Komandan Tank Tempur Israel Ini Dihabisi Sniper Hamas di Gaza
loading...
A
A
A
GAZA - Seorang komandan tank tempur Israel dari komunitas minoritas Druze, ditembak mati sniper Hamas dalam pertempuran di Gaza.
Letnan Kolonel Salman Habaka (33) terbunuh dalam pertempuran 2 November, namun kematiannya baru terungkap baru-baru ini. Dia tercatat sebagai tentara militer Israel dengan pangkat tertinggi yang terbunuh dalam perang darat di Gaza sejauh ini.
Sosoknya dipuji sebagai pahlawan Israel menyusul serangan Hamas yang mengejutkan di Israel pada 7 Oktober setelah dia memimpin dua tank dan berperang melawan kelompok perlawanan Palestina tersebut, bahkan sebelum pimpinannya sendiri menyadari apa yang sedang terjadi.
Habaka terbunuh ketika pasukan Israel memperdalam serangan darat mereka ke Gaza.
Dia bagian dari komunitas minoritas di negara tersebut, di mana populasi non-Yahudi Israel berjumlah sekitar 20%, termasuk Muslim, Kristen, dan Druze—sebuah agama esoterik dan monoteistik yang menggabungkan unsur-unsur semua agama Ibrahim dan filosofi lainnya.
“Pada pagi hari tanggal 7 Oktober, kami merencanakan acara keluarga,” kata ayah Habaka, Emad Habaka, kepada Fox News Digital dari rumahnya di desa komunitas Druze; Yanuh Jat, di Israel utara.
“Saya meneleponnya untuk memeriksa apakah masih berlangsung tetapi dia mengatakan kepada saya bahwa dia harus segera kembali ke markasnya. Ketika saya bertanya alasannya, dia hanya menyuruh saya menyalakan TV,” paparnya, yang dilansir Senin (13/11/2023).
Sementara Emad, seperti kebanyakan orang Israel lainnya, masih berusaha mencari tahu apa yang terjadi di Israel selatan, di sepanjang perbatasan dengan Jalur Gaza, putranya—yang sudah menjadi komandan IDF—melaju ke markasnya di gurun Negev untuk mengambil tank-nya.
“Dia entah bagaimana memahami apa yang sedang terjadi dan meskipun dia tidak menerima perintah dari komandannya, dia memutuskan untuk membawa tanknya dan pergi berperang,” kata Emad (60), menggambarkan Habaka, ayah satu anak, sebagai orang yang rendah hati dan selalu melakukan apapun yang dia bisa untuk membantu orang lain.
Menurut penuturan Habaka sebelum terbunuh, setelah serangan Hamas sepanjang hari di Israel selatan, yang menewaskan sekitar 1.200 orang dan ratusan lainnya disandera, dia bergegas dari rumahnya untuk bergabung dengan perang Israel.
“Saya berkendara dari Galilea ke sebuah pangkalan dekat Tze’elim untuk mendapatkan tank tersebut dan menjangkau masyarakat secepat mungkin untuk menyelamatkan setiap jiwa yang saya bisa,” kenangnya kepada media Israel.
Sesampainya di Kibbutz Be’eri—salah satu komunitas yang paling parah terkena dampak serangan Hamas—Habaka mengatakan dia bergabung dengan tentara lain yang bertempur di sana.
“Saya melihat Kolonel Barak Hiram dan hal pertama yang dia perintahkan kepada saya adalah menembakkan tank ke dalam rumah,” kata Habaka kepada media Israel.
“Pertanyaan pertama yang Anda ajukan pada diri sendiri adalah apakah ada sandera sipil di dalam rumah tersebut. Kami melakukan semua tindakan awal sebelum memutuskan untuk menembak ke dalam rumah tersebut, namun begitu kami menembak ke dalam rumah itu, kami dapat berpindah dari rumah ke rumah dan membebaskan para sandera. Pertempuran berlanjut hingga malam hari, di jalan-jalan kibbutz."
