Ritter.
Dia memahami bahwa perang Gaza kali ini benar-benar disiapkan Hamas dengan sangat baik.
"Hasil ini seharusnya tidak mengejutkan siapa pun. Ketika Hamas melancarkan serangannya terhadap Israel, pada tanggal 7 Oktober, Hamas mulai melaksanakan rencana yang telah dipersiapkan selama bertahun-tahun. Perhatian yang cermat terhadap detail, seperti yang terlihat dalam operasi Hamas, menggarisbawahi fakta bahwa gerakan tersebut sedang mempelajari intelijen Israel dan kekuatan militer yang menentangnya, dan mengungkap kelemahan yang kemudian dieksploitasi," jelas Ritter.
Sebelumnya, Ritter—yang juga mantan inspektur senjata Komisi Khusus PBB—menuliskan analisis yang mengejutkan tentang serangan Hamas pada 7 Oktober ke Israel selatan yang menewaskan 1.200 orang dan ratusan lainnya disandera.
Ketika Israel dan para pemimpin Barat menggambarkan serangan Hamas itu sebagai serangan teroris, Ritter tidak setuju.
Gencatan senjata ini akan memungkinkan pertukaran tahanan, masuknya bantuan kemanusiaan, dan ketenangan konflik.
"Gencatan senjata, yang dinegosiasikan antara Israel dan Hamas dan dimediasi oleh Qatar, disepakati bersama antara kedua pihak, dan tidak seorang pun boleh tertipu dengan berpikir bahwa ini hanyalah kemenangan bagi Hamas. Israel telah mengambil sikap yang sangat agresif dan, mengingat tujuannya untuk menghancurkan Hamas sebagai sebuah organisasi, Israel tidak akan menyetujui gencatan senjata dalam keadaan apa pun," papar Ritter, seperti dikutip Al-Quds.
Ritter melanjutkan, “Di sisi lain, Hamas telah menjadikan salah satu tujuan utamanya sebagai awal dari putaran pertempuran melawan Israel saat ini, dengan membebaskan tahanan Palestina, terutama perempuan dan anak-anak, yang ditahan oleh Israel. Mengingat hal ini, gencatan senjata merupakan kemenangan penting bagi Hamas, dan kekalahan yang memalukan bagi Israel.”
Menurutnya, kesediaan Israel untuk gencatan senjata menjadi tanda ada yang tidak beres dengan operasi militernya di Gaza.
"Penandatanganan gencatan senjata oleh Israel merupakan indikasi paling pasti sejauh ini bahwa segala sesuatunya tidak berjalan baik sehubungan dengan serangannya terhadap Hamas," kata Ritter.
Dia memahami bahwa perang Gaza kali ini benar-benar disiapkan Hamas dengan sangat baik.
"Hasil ini seharusnya tidak mengejutkan siapa pun. Ketika Hamas melancarkan serangannya terhadap Israel, pada tanggal 7 Oktober, Hamas mulai melaksanakan rencana yang telah dipersiapkan selama bertahun-tahun. Perhatian yang cermat terhadap detail, seperti yang terlihat dalam operasi Hamas, menggarisbawahi fakta bahwa gerakan tersebut sedang mempelajari intelijen Israel dan kekuatan militer yang menentangnya, dan mengungkap kelemahan yang kemudian dieksploitasi," jelas Ritter.
Sebelumnya, Ritter—yang juga mantan inspektur senjata Komisi Khusus PBB—menuliskan analisis yang mengejutkan tentang serangan Hamas pada 7 Oktober ke Israel selatan yang menewaskan 1.200 orang dan ratusan lainnya disandera.
Ketika Israel dan para pemimpin Barat menggambarkan serangan Hamas itu sebagai serangan teroris, Ritter tidak setuju.