Siapa yang Harus Memerintah Jalur Gaza Agar Wilayah Stabil? Ada 3 Skenario
loading...
A
A
A
JALUR GAZA - Amerika Serikat (AS) telah menyusun rencana pascaperang untuk Gaza. Sputnik berbicara dengan para ahli Israel untuk membahas bagaimana inisiatif Washington dapat dilaksanakan.
Anggota parlemen AS baru-baru ini mengkonfirmasi kepada media arus utama bahwa kekuatan multinasional, termasuk satu di bawah payung PBB, sedang dibahas untuk menjaga perdamaian di Gaza jika Hamas bisa dikalahkan.
“Ada pembicaraan yang sedang berlangsung mengenai kemungkinan komposisi kekuatan internasional,” ujar Senator Chris Van Hollen (Partai Demokrat) kepada wartawan Amerika.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Antony Blinken menyarankan agar Otoritas Palestina (PA) yang “direvitalisasi” dapat digunakan untuk memerintah Jalur Gaza setelah Hamas digulingkan.
Blinken mencatat, “Jika tidak, ada pengaturan sementara lainnya yang mungkin melibatkan sejumlah negara lain di kawasan. Ini mungkin melibatkan badan-badan internasional yang akan membantu menyediakan keamanan dan pemerintahan.”
“Politik dan strategi adalah soal prioritas dan alternatif,” ujar Profesor Meir Litvak, pakar Hamas Israel terkemuka dan peneliti utama di Pusat Studi Timur Tengah Dayan di Universitas Tel Aviv, mengatakan kepada Sputnik.
Dia menjelaskan, “Jika kita tidak menginginkan Hamas, kita harus memikirkan alternatif lain. Baik Israel maupun Mesir tidak ingin menguasai Gaza. Kekacauan dapat menyebabkan munculnya organisasi-organisasi yang lebih radikal, sehingga Otoritas Palestina tampaknya menjadi satu-satunya alternatif yang layak. Ini pemerintahan Palestina yang sah; mereka pernah memerintah Gaza di masa lalu. Ini tidak ideal, tapi inilah yang kita miliki."
Litvak menambahkan, "Memulihkan Otoritas Palestina akan menjadi solusi terbaik dan merupakan gerakan di Tepi Barat menuju pembentukan negara Palestina berdampingan dengan Israel."
Faktanya, Otoritas Palestina yang mengambil kendali di Gaza akan sejalan dengan Perjanjian Oslo tahun 1993 yang ditandatangani pada tanggal 13 September 1993 oleh Perdana Menteri Israel saat itu Yitzhak Rabin dan perunding Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Mahmoud Abbas.
Perjanjian tersebut memfasilitasi pembentukan Otoritas Palestina (PA) untuk memerintah Tepi Barat dan Jalur Gaza sebagai langkah pertama menuju solusi dua negara.
Sementara itu, Dr Shaul Bartal, pensiunan letnan kolonel, berpendapat Israel harus berpartisipasi dalam mengendalikan Gaza dengan satu atau lain cara.
“Anda perlu memahami apa yang dilakukan Hamas pada 7 Oktober 2023, ini adalah ancaman nyata terhadap masa depan Negara Israel,” ujar Bartal, peneliti di Pusat Studi Strategis Begin-Sadat Universitas Bar-Ilan, kepada Sputnik.
“Bagaimana Israel dapat menjamin keselamatan dan keamanan setengah juta warga Israel yang tinggal di kota-kota, desa-desa dan kibbutzim di sekitar Jalur Gaza?” tanya dia.
Lebih dari 1.300 orang Yahudi terbunuh dalam serangan mendadak oleh Hamas di wilayah Israel tanggal 7 Oktober 2023. Selain itu, Hamas tidak mengakui hak keberadaan Israel.
“Oleh karena itu, solusi apa pun untuk masa depan Gaza harus melibatkan Israel dalam mengendalikan Gaza dengan satu atau lain cara,” tegas purnawirawan letnan kolonel itu.
Dia menyatakan, “Hal ini bisa saja terjadi dalam format yang mirip dengan apa yang terjadi di Tepi Barat atau sesuatu yang baru. Israel dapat menjadi bagian dari kekuatan multinasional yang akan mengendalikan Jalur Gaza dan menjamin perdamaian dan keamanan bagi semua orang, baik warga Israel maupun Palestina.”