Saat menuju Gaza beberapa minggu kemudian, Habaka mengatakan kepada tentara di bawah komandonya bahwa dia mengharapkan rakyat Israel untuk terus bersatu, untuk terus tangguh. ”Karena hanya dengan bersama kita akan mengetahui kekuatan kita,” katanya saat itu.
Komunitas Druze Israel tinggal di banyak desa yang tersebar di Israel utara. Mereka telah hadir di wilayah ini setidaknya selama seribu tahun, dan komunitas mereka juga ditemukan di Lebanon, Suriah, dan sebagian Yordania.
Sekitar 8% dari minoritas Arab di Israel, atau sekitar 20% dari populasi negara tersebut yang berpenduduk 9 juta jiwa, Druze sangat loyal terhadap negara mana pun mereka tinggal, dan di Israel, sebagian besar pria bertugas di militer berdasarkan undang-undang wajib militer.
Namun, karena suku Druze berbicara bahasa Arab, menganut beberapa praktik Islam, dan memiliki nama yang terdengar Arab, orang-orang Yahudi Israel sering salah mengartikan mereka sebagai minoritas Arab Muslim di Israel dan, di masa lalu, terutama selama periode ketegangan tinggi antara Israel dan Palestina, mereka menghadapi masalah diskriminasi.
Emad mengatakan bahwa setelah serangan Hamas, sudah waktunya sikap Israel terhadap Druze, dan minoritas lainnya, berubah.
“Kita semua adalah warga negara Israel,” kata Emad Habaka kepada Fox News Digital.
“Kami berinvestasi di negara ini, dan kami menyerahkan putra-putra terbaik kami untuk berperang di militer. Perlu ada lebih banyak fokus pada kesetaraan antara orang Yahudi dan kelompok lain.”
“Anak saya percaya bahwa satu-satunya cara untuk mengalahkan musuh-musuh kita, satu-satunya cara untuk mengalahkan kegelapan, adalah dengan berjuang bersama,” lanjut Emad. "Ini adalah pesan yang kuat untuk seluruh rakyat Israel."
Letnan Kolonel Salman Habaka (33) terbunuh dalam pertempuran 2 November, namun kematiannya baru terungkap baru-baru ini. Dia tercatat sebagai tentara militer Israel dengan pangkat tertinggi yang terbunuh dalam perang darat di Gaza sejauh ini.
Sosoknya dipuji sebagai pahlawan Israel menyusul serangan Hamas yang mengejutkan di Israel pada 7 Oktober setelah dia memimpin dua tank dan berperang melawan kelompok perlawanan Palestina tersebut, bahkan sebelum pimpinannya sendiri menyadari apa yang sedang terjadi.
Habaka terbunuh ketika pasukan Israel memperdalam serangan darat mereka ke Gaza.
Dia bagian dari komunitas minoritas di negara tersebut, di mana populasi non-Yahudi Israel berjumlah sekitar 20%, termasuk Muslim, Kristen, dan Druze—sebuah agama esoterik dan monoteistik yang menggabungkan unsur-unsur semua agama Ibrahim dan filosofi lainnya.
“Pada pagi hari tanggal 7 Oktober, kami merencanakan acara keluarga,” kata ayah Habaka, Emad Habaka, kepada Fox News Digital dari rumahnya di desa komunitas Druze; Yanuh Jat, di Israel utara.
“Saya meneleponnya untuk memeriksa apakah masih berlangsung tetapi dia mengatakan kepada saya bahwa dia harus segera kembali ke markasnya. Ketika saya bertanya alasannya, dia hanya menyuruh saya menyalakan TV,” paparnya, yang dilansir Senin (13/11/2023).
Sementara Emad, seperti kebanyakan orang Israel lainnya, masih berusaha mencari tahu apa yang terjadi di Israel selatan, di sepanjang perbatasan dengan Jalur Gaza, putranya—yang sudah menjadi komandan IDF—melaju ke markasnya di gurun Negev untuk mengambil tank-nya.
