Pakar: AS dan Aliansi Barat Danai Pembantaian Warga Palestina Selama 75 Tahun
loading...
A
A
A
TEPI BARAT - Meskipun bencana kemanusiaan di Jalur Gaza telah menjadi salah satu masalah utama global hingga saat ini, permasalahan yang dihadapi penduduk Tepi Barat berada di bawah bayang-bayang tragedi Gaza.
Sejak 7 Oktober 2023, ratusan orang juga tewas di Tepi Barat dalam pembantaian yang dilakukan terang-terangan oleh tentara dan pemukim Israel.
Laporan dari OCHA, Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB, telah memperingatkan peningkatan eskalasi tidak hanya di Gaza, tetapi juga di Tepi Barat, selama beberapa pekan.
Lembaga PBB itu mencatat ketidakamanan penduduk Palestina di setiap wilayah, baik oleh ancaman pemukim Zionis atau pun tentara penjajahan Israel.
“Jumlah warga Palestina yang terbunuh di Tepi Barat sejak 7 Oktober menyumbang lebih dari sepertiga dari seluruh korban jiwa warga Palestina di Tepi Barat pada tahun 2023 (397). Sekitar 55% korban jiwa sejak 7 Oktober terjadi selama konfrontasi yang terjadi setelah Israel operasi pencarian dan penangkapan, terutama di wilayah Jenin dan Tulkarem,” papar laporan OCHA.
OCHA menambahkan, “Sekitar 30% (pembunuhan) dilakukan dalam demonstrasi solidaritas terhadap Gaza; 8% terbunuh dalam serangan pemukim terhadap warga Palestina, dan 7% lainnya tewas saat menyerang atau diduga melakukan penyerangan pada pasukan atau pemukim Israel.”
Apalagi, OCHA mencatat ada 218 serangan pemukim Israel terhadap warga Palestina di Tepi Barat. Hampir setengah dari seluruh insiden, pasukan Israel mendampingi atau secara aktif mendukung para penyerang.
Profesor Mazin Qumsiyeh, seorang aktivis non-kekerasan Palestina, pendiri dan direktur Museum Sejarah Alam Palestina dan Institut Keanekaragaman Hayati dan Keberlanjutan Palestina di Universitas Bethlehem, menyoroti, “Meningkatnya kejahatan apartheid dan diskriminasi rasial di Tepi Barat.”
“Kami di Tepi Barat saat warga Palestina di seluruh dunia menyaksikan genosida dan pembersihan etnis terhadap populasi di Gaza dan tahu bahwa kami adalah yang berikutnya. Sudah 163 warga Palestina dibunuh oleh tentara pendudukan dan pemukim di Tepi Barat sejak 7 Oktober dan kami perkirakan akan terjadi hal yang lebih buruk,” papar dia.
Dia menjelaskan, “Israel memblokir wilayah kami dan menangkap/menculik lebih dari 2.500 warga Palestina di Tepi Barat. Dan mereka menyiksa para tahanan politik ini, yang kini berjumlah lebih dari 11.000 orang dengan kekerasan fisik langsung dan tidak diberikan makanan dan obat-obatan.”
“Suasananya muram dan marah. Kami tidak percaya bagaimana pemerintah Amerika Serikat (AS) dan sekutu baratnya berkolusi dan berkolaborasi serta mendanai pembantaian ini selama 75 tahun,” tegas dia.
Menurutnya, permasalahan seperti itu tidak muncul secara tiba-tiba, mengingat 75 tahun rezim apartheid telah berkuasa di Palestina.
“Apa yang terjadi pada tanggal 7 Oktober dan setelahnya seperti yang dikatakan Ketua PBB Guterres 'tidak terjadi dalam ruang hampa'. Warga Palestina mengalami pembersihan etnis dan serangan rasis setiap hari selama 75 tahun,” papar dia.
Dia menekankan, “Hal ini menyebabkan delapan juta warga Palestina menjadi pengungsi atau orang-orang terlantar dan sisanya ditahan di kamp-kamp konsentrasi yang tidak terhubung satu sama lain seperti Gaza, Betlehem, Jericho, Ramallah, dan lain-lain."
“Namun demikian, Palestina akan terus melakukan perlawanan dalam keadaan apa pun, bahkan jika pemerintah negara-negara Barat dan banyak negara Arab mengambil sikap berkolusi, membantu dan bersekongkol dalam genosida sambil mengeluarkan pernyataan keprihatinan yang tidak jelas,” pungkas Qumsiyeh.
