Para Dokter Dipaksa Tinggalkan RS Al-Shifa ke Gaza Selatan, Tempuh Perjalanan Mengerikan
loading...
A
A
A
“Pasien yang mencari layanan kesehatan tidak boleh merasa takut, dan petugas kesehatan yang telah bersumpah untuk merawat mereka tidak boleh dipaksa mempertaruhkan nyawa mereka sendiri untuk memberikan perawatan,” ungkap WHO.
WHO menambahkan ada laporan beberapa orang yang melarikan diri dari rumah sakit “tertembak, terluka, dan bahkan terbunuh”.
Khalil dan orang lain yang meninggalkan al-Shifa pada Jumat berangkat untuk melarikan diri dengan berjalan kaki.
“Membawa dokumen identitas kami, kami tidak yakin dengan tujuan kami,” ungkap dia.
"Jalanan itu seperti mimpi buruk. Evakuasi dilakukan di bawah serangan udara dan artileri, dengan tentara mengarahkan senapan mereka ke arah kami. Kami berjalan jauh di bawah suhu panas yang tinggi. Itu melelahkan dan menakutkan," tutur dia.
Khalil bersama dua saudara laki-lakinya yang berprofesi dokter, dan sejumlah rekannya harus berjalan kaki selama tiga setengah jam hingga mencapai rumah pengungsian di kamp Nuseirat di Jalur Gaza tengah.
Dalam perjalanan, Khalil mengatakan tentara Israel mencegah mereka yang berbaris dari utara ke selatan Gaza untuk berbelok ke kanan atau ke kiri dan menangkap banyak pemuda untuk diinterogasi, dipukuli, dan tentara Zionis melakukan kekerasan.
“Kami melihat tentara pendudukan menyerang seorang pemuda Palestina dan memaksanya melepas pakaiannya. Mereka juga memukuli dan menghina pemuda lain dan anaknya yang masih kecil,” ungkap dia.
Khalil dan rombongan dokter yang mendampinginya akhirnya menuju ke pusat penampungan di sekolah yang dikelola badan bantuan PBB Unrwa di kamp Bureij di Jalur Gaza tengah, sebelah timur Nuseirat.
Jumlah pengungsi di sekolah itu sangat banyak, dan tidak ada tempat untuk menerima lebih banyak orang.
WHO menambahkan ada laporan beberapa orang yang melarikan diri dari rumah sakit “tertembak, terluka, dan bahkan terbunuh”.
Pelarian yang Mengerikan ke Selatan
Khalil dan orang lain yang meninggalkan al-Shifa pada Jumat berangkat untuk melarikan diri dengan berjalan kaki.
“Membawa dokumen identitas kami, kami tidak yakin dengan tujuan kami,” ungkap dia.
"Jalanan itu seperti mimpi buruk. Evakuasi dilakukan di bawah serangan udara dan artileri, dengan tentara mengarahkan senapan mereka ke arah kami. Kami berjalan jauh di bawah suhu panas yang tinggi. Itu melelahkan dan menakutkan," tutur dia.
Khalil bersama dua saudara laki-lakinya yang berprofesi dokter, dan sejumlah rekannya harus berjalan kaki selama tiga setengah jam hingga mencapai rumah pengungsian di kamp Nuseirat di Jalur Gaza tengah.
Dalam perjalanan, Khalil mengatakan tentara Israel mencegah mereka yang berbaris dari utara ke selatan Gaza untuk berbelok ke kanan atau ke kiri dan menangkap banyak pemuda untuk diinterogasi, dipukuli, dan tentara Zionis melakukan kekerasan.
“Kami melihat tentara pendudukan menyerang seorang pemuda Palestina dan memaksanya melepas pakaiannya. Mereka juga memukuli dan menghina pemuda lain dan anaknya yang masih kecil,” ungkap dia.
Khalil dan rombongan dokter yang mendampinginya akhirnya menuju ke pusat penampungan di sekolah yang dikelola badan bantuan PBB Unrwa di kamp Bureij di Jalur Gaza tengah, sebelah timur Nuseirat.
Jumlah pengungsi di sekolah itu sangat banyak, dan tidak ada tempat untuk menerima lebih banyak orang.