Tragedi Rohingya, Pengkhianatan Nobel Perdamaian Suu Kyi
A
A
A
CANBERRA - Tragedi yang dialami etnis Muslim Rohingya dalam kekerasan terbaru di Rakhine membuat pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi jadi sorotan masyarakat internasional. Suu Kyi yang jadi ikon pejuang demokrasi dan peraih Hadiah Nobel Perdamaian tidak cukup berbuat banyak untuk menghentikan kekerasan di Rakhine.
Media Australia, The Sydney Morning Herald, pada Sabtu (2/9/2017), mengusik kelayakan Hadiah Nobel Perdamaian untuk Suu Kyi. Hadiah itu patut dikembalikan karena peraihnya dianggap melakukan pengkhianatan dari esensi Nobel Perdamaian dengan membiarkan tragedi Rohingya terjadi "di depan matanya"
"Myanmar crisis a 'human catastrophe' that betrays Suu Kyi's Nobel prize," demikian judul laporan media tersebut. Terjemahan judul itu adalah; "Krisis Myanmar merupakan 'malapetaka manusia' yang mengkhianati hadiah Nobel Suu Kyi."
Kekerasan terbaru pecah di Rakhine pada Kamis malam atau Jumat dini hari pekan lalu ketika sebuah kelompok gerilyawan menyerang pos-pos polisi yang menewaskan 12 petugas. Kelompok Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) mengklaim bertanggung jawab atas serangan itu dengan dalih sebagai sikap pembelaan terhadap warga Rohingya.
Sebagai respons, militer Myanmar menggelar operasi yang menewaskan ratusan orang, termasuk warga sipil Rohingya. Data resmi yang diakui militer dan pemerintah Myanmar menyatakan, ada 399 orang yang tewas dalam seminggu ini. Mereka adalah 370 gerilyawan Rohingya, 13 aparat keamanan, dua pejabat pemerintah dan 14 warga sipil.
Tapi, data dari para aktivis di Rakhine menyebutkan, sekitar 130 orang, termasuk wanita dan anak-anak Rohingya dibunuh dalam operasi militer. Pembantaian massal dilaporkan terjadi di Desa Chut Pyin, dekat Kota Rathedaung, Myanmar barat.
Untuk menghindari kekerasan lebih lanjut, sekitar 20.000 warga Rohingya mencoba masuk ke Bangladesh tapi dicegah. Mereka kini bertahan di sepanjang perbatasan negara itu. Selain itu, puluhan warga Rohinya yang putus asa tenggelam saat menyeberangi Sungai Naf di perbatasan dengan perahu darurat.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres, memperingatkan sebuah "malapetaka kemanusiaan" berlangsung di negara bagian Rakhine, Myanmar.
Tragedi ini tidak terjadi di bawah pengawasan seorang "diktator gila". Tapi, di bawah pengawasan Aung San Suu Kyi yang pada tahun 1991 menerima Hadiah Nobel Perdamaian atas perjuangannya memajukan demokrasi dan HAM meski dia di bawah penindasan junta militer.
Suu Kyi juga pernah meraih pengharagaan dari Universitas Nasional Australia pada tahun 2013. Rektor universitas, Gareth Evans, kala itu menyebut Suu Kyi; "Contoh keberanian dan tekad yang tenang dalam menghadapi penindasan dan seorang jagoan damai yang membuat dunia yang lebih baik dan lebih adil".
Kubu Suu Kyi, yakni Liga Nasional untuk Demokrasi (LND) meraih kekuasaan tahun 2015 setelah mengalahkan junta militer dalam pemilu 2015. Meski tak memimpin langsung karena konstitusi Myanmar produk junta militer melarang perempuan jadi pemimpin, Suu Kyi tetap jadi pemimpin secara de facto.
Pemerintah Suu Kyi mulai dikritik keras setelah pekan lalu menuduh pekerja bantuan internasional, termasuk pihak-pihak dari badan-badan PBB, membantu ”teroris” yang telah menyerang 30 pos polisi pada 27 Agustus 2017.
Pejabat tinggi HAM PBB, Zeid Raad al-Hussein, menggambarkan tuduhan tersebut sebagai klaim tidak bertanggung jawab.
Melansir laporan Reuters, sekitar 120.000 orang, kebanyakan Muslim Rohingya, hidup tanpa tempat tinggal dan tanpa kewarganegaraan di kamp-kamp Rakhine. Mereka tidak menerima persediaan makanan atau perawatan kesehatan setelah kontraktor untuk Program Pangan Dunia menangguhkan operasi menyusul tuduhan pemerintah Myanmar.
"Sebagai akibat dari gangguan aktivitas di negara bagian Rakhine tengah, banyak orang tidak menerima bantuan makanan normal dan layanan kesehatan utama," kata Pierre Peron, juru bicara Kantor Urusan Kemanusiaan PBB.
Pemerintah Suu Kyi menolak mengizinkan penyidik dan media PBB mengakses wilayah Rakhine, wilayah yang dilaporkan sebagai lokasi pembersihan etnis Rohingya.
Suu Kyi pernah diidolakan saat menghabiskan 15 tahun sebagai tahanan junta militer Myanmar. Ironisnya, dia sekarang menolak untuk berbicara atas nasib 1,1 juta warga Rohingya yang tidak berkewarganegaraan dan yang telah lama dianiaya.