Menurut Bartal, “pendudukan kembali” Israel di Gaza akan menjadi kepentingan Palestina dan Israel, membuka jalan bagi Otoritas Palestina untuk mengambil kendali wilayah tersebut dan membawa perdamaian dan stabilitas di Jalur Gaza.
Pada saat yang sama, baik Litvak dan Bartal merasa skeptis terhadap pasukan penjaga perdamaian multinasional di bawah payung PBB.
“Pengalaman Israel dengan kekuatan multinasional tidak terlalu baik,” tegas purnawirawan letnan kolonel itu.
Dia berpendapat, “Israel belum mampu menstabilkan perbatasannya dengan Lebanon meskipun terdapat kekuatan internasional di sana. Oleh karena itu, setelah Israel menduduki Jalur Gaza, akan mungkin untuk mempertimbangkan pembentukan kekuatan internasional untuk mengendalikan Jalur Gaza, namun ini hanya jika Israel mau menjadi bagian darinya."
“Pasukan PBB di Lebanon hanyalah lelucon,” ungkap Litvak. “Mereka takut pada Hizbullah dan tidak melakukan apa pun. Pasukan PBB di Kosovo gagal. Pengawasan PBB hanyalah lelucon.”
Pada tahun 1967, kontingen penjaga perdamaian PBB di Sinai juga gagal menghentikan kemajuan Mesir.
Pada bulan Mei 1967, Mesir secara paksa memindahkan pasukan penjaga perdamaian PBB dari Semenanjung Sinai, tempat mereka ditempatkan sejak konflik Suez.
Tindakan ini tidak hanya menghentikan misi penjaga perdamaian tetapi juga menghalangi akses Israel ke Laut Merah dan menandai dimulainya Perang Enam Hari.
Sebaliknya, kelompok Multinational Force and Observers (MFO) yang memantau ketentuan perjanjian damai antara Mesir dan Israel tahun 1979 berhasil menjaga stabilitas kawasan.
“Yang perlu diingat, pasukan penjaga perdamaian MFO di Sinai bekerja dengan baik karena kedua belah pihak, Israel dan Mesir, berkomitmen menjaga perdamaian di antara mereka,” ungkap Litvak. Situasi di Gaza nampaknya jauh lebih rumit.
Saat AS memperdebatkan skenario pasca-perang di Gaza, Bartal mengatakan ada tiga skenario yang mungkin terjadi seiring dengan pecahnya perang Israel-Hamas.
Israel menduduki seluruh Jalur Gaza dan menegakkan kekuasaan militer dengan bantuan elemen lokal di Jalur Gaza, dengan atau tanpa Otoritas Palestina.
Sebanyak 240 orang yang diculik Hamas bisa saja dibebaskan oleh Israel atau tewas selama konflik. Skenario ini akan menjadi “kemenangan nyata” bagi Israel.
“Perang akan berhenti di tengah-tengah,” dengan Israel menguasai wilayah utara Gaza, sementara Hamas akan menguasai wilayah selatan.
Israel akan memulai negosiasi dengan Hamas mengenai nasib 240 korban penculikan. “Dalam skenario ini, bahkan jika gencatan senjata tercapai, hal itu tidak akan bertahan lama dan pertempuran akan berlanjut seiring dengan berbagai insiden di perbatasan,” ungkap pensiunan Letkol itu.
Israel menarik diri ke perbatasan internasional. Perjanjian gencatan senjata ditandatangani dengan Hamas, dan 240 tahanan yang diculik dikembalikan dalam kesepakatan.
Namun, menurut Bartal, ini akan menjadi “kekalahan serius bagi Israel,” karena tidak ada yang bisa mencegah Hamas memulai perang baru. Skenario ini membuat Hamas semakin percaya diri dalam menghadapi militer Israel.
Sementara itu, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) melanjutkan operasi militernya melawan Hamas jauh di dalam Jalur Gaza.
Pasukan dan tank Israel bergerak lebih jauh ke Jalur Gaza ketika Tel Aviv menyatakan perang terhadap pejuang Palestina setelah serangan 7 Oktober 2023.
