Para Dokter Dipaksa Tinggalkan RS Al-Shifa ke Gaza Selatan, Tempuh Perjalanan Mengerikan
loading...
A
A
A
GAZA - Kompleks medis terbesar di Gaza, Rumah Sakit Al-Shifa, telah berada di bawah pengepungan dan pemboman Israel sejak 9 November 2023.
Kondisi itu memaksa sejumlah dokter dan warga sipil meninggalkan fasilitas tersebut, yang telah dinyatakan “tidak dapat digunakan” oleh pejabat kesehatan.
Di antara mereka yang melarikan diri adalah ahli bedah Palestina Haya al-Sheikh Khalil, yang tidak meninggalkan fasilitas tersebut sejak awal serangan Israel di Jalur Gaza lebih dari sebulan yang lalu, hingga hari Jumat, 10 November, ketika invasi militer Israel ke gedung tersebut tampaknya akan segera terjadi.
Dia mengatakan kepada Middle East Eye bahwa dia meninggalkan rumah sakit bersama dua saudara laki-lakinya, sejumlah dokter wanita dan banyak warga sipil yang mengungsi setelah ultimatum Israel untuk mengungsi pada Jumat sore.
Khalil mengatakan pada Kamis malam, pasukan Israel menargetkan gedung spesialisasi dengan rudal dan peluru tank, serta gedung klinik rawat jalan serta gedung kebidanan dan ginekologi.
Meskipun terdapat risiko kematian, sejumlah besar dokter menolak meninggalkan korban luka, karena mereka tidak dapat dievakuasi dari rumah sakit karena kondisi kritis mereka.
“Saya tidak dapat memahami kekejaman yang dilakukan pendudukan Israel di Rumah Sakit al-Shifa, fasilitas yang menampung banyak orang yang terluka dan dokter sipil yang meninggalkan rumah dan keluarga mereka untuk memberikan perawatan,” ujar Khalil.
Dia mengatakan banyak pasien di al-Shifa telah kehilangan seluruh keluarga mereka, meninggalkan mereka tanpa seorang pun yang dapat memenuhi kebutuhan mereka.
Urgensi situasi mereka memerlukan transportasi dengan ambulans, namun ambulans sangat langka di Jalur Gaza.
Banyak dari ambulans tersebut telah dibom dan ambulans tambahan tidak dapat mencapai rumah sakit.
“Sebagian besar kasus yang saya operasi adalah anak-anak, yang kini tidak memiliki staf medis yang memadai, tidak ada peralatan medis, tidak ada listrik, dan tidak ada bahan bakar. Mereka benar-benar dibiarkan mati,” ujar Khalil.
Para pejabat kesehatan Palestina mengatakan ada tujuh pasien yang menggunakan alat bantu hidup telah meninggal sejak pengepungan di Al-Shifa dimulai pada Jumat, termasuk dua bayi.
Kematian mereka disebabkan tidak berfungsinya ventilator dan inkubator bayi karena kekurangan listrik akibat blokade Israel.
Pada Minggu pagi, direktur jenderal Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza, Dr Munir al-Borsh, mengatakan kepada wartawan bahwa sekitar 40 pengungsi di rumah sakit berusaha keluar melalui gerbang utama tetapi ditembaki tank Israel yang ditempatkan di jalan yang berdekatan.
Mayat mereka tetap berserakan di jalan, karena ambulans dan staf, yang berjarak kurang dari 100 meter, tidak dapat menjangkau mereka karena pasukan Israel menembaki siapa pun yang bergerak.
Borsh mengatakan pasukan Israel juga mengebom sumur air di kompleks medis semalaman. Hanya satu sumur yang beroperasi pada Minggu, menyediakan setara dengan 12 gelas air per jam untuk 15.000 orang yang terjebak di dalamnya.
“Unit perawatan intensif kembali diserang setelah diserang 24 jam sebelumnya,” papar dia.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan pada Minggu pagi bahwa mereka telah kehilangan komunikasi dengan kontaknya di Rumah Sakit al-Shifa.
“WHO sangat prihatin terhadap keselamatan para petugas kesehatan, ratusan pasien yang sakit dan terluka, termasuk bayi yang membutuhkan alat bantu hidup, dan para pengungsi yang masih berada di rumah sakit,” papar organisasi tersebut.
“Pasien yang mencari layanan kesehatan tidak boleh merasa takut, dan petugas kesehatan yang telah bersumpah untuk merawat mereka tidak boleh dipaksa mempertaruhkan nyawa mereka sendiri untuk memberikan perawatan,” ungkap WHO.