"Mungkin sudah saatnya dia mengembalikan Hadiah Nobel Perdamaian," tulis media Australia tersebut dalam laporannya.
Media Australia, The Sydney Morning Herald, pada Sabtu (2/9/2017), mengusik kelayakan Hadiah Nobel Perdamaian untuk Suu Kyi. Hadiah itu patut dikembalikan karena peraihnya dianggap melakukan pengkhianatan dari esensi Nobel Perdamaian dengan membiarkan tragedi Rohingya terjadi "di depan matanya"
"Myanmar crisis a 'human catastrophe' that betrays Suu Kyi's Nobel prize," demikian judul laporan media tersebut. Terjemahan judul itu adalah; "Krisis Myanmar merupakan 'malapetaka manusia' yang mengkhianati hadiah Nobel Suu Kyi."
Kekerasan terbaru pecah di Rakhine pada Kamis malam atau Jumat dini hari pekan lalu ketika sebuah kelompok gerilyawan menyerang pos-pos polisi yang menewaskan 12 petugas. Kelompok Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) mengklaim bertanggung jawab atas serangan itu dengan dalih sebagai sikap pembelaan terhadap warga Rohingya.
Sebagai respons, militer Myanmar menggelar operasi yang menewaskan ratusan orang, termasuk warga sipil Rohingya. Data resmi yang diakui militer dan pemerintah Myanmar menyatakan, ada 399 orang yang tewas dalam seminggu ini. Mereka adalah 370 gerilyawan Rohingya, 13 aparat keamanan, dua pejabat pemerintah dan 14 warga sipil.
Tapi, data dari para aktivis di Rakhine menyebutkan, sekitar 130 orang, termasuk wanita dan anak-anak Rohingya dibunuh dalam operasi militer. Pembantaian massal dilaporkan terjadi di Desa Chut Pyin, dekat Kota Rathedaung, Myanmar barat.
Untuk menghindari kekerasan lebih lanjut, sekitar 20.000 warga Rohingya mencoba masuk ke Bangladesh tapi dicegah. Mereka kini bertahan di sepanjang perbatasan negara itu. Selain itu, puluhan warga Rohinya yang putus asa tenggelam saat menyeberangi Sungai Naf di perbatasan dengan perahu darurat.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres, memperingatkan sebuah "malapetaka kemanusiaan" berlangsung di negara bagian Rakhine, Myanmar.
Tragedi ini tidak terjadi di bawah pengawasan seorang "diktator gila". Tapi, di bawah pengawasan Aung San Suu Kyi yang pada tahun 1991 menerima Hadiah Nobel Perdamaian atas perjuangannya memajukan demokrasi dan HAM meski dia di bawah penindasan junta militer.
Suu Kyi juga pernah meraih pengharagaan dari Universitas Nasional Australia pada tahun 2013. Rektor universitas, Gareth Evans, kala itu menyebut Suu Kyi; "Contoh keberanian dan tekad yang tenang dalam menghadapi penindasan dan seorang jagoan damai yang membuat dunia yang lebih baik dan lebih adil".
Kubu Suu Kyi, yakni Liga Nasional untuk Demokrasi (LND) meraih kekuasaan tahun 2015 setelah mengalahkan junta militer dalam pemilu 2015. Meski tak memimpin langsung karena konstitusi Myanmar produk junta militer melarang perempuan jadi pemimpin, Suu Kyi tetap jadi pemimpin secara de facto.
Pemerintah Suu Kyi mulai dikritik keras setelah pekan lalu menuduh pekerja bantuan internasional, termasuk pihak-pihak dari badan-badan PBB, membantu ”teroris” yang telah menyerang 30 pos polisi pada 27 Agustus 2017.
Pejabat tinggi HAM PBB, Zeid Raad al-Hussein, menggambarkan tuduhan tersebut sebagai klaim tidak bertanggung jawab.
Melansir laporan Reuters, sekitar 120.000 orang, kebanyakan Muslim Rohingya, hidup tanpa tempat tinggal dan tanpa kewarganegaraan di kamp-kamp Rakhine. Mereka tidak menerima persediaan makanan atau perawatan kesehatan setelah kontraktor untuk Program Pangan Dunia menangguhkan operasi menyusul tuduhan pemerintah Myanmar.
"Sebagai akibat dari gangguan aktivitas di negara bagian Rakhine tengah, banyak orang tidak menerima bantuan makanan normal dan layanan kesehatan utama," kata Pierre Peron, juru bicara Kantor Urusan Kemanusiaan PBB.
Pemerintah Suu Kyi menolak mengizinkan penyidik dan media PBB mengakses wilayah Rakhine, wilayah yang dilaporkan sebagai lokasi pembersihan etnis Rohingya.
Suu Kyi pernah diidolakan saat menghabiskan 15 tahun sebagai tahanan junta militer Myanmar. Ironisnya, dia sekarang menolak untuk berbicara atas nasib 1,1 juta warga Rohingya yang tidak berkewarganegaraan dan yang telah lama dianiaya.
"Mungkin sudah saatnya dia mengembalikan Hadiah Nobel Perdamaian," tulis media Australia tersebut dalam laporannya.
(mas)