Anggota parlemen AS baru-baru ini mengkonfirmasi kepada media arus utama bahwa kekuatan multinasional, termasuk satu di bawah payung PBB, sedang dibahas untuk menjaga perdamaian di Gaza jika Hamas bisa dikalahkan.
“Ada pembicaraan yang sedang berlangsung mengenai kemungkinan komposisi kekuatan internasional,” ujar Senator Chris Van Hollen (Partai Demokrat) kepada wartawan Amerika.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Antony Blinken menyarankan agar Otoritas Palestina (PA) yang “direvitalisasi” dapat digunakan untuk memerintah Jalur Gaza setelah Hamas digulingkan.
Blinken mencatat, “Jika tidak, ada pengaturan sementara lainnya yang mungkin melibatkan sejumlah negara lain di kawasan. Ini mungkin melibatkan badan-badan internasional yang akan membantu menyediakan keamanan dan pemerintahan.”
“Politik dan strategi adalah soal prioritas dan alternatif,” ujar Profesor Meir Litvak, pakar Hamas Israel terkemuka dan peneliti utama di Pusat Studi Timur Tengah Dayan di Universitas Tel Aviv, mengatakan kepada Sputnik.
Dia menjelaskan, “Jika kita tidak menginginkan Hamas, kita harus memikirkan alternatif lain. Baik Israel maupun Mesir tidak ingin menguasai Gaza. Kekacauan dapat menyebabkan munculnya organisasi-organisasi yang lebih radikal, sehingga Otoritas Palestina tampaknya menjadi satu-satunya alternatif yang layak. Ini pemerintahan Palestina yang sah; mereka pernah memerintah Gaza di masa lalu. Ini tidak ideal, tapi inilah yang kita miliki."
Litvak menambahkan, "Memulihkan Otoritas Palestina akan menjadi solusi terbaik dan merupakan gerakan di Tepi Barat menuju pembentukan negara Palestina berdampingan dengan Israel."
Faktanya, Otoritas Palestina yang mengambil kendali di Gaza akan sejalan dengan Perjanjian Oslo tahun 1993 yang ditandatangani pada tanggal 13 September 1993 oleh Perdana Menteri Israel saat itu Yitzhak Rabin dan perunding Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Mahmoud Abbas.
Perjanjian tersebut memfasilitasi pembentukan Otoritas Palestina (PA) untuk memerintah Tepi Barat dan Jalur Gaza sebagai langkah pertama menuju solusi dua negara.
Sementara itu, Dr Shaul Bartal, pensiunan letnan kolonel, berpendapat Israel harus berpartisipasi dalam mengendalikan Gaza dengan satu atau lain cara.
“Anda perlu memahami apa yang dilakukan Hamas pada 7 Oktober 2023, ini adalah ancaman nyata terhadap masa depan Negara Israel,” ujar Bartal, peneliti di Pusat Studi Strategis Begin-Sadat Universitas Bar-Ilan, kepada Sputnik.
“Bagaimana Israel dapat menjamin keselamatan dan keamanan setengah juta warga Israel yang tinggal di kota-kota, desa-desa dan kibbutzim di sekitar Jalur Gaza?” tanya dia.
Lebih dari 1.300 orang Yahudi terbunuh dalam serangan mendadak oleh Hamas di wilayah Israel tanggal 7 Oktober 2023. Selain itu, Hamas tidak mengakui hak keberadaan Israel.
“Oleh karena itu, solusi apa pun untuk masa depan Gaza harus melibatkan Israel dalam mengendalikan Gaza dengan satu atau lain cara,” tegas purnawirawan letnan kolonel itu.
Dia menyatakan, “Hal ini bisa saja terjadi dalam format yang mirip dengan apa yang terjadi di Tepi Barat atau sesuatu yang baru. Israel dapat menjadi bagian dari kekuatan multinasional yang akan mengendalikan Jalur Gaza dan menjamin perdamaian dan keamanan bagi semua orang, baik warga Israel maupun Palestina.”
Menurut Bartal, “pendudukan kembali” Israel di Gaza akan menjadi kepentingan Palestina dan Israel, membuka jalan bagi Otoritas Palestina untuk mengambil kendali wilayah tersebut dan membawa perdamaian dan stabilitas di Jalur Gaza.