Sejak 7 Oktober 2023, ratusan orang juga tewas di Tepi Barat dalam pembantaian yang dilakukan terang-terangan oleh tentara dan pemukim Israel.
Laporan dari OCHA, Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB, telah memperingatkan peningkatan eskalasi tidak hanya di Gaza, tetapi juga di Tepi Barat, selama beberapa pekan.
Lembaga PBB itu mencatat ketidakamanan penduduk Palestina di setiap wilayah, baik oleh ancaman pemukim Zionis atau pun tentara penjajahan Israel.
“Jumlah warga Palestina yang terbunuh di Tepi Barat sejak 7 Oktober menyumbang lebih dari sepertiga dari seluruh korban jiwa warga Palestina di Tepi Barat pada tahun 2023 (397). Sekitar 55% korban jiwa sejak 7 Oktober terjadi selama konfrontasi yang terjadi setelah Israel operasi pencarian dan penangkapan, terutama di wilayah Jenin dan Tulkarem,” papar laporan OCHA.
OCHA menambahkan, “Sekitar 30% (pembunuhan) dilakukan dalam demonstrasi solidaritas terhadap Gaza; 8% terbunuh dalam serangan pemukim terhadap warga Palestina, dan 7% lainnya tewas saat menyerang atau diduga melakukan penyerangan pada pasukan atau pemukim Israel.”
Apalagi, OCHA mencatat ada 218 serangan pemukim Israel terhadap warga Palestina di Tepi Barat. Hampir setengah dari seluruh insiden, pasukan Israel mendampingi atau secara aktif mendukung para penyerang.
Kejahatan Apartheid Meningkat
Profesor Mazin Qumsiyeh, seorang aktivis non-kekerasan Palestina, pendiri dan direktur Museum Sejarah Alam Palestina dan Institut Keanekaragaman Hayati dan Keberlanjutan Palestina di Universitas Bethlehem, menyoroti, “Meningkatnya kejahatan apartheid dan diskriminasi rasial di Tepi Barat.”
“Kami di Tepi Barat saat warga Palestina di seluruh dunia menyaksikan genosida dan pembersihan etnis terhadap populasi di Gaza dan tahu bahwa kami adalah yang berikutnya. Sudah 163 warga Palestina dibunuh oleh tentara pendudukan dan pemukim di Tepi Barat sejak 7 Oktober dan kami perkirakan akan terjadi hal yang lebih buruk,” papar dia.
Dia menjelaskan, “Israel memblokir wilayah kami dan menangkap/menculik lebih dari 2.500 warga Palestina di Tepi Barat. Dan mereka menyiksa para tahanan politik ini, yang kini berjumlah lebih dari 11.000 orang dengan kekerasan fisik langsung dan tidak diberikan makanan dan obat-obatan.”
“Suasananya muram dan marah. Kami tidak percaya bagaimana pemerintah Amerika Serikat (AS) dan sekutu baratnya berkolusi dan berkolaborasi serta mendanai pembantaian ini selama 75 tahun,” tegas dia.
Menurutnya, permasalahan seperti itu tidak muncul secara tiba-tiba, mengingat 75 tahun rezim apartheid telah berkuasa di Palestina.
“Apa yang terjadi pada tanggal 7 Oktober dan setelahnya seperti yang dikatakan Ketua PBB Guterres 'tidak terjadi dalam ruang hampa'. Warga Palestina mengalami pembersihan etnis dan serangan rasis setiap hari selama 75 tahun,” papar dia.
Dia menekankan, “Hal ini menyebabkan delapan juta warga Palestina menjadi pengungsi atau orang-orang terlantar dan sisanya ditahan di kamp-kamp konsentrasi yang tidak terhubung satu sama lain seperti Gaza, Betlehem, Jericho, Ramallah, dan lain-lain."
“Namun demikian, Palestina akan terus melakukan perlawanan dalam keadaan apa pun, bahkan jika pemerintah negara-negara Barat dan banyak negara Arab mengambil sikap berkolusi, membantu dan bersekongkol dalam genosida sambil mengeluarkan pernyataan keprihatinan yang tidak jelas,” pungkas Qumsiyeh.
(sya)