10 Tahun Belt and Road Initiative China dan Kekhawatiran Jebakan Utang

Senin, 23 Oktober 2023 - 10:49 WIB
loading...
10 Tahun Belt and Road...
Belt and Road Forum for International Cooperation (BRFIC) digelar di Beijing, China, saat Belt and Road Initiative (BRI) memasuki usia 10 tahun. Foto/REUTERS
A A A
BEIJING - Perwakilan dari sekitar 130 negara telah berkumpul di Ibu Kota China, Beijing, pada 17-18 Oktober 2023 menghadiri acara Belt and Road Forum for International Cooperation (BRFIC).

Pertemuan ini berlangsung di saat Belt and Road Initiative (BRI), kebijakan khas Presiden China Xi Jinping yang disebutnya sebagai “proyek abad ini” memasuki usia satu dekade.

India telah memboikot BRFIC atas kontroversi Koridor Ekonomi China-Pakistan (CPEC), yang diterapkan di wilayah Kashmir Pakistan, dan juga terkait kelayakan finansial beragam proyek Beijing di negara-negara kecil.

Pertemuan puncak selama dua hari untuk memperingati 10 tahun BRI itu diharapkan Xi Jinping dapat menghidupkan kembali proyek raksasa tersebut.



Presiden Rusia Vladimir Putin, Perdana Menteri Hongaria Viktor Orban, Presiden Indonesia Joko Widodo, Presiden Argentina Alberto Fernandez, dan Perdana Menteri Thailand Srettha Thavisin, hadir dalam pertemuan tersebut.

BRI, atau disebut juga dengan One Belt One Road (OBOR), merupakan sebuah proyek infrastruktur besar-besaran yang diluncurkan pada 2013. BRI merupakan inti dari kebijakan luar negeri China di era Xi Jinping.

Dalam sepuluh tahun terakhir, China mengatakan pihaknya telah menandatangani kontrak senilai hampir USD2 triliun di seluruh dunia. Investasi ini mencakup beragam bidang berbeda, antara lain meliputi jalan raya, kereta api berkecepatan tinggi, pelabuhan, energi, dan infrastruktur.

Selama sepuluh tahun, jumlah penandatangan proyek BRI telah meningkat dari delapan menjadi 150 anggota.

Namun dalam satu dekade sejak peluncurannya, BRI dituduh memberikan pinjaman untuk proyek-proyek tidak berkelanjutan yang menjadi perangkap utang bagi negara-negara kecil seperti Sri Lanka, yang mendorong mereka jatuh ke dalam krisis ekonomi yang parah.

Selama bertahun-tahun, BRI telah membebani banyak negara dengan utang luar negeri dalam jumlah besar, dan dalam banyak kasus, BRI juga menyebabkan kerusakan lingkungan serta mengundang peluang korupsi.

Diplomasi Jebakan Utang


Mengutip dari Eurasian Times, Senin (23/10/2023), BRI saat ini bukanlah proyek yang sama seperti sepuluh tahun lalu. Ketika pertumbuhan ekonomi China melambat, masa peminjaman luar negeri yang tampaknya tidak terbatas kini telah berakhir.

Total pendanaan pembangunan luar negeri China hanya di bawah USD5 miliar di tahun 2021, jauh dari puncak pinjaman pada 2016 yang berjumlah sekitar USD90 miliar.

Pandemi Covid-19 memberikan pukulan telak bagi BRI. Dengan perlambatan ekonomi global, banyak negara tidak dapat membayar kembali pinjamannya. Zambia adalah negara pertama di Afrika yang mengalami gagal bayar selama pandemi pada akhir 2020.

Peran Beijing sebagai kreditor telah menimbulkan banyak kekhawatiran dari Barat dan negara-negara berkembang. Banyak negara meyakini bahwa BRI adalah bentuk neo-kolonialisme karena diduga melibatkan praktik diplomasi jebakan utang China untuk mendanai proyek-proyek infrastruktur inisiatif tersebut.