“Dia entah bagaimana memahami apa yang sedang terjadi dan meskipun dia tidak menerima perintah dari komandannya, dia memutuskan untuk membawa tanknya dan pergi berperang,” kata Emad (60), menggambarkan Habaka, ayah satu anak, sebagai orang yang rendah hati dan selalu melakukan apapun yang dia bisa untuk membantu orang lain.
Menurut penuturan Habaka sebelum terbunuh, setelah serangan Hamas sepanjang hari di Israel selatan, yang menewaskan sekitar 1.200 orang dan ratusan lainnya disandera, dia bergegas dari rumahnya untuk bergabung dengan perang Israel.
“Saya berkendara dari Galilea ke sebuah pangkalan dekat Tze’elim untuk mendapatkan tank tersebut dan menjangkau masyarakat secepat mungkin untuk menyelamatkan setiap jiwa yang saya bisa,” kenangnya kepada media Israel.
Sesampainya di Kibbutz Be’eri—salah satu komunitas yang paling parah terkena dampak serangan Hamas—Habaka mengatakan dia bergabung dengan tentara lain yang bertempur di sana.
“Saya melihat Kolonel Barak Hiram dan hal pertama yang dia perintahkan kepada saya adalah menembakkan tank ke dalam rumah,” kata Habaka kepada media Israel.
“Pertanyaan pertama yang Anda ajukan pada diri sendiri adalah apakah ada sandera sipil di dalam rumah tersebut. Kami melakukan semua tindakan awal sebelum memutuskan untuk menembak ke dalam rumah tersebut, namun begitu kami menembak ke dalam rumah itu, kami dapat berpindah dari rumah ke rumah dan membebaskan para sandera. Pertempuran berlanjut hingga malam hari, di jalan-jalan kibbutz."
Saat menuju Gaza beberapa minggu kemudian, Habaka mengatakan kepada tentara di bawah komandonya bahwa dia mengharapkan rakyat Israel untuk terus bersatu, untuk terus tangguh. ”Karena hanya dengan bersama kita akan mengetahui kekuatan kita,” katanya saat itu.
Komunitas Druze Israel tinggal di banyak desa yang tersebar di Israel utara. Mereka telah hadir di wilayah ini setidaknya selama seribu tahun, dan komunitas mereka juga ditemukan di Lebanon, Suriah, dan sebagian Yordania.
Sekitar 8% dari minoritas Arab di Israel, atau sekitar 20% dari populasi negara tersebut yang berpenduduk 9 juta jiwa, Druze sangat loyal terhadap negara mana pun mereka tinggal, dan di Israel, sebagian besar pria bertugas di militer berdasarkan undang-undang wajib militer.
Namun, karena suku Druze berbicara bahasa Arab, menganut beberapa praktik Islam, dan memiliki nama yang terdengar Arab, orang-orang Yahudi Israel sering salah mengartikan mereka sebagai minoritas Arab Muslim di Israel dan, di masa lalu, terutama selama periode ketegangan tinggi antara Israel dan Palestina, mereka menghadapi masalah diskriminasi.
Emad mengatakan bahwa setelah serangan Hamas, sudah waktunya sikap Israel terhadap Druze, dan minoritas lainnya, berubah.
“Kita semua adalah warga negara Israel,” kata Emad Habaka kepada Fox News Digital.
“Kami berinvestasi di negara ini, dan kami menyerahkan putra-putra terbaik kami untuk berperang di militer. Perlu ada lebih banyak fokus pada kesetaraan antara orang Yahudi dan kelompok lain.”
“Anak saya percaya bahwa satu-satunya cara untuk mengalahkan musuh-musuh kita, satu-satunya cara untuk mengalahkan kegelapan, adalah dengan berjuang bersama,” lanjut Emad. "Ini adalah pesan yang kuat untuk seluruh rakyat Israel."
(mas)