WHO menambahkan ada laporan beberapa orang yang melarikan diri dari rumah sakit “tertembak, terluka, dan bahkan terbunuh”.
Khalil dan orang lain yang meninggalkan al-Shifa pada Jumat berangkat untuk melarikan diri dengan berjalan kaki.
“Membawa dokumen identitas kami, kami tidak yakin dengan tujuan kami,” ungkap dia.
"Jalanan itu seperti mimpi buruk. Evakuasi dilakukan di bawah serangan udara dan artileri, dengan tentara mengarahkan senapan mereka ke arah kami. Kami berjalan jauh di bawah suhu panas yang tinggi. Itu melelahkan dan menakutkan," tutur dia.
Khalil bersama dua saudara laki-lakinya yang berprofesi dokter, dan sejumlah rekannya harus berjalan kaki selama tiga setengah jam hingga mencapai rumah pengungsian di kamp Nuseirat di Jalur Gaza tengah.
Dalam perjalanan, Khalil mengatakan tentara Israel mencegah mereka yang berbaris dari utara ke selatan Gaza untuk berbelok ke kanan atau ke kiri dan menangkap banyak pemuda untuk diinterogasi, dipukuli, dan tentara Zionis melakukan kekerasan.
“Kami melihat tentara pendudukan menyerang seorang pemuda Palestina dan memaksanya melepas pakaiannya. Mereka juga memukuli dan menghina pemuda lain dan anaknya yang masih kecil,” ungkap dia.
Khalil dan rombongan dokter yang mendampinginya akhirnya menuju ke pusat penampungan di sekolah yang dikelola badan bantuan PBB Unrwa di kamp Bureij di Jalur Gaza tengah, sebelah timur Nuseirat.
Jumlah pengungsi di sekolah itu sangat banyak, dan tidak ada tempat untuk menerima lebih banyak orang.
Kakak Khalil, Badr, juga pernah menjabat sebagai dokter di RS Al-Shifa pada permulaan perang.
Dia mengatakan kepada MEE bahwa pemboman pada Kamis berlangsung tanpa henti hingga Jumat pagi.
Dia menerima ultimatum dari pasukan Israel untuk mengungsi antara jam 9 pagi dan 4 sore pada Jumat, tanggal 10 November 2023.
Seperti saudara perempuannya, dia harus pergi dengan berjalan kaki, menyaksikan pemandangan kematian dan kehancuran yang mengerikan dalam perjalanan mereka ke selatan.
"Jalanan sangat mengerikan. Di sekitar kami bangunan dibom dan dihancurkan, dengan sejumlah besar mayat dan bagian tubuh berserakan di jalan, termasuk individu dan hewan yang menjadi sasaran," ungkap dia.
“Kami melarikan diri, memegang identitas kami dengan jelas, dan tidak diperbolehkan berbelok ke kanan atau ke kiri,” papar dia.
Dia mengatakan mereka menemukan sekitar tujuh tank di sebuah pos pemeriksaan, beberapa buldoser, dan sekitar 20 tentara Israel yang mengelilingi tank-tank tersebut.
“Mereka yang berusaha lewat namun tidak membawa tanda pengenal dihentikan dan diinterogasi dengan cara yang menghina,” papar dia.
Pejabat militer Israel telah menargetkan Rumah Sakit al-Shifa sejak awal permusuhan, mengklaim rumah sakit tersebut digunakan untuk tujuan militer, namun belum memberikan bukti yang mendukung klaim tersebut.
Para pejabat Palestina dan faksi-faksi bersenjata membantah tuduhan tersebut, dan Human Rights Watch mengatakan mereka tidak menemukan bukti yang menguatkan klaim Israel tersebut.
Mads Gilbert, seorang dokter Norwegia yang bekerja selama 16 tahun di rumah sakit tersebut, mengatakan dia tidak pernah menemukan tanda-tanda adanya “pusat komando militer” di sana.
Sementara itu, kelompok hak asasi manusia Israel, Physicians for Human Rights, mengatakan meskipun rumah sakit digunakan oleh kelompok bersenjata, “Israel masih memiliki kewajiban untuk tidak menyakiti mereka.”
Sejak serangan gencar terhadap Gaza dilancarkan pada 7 Oktober, serangan udara Israel telah menewaskan lebih dari 11.000 warga Palestina, termasuk lebih dari 4.500 anak-anak, 3.000 wanita dan 200 petugas kesehatan.