Pada 2019, ketika menunda pembangunan proyek pelabuhan Bagamoyo senilai USD10 miliar yang didanai China, Presiden Tanzania John Magufuli menuduh Beijing telah memberikan persyaratan "eksploitatif dan canggung" sebagai imbalan atas pembiayaan.

“Para pemodal China menetapkan kondisi sulit yang hanya bisa diterima orang gila," kata Magufuli kepada media lokal.

Pinjaman China ke Afrika–yang merupakan fokus utama program BRI–telah menurun secara signifikan dan turun di bawah USD2 miliar pada 2022.

Jebakan utang adalah salah satu dimensi ekonomi dari strategi "salami slice" China. Misalnya, China telah menekan Tajikistan untuk menyerahkan 1.158 kilometer persegi tanahnya karena negara tersebut berutang kepada Beijing sebesar USD1,2 miliar dari total utang sebesar USD2,9 miliar.

Di Republik Demokratik Kongo, China menandatangani kontrak pertambangan dengan mantan Presiden Joseph Kabila dalam perjanjian "mineral untuk infrastruktur”.

Hubungan China yang relatif tegang dengan Amerika Serikat juga membuat segala sesuatu terkait proyek infrastruktur China semakin terpecah belah. Pada Januari 2019, Presiden Prancis Emmanuel Macron berkata, "Jalur Sutra kuno tidak hanya milik China. (Jalur Sutra) baru tidak bisa hanya berjalan satu arah."

Italia, satu-satunya anggota G7 yang masuk dalam BRI, berencana keluar dari skema tersebut akhir tahun ini. Meski menjadi penandatangan BRI, Italia sempat menyatakan kekecewaannya karena ekspornya ke China tidak meningkat.

Menteri Pertahanan Italia Guido Crosetto mengatakan, "Kami telah mengekspor banyak jeruk ke China; mereka telah melipatgandakan ekspor mereka ke Italia dalam tiga tahun. Tanpa menandatangani perjanjian apa pun, Paris menjual pesawat ke Beijing seharga puluhan miliar pada saat itu."

Restrukturisasi Utang


AS telah mencoba merespons BRI dengan membentuk inisiatif tandingan seperti Blue Dot Network pada 2019; inisiatif Build Back Better World dari G7 di tahun 2021; dan Strategi Indo-Pasifik yang Bebas dan Terbuka (FOIP).

Bahkan negara-negara yang dianggap sekutu China–Pakistan dan Malaysia–telah menyatakan keinginannya untuk mengurangi proyek-proyek Beijing karena masalah utang. Menyusul reaksi negatif terhadap proyek-proyek BRI setelah krisis ekonomi di Sri Lanka, China telah setuju untuk merestrukturisasi utang Sri Lanka setelah melalui pembicaraan panjang.

Kekhawatiran China adalah bahwa negara-negara lain yang telah mengakses pinjaman BRI juga akan mulai menuntut restrukturisasi utang.

Aspek lain dari BRI adalah meningkatnya aktivitas kriminal di sepanjang rute tersebut. Menurut laporan Global Initiative against Transnational Organized Crime, peningkatan konektivitas yang disediakan BRI telah memberikan peluang baru bagi jaringan kejahatan terorganisir dan jalur yang lebih menguntungkan bagi perdagangan gelap.

Laporan ini menemukan bukti bahwa ketika koridor, rute, dan pusat perdagangan BRI dipelajari secara paralel dengan rute dan hotspot perdagangan gelap, maka tidak mungkin terjadi tumpang tindih dan konvergensi.

Odil Gafarov dari Chatham House telah mencatat "kebangkitan pesat tentara swasta China," suatu bentuk dari munculnya industri keamanan swasta yang digerakkan BRI.

China telah mencoba melawan kritik tersebut dengan mengatakan bahwa proyek-proyek BRI di masa depan kemungkinan besar akan lebih kecil dan lebih ramah lingkungan serta lebih bergantung pada investasi perusahaan-perusahaan China ketimbang pinjaman pembangunan kepada pemerintah negara terkait.
(mas)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2001 seconds (0.1#10.140)