Akankah Pasukan Multi-Nasional Berhasil?
Pada saat yang sama, baik Litvak dan Bartal merasa skeptis terhadap pasukan penjaga perdamaian multinasional di bawah payung PBB.
“Pengalaman Israel dengan kekuatan multinasional tidak terlalu baik,” tegas purnawirawan letnan kolonel itu.
Dia berpendapat, “Israel belum mampu menstabilkan perbatasannya dengan Lebanon meskipun terdapat kekuatan internasional di sana. Oleh karena itu, setelah Israel menduduki Jalur Gaza, akan mungkin untuk mempertimbangkan pembentukan kekuatan internasional untuk mengendalikan Jalur Gaza, namun ini hanya jika Israel mau menjadi bagian darinya."
“Pasukan PBB di Lebanon hanyalah lelucon,” ungkap Litvak. “Mereka takut pada Hizbullah dan tidak melakukan apa pun. Pasukan PBB di Kosovo gagal. Pengawasan PBB hanyalah lelucon.”
Pada tahun 1967, kontingen penjaga perdamaian PBB di Sinai juga gagal menghentikan kemajuan Mesir.
Pada bulan Mei 1967, Mesir secara paksa memindahkan pasukan penjaga perdamaian PBB dari Semenanjung Sinai, tempat mereka ditempatkan sejak konflik Suez.
Tindakan ini tidak hanya menghentikan misi penjaga perdamaian tetapi juga menghalangi akses Israel ke Laut Merah dan menandai dimulainya Perang Enam Hari.
Sebaliknya, kelompok Multinational Force and Observers (MFO) yang memantau ketentuan perjanjian damai antara Mesir dan Israel tahun 1979 berhasil menjaga stabilitas kawasan.
“Yang perlu diingat, pasukan penjaga perdamaian MFO di Sinai bekerja dengan baik karena kedua belah pihak, Israel dan Mesir, berkomitmen menjaga perdamaian di antara mereka,” ungkap Litvak. Situasi di Gaza nampaknya jauh lebih rumit.
Apa yang Akan Terjadi Selanjutnya di Gaza?
Saat AS memperdebatkan skenario pasca-perang di Gaza, Bartal mengatakan ada tiga skenario yang mungkin terjadi seiring dengan pecahnya perang Israel-Hamas.
1. Israel Menduduki Jalur Gaza
Israel menduduki seluruh Jalur Gaza dan menegakkan kekuasaan militer dengan bantuan elemen lokal di Jalur Gaza, dengan atau tanpa Otoritas Palestina.
Sebanyak 240 orang yang diculik Hamas bisa saja dibebaskan oleh Israel atau tewas selama konflik. Skenario ini akan menjadi “kemenangan nyata” bagi Israel.
2. Jalur Gaza Terbagi Dua
“Perang akan berhenti di tengah-tengah,” dengan Israel menguasai wilayah utara Gaza, sementara Hamas akan menguasai wilayah selatan.
Israel akan memulai negosiasi dengan Hamas mengenai nasib 240 korban penculikan. “Dalam skenario ini, bahkan jika gencatan senjata tercapai, hal itu tidak akan bertahan lama dan pertempuran akan berlanjut seiring dengan berbagai insiden di perbatasan,” ungkap pensiunan Letkol itu.
3. Israel Mundur ke Perbatasan Internasional
Israel menarik diri ke perbatasan internasional. Perjanjian gencatan senjata ditandatangani dengan Hamas, dan 240 tahanan yang diculik dikembalikan dalam kesepakatan.
Namun, menurut Bartal, ini akan menjadi “kekalahan serius bagi Israel,” karena tidak ada yang bisa mencegah Hamas memulai perang baru. Skenario ini membuat Hamas semakin percaya diri dalam menghadapi militer Israel.
Sementara itu, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) melanjutkan operasi militernya melawan Hamas jauh di dalam Jalur Gaza.
Pasukan dan tank Israel bergerak lebih jauh ke Jalur Gaza ketika Tel Aviv menyatakan perang terhadap pejuang Palestina setelah serangan 7 Oktober 2023.
(sya)