Di Israel, serangan yang dipimpin Palestina pada tanggal 7 Oktober telah menyebabkan sekitar 1.200 orang tewas, termasuk sedikitnya 31 anak-anak, menurut pejabat Israel yang dikutip media Israel.
Kondisi itu memaksa sejumlah dokter dan warga sipil meninggalkan fasilitas tersebut, yang telah dinyatakan “tidak dapat digunakan” oleh pejabat kesehatan.
Di antara mereka yang melarikan diri adalah ahli bedah Palestina Haya al-Sheikh Khalil, yang tidak meninggalkan fasilitas tersebut sejak awal serangan Israel di Jalur Gaza lebih dari sebulan yang lalu, hingga hari Jumat, 10 November, ketika invasi militer Israel ke gedung tersebut tampaknya akan segera terjadi.
Dia mengatakan kepada Middle East Eye bahwa dia meninggalkan rumah sakit bersama dua saudara laki-lakinya, sejumlah dokter wanita dan banyak warga sipil yang mengungsi setelah ultimatum Israel untuk mengungsi pada Jumat sore.
Khalil mengatakan pada Kamis malam, pasukan Israel menargetkan gedung spesialisasi dengan rudal dan peluru tank, serta gedung klinik rawat jalan serta gedung kebidanan dan ginekologi.
Meskipun terdapat risiko kematian, sejumlah besar dokter menolak meninggalkan korban luka, karena mereka tidak dapat dievakuasi dari rumah sakit karena kondisi kritis mereka.
“Saya tidak dapat memahami kekejaman yang dilakukan pendudukan Israel di Rumah Sakit al-Shifa, fasilitas yang menampung banyak orang yang terluka dan dokter sipil yang meninggalkan rumah dan keluarga mereka untuk memberikan perawatan,” ujar Khalil.
Dia mengatakan banyak pasien di al-Shifa telah kehilangan seluruh keluarga mereka, meninggalkan mereka tanpa seorang pun yang dapat memenuhi kebutuhan mereka.
Urgensi situasi mereka memerlukan transportasi dengan ambulans, namun ambulans sangat langka di Jalur Gaza.
Banyak dari ambulans tersebut telah dibom dan ambulans tambahan tidak dapat mencapai rumah sakit.
“Sebagian besar kasus yang saya operasi adalah anak-anak, yang kini tidak memiliki staf medis yang memadai, tidak ada peralatan medis, tidak ada listrik, dan tidak ada bahan bakar. Mereka benar-benar dibiarkan mati,” ujar Khalil.
Para pejabat kesehatan Palestina mengatakan ada tujuh pasien yang menggunakan alat bantu hidup telah meninggal sejak pengepungan di Al-Shifa dimulai pada Jumat, termasuk dua bayi.
Kematian mereka disebabkan tidak berfungsinya ventilator dan inkubator bayi karena kekurangan listrik akibat blokade Israel.
Pada Minggu pagi, direktur jenderal Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza, Dr Munir al-Borsh, mengatakan kepada wartawan bahwa sekitar 40 pengungsi di rumah sakit berusaha keluar melalui gerbang utama tetapi ditembaki tank Israel yang ditempatkan di jalan yang berdekatan.
Mayat mereka tetap berserakan di jalan, karena ambulans dan staf, yang berjarak kurang dari 100 meter, tidak dapat menjangkau mereka karena pasukan Israel menembaki siapa pun yang bergerak.
Borsh mengatakan pasukan Israel juga mengebom sumur air di kompleks medis semalaman. Hanya satu sumur yang beroperasi pada Minggu, menyediakan setara dengan 12 gelas air per jam untuk 15.000 orang yang terjebak di dalamnya.
“Unit perawatan intensif kembali diserang setelah diserang 24 jam sebelumnya,” papar dia.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan pada Minggu pagi bahwa mereka telah kehilangan komunikasi dengan kontaknya di Rumah Sakit al-Shifa.
“WHO sangat prihatin terhadap keselamatan para petugas kesehatan, ratusan pasien yang sakit dan terluka, termasuk bayi yang membutuhkan alat bantu hidup, dan para pengungsi yang masih berada di rumah sakit,” papar organisasi tersebut.
“Pasien yang mencari layanan kesehatan tidak boleh merasa takut, dan petugas kesehatan yang telah bersumpah untuk merawat mereka tidak boleh dipaksa mempertaruhkan nyawa mereka sendiri untuk memberikan perawatan,” ungkap WHO.
WHO menambahkan ada laporan beberapa orang yang melarikan diri dari rumah sakit “tertembak, terluka, dan bahkan terbunuh”.
Pelarian yang Mengerikan ke Selatan
Khalil dan orang lain yang meninggalkan al-Shifa pada Jumat berangkat untuk melarikan diri dengan berjalan kaki.
“Membawa dokumen identitas kami, kami tidak yakin dengan tujuan kami,” ungkap dia.
"Jalanan itu seperti mimpi buruk. Evakuasi dilakukan di bawah serangan udara dan artileri, dengan tentara mengarahkan senapan mereka ke arah kami. Kami berjalan jauh di bawah suhu panas yang tinggi. Itu melelahkan dan menakutkan," tutur dia.
Khalil bersama dua saudara laki-lakinya yang berprofesi dokter, dan sejumlah rekannya harus berjalan kaki selama tiga setengah jam hingga mencapai rumah pengungsian di kamp Nuseirat di Jalur Gaza tengah.
Dalam perjalanan, Khalil mengatakan tentara Israel mencegah mereka yang berbaris dari utara ke selatan Gaza untuk berbelok ke kanan atau ke kiri dan menangkap banyak pemuda untuk diinterogasi, dipukuli, dan tentara Zionis melakukan kekerasan.
“Kami melihat tentara pendudukan menyerang seorang pemuda Palestina dan memaksanya melepas pakaiannya. Mereka juga memukuli dan menghina pemuda lain dan anaknya yang masih kecil,” ungkap dia.
Khalil dan rombongan dokter yang mendampinginya akhirnya menuju ke pusat penampungan di sekolah yang dikelola badan bantuan PBB Unrwa di kamp Bureij di Jalur Gaza tengah, sebelah timur Nuseirat.
Jumlah pengungsi di sekolah itu sangat banyak, dan tidak ada tempat untuk menerima lebih banyak orang.
Kakak Khalil, Badr, juga pernah menjabat sebagai dokter di RS Al-Shifa pada permulaan perang.
Dia mengatakan kepada MEE bahwa pemboman pada Kamis berlangsung tanpa henti hingga Jumat pagi.
Dia menerima ultimatum dari pasukan Israel untuk mengungsi antara jam 9 pagi dan 4 sore pada Jumat, tanggal 10 November 2023.
Seperti saudara perempuannya, dia harus pergi dengan berjalan kaki, menyaksikan pemandangan kematian dan kehancuran yang mengerikan dalam perjalanan mereka ke selatan.
"Jalanan sangat mengerikan. Di sekitar kami bangunan dibom dan dihancurkan, dengan sejumlah besar mayat dan bagian tubuh berserakan di jalan, termasuk individu dan hewan yang menjadi sasaran," ungkap dia.
“Kami melarikan diri, memegang identitas kami dengan jelas, dan tidak diperbolehkan berbelok ke kanan atau ke kiri,” papar dia.
Dia mengatakan mereka menemukan sekitar tujuh tank di sebuah pos pemeriksaan, beberapa buldoser, dan sekitar 20 tentara Israel yang mengelilingi tank-tank tersebut.
“Mereka yang berusaha lewat namun tidak membawa tanda pengenal dihentikan dan diinterogasi dengan cara yang menghina,” papar dia.
Pejabat militer Israel telah menargetkan Rumah Sakit al-Shifa sejak awal permusuhan, mengklaim rumah sakit tersebut digunakan untuk tujuan militer, namun belum memberikan bukti yang mendukung klaim tersebut.
Para pejabat Palestina dan faksi-faksi bersenjata membantah tuduhan tersebut, dan Human Rights Watch mengatakan mereka tidak menemukan bukti yang menguatkan klaim Israel tersebut.
Mads Gilbert, seorang dokter Norwegia yang bekerja selama 16 tahun di rumah sakit tersebut, mengatakan dia tidak pernah menemukan tanda-tanda adanya “pusat komando militer” di sana.
Sementara itu, kelompok hak asasi manusia Israel, Physicians for Human Rights, mengatakan meskipun rumah sakit digunakan oleh kelompok bersenjata, “Israel masih memiliki kewajiban untuk tidak menyakiti mereka.”
Sejak serangan gencar terhadap Gaza dilancarkan pada 7 Oktober, serangan udara Israel telah menewaskan lebih dari 11.000 warga Palestina, termasuk lebih dari 4.500 anak-anak, 3.000 wanita dan 200 petugas kesehatan.
Di Israel, serangan yang dipimpin Palestina pada tanggal 7 Oktober telah menyebabkan sekitar 1.200 orang tewas, termasuk sedikitnya 31 anak-anak, menurut pejabat Israel yang dikutip media Israel.
(sya)