Keduanya Bersenjata Nuklir, Rusia dan China Membuat AS Sakit Kepala
loading...
A
A
A
WASHINGTON - Amerika Serikat (AS) menghadapi masalah pencegahan strategis yang lebih kompleks karena China dan Rusia terus memodernisasi senjata nuklir dan konvensional mereka. Kebangkitan militer kedua negara itu benar-benar membuat Washington "sakit kepala" karena muncul secara bersamaan.
"Ini adalah pertama kalinya kami akan menghadapi dua musuh berkemampuan nuklir," kata Kepala Komando Strategis AS, Laksamana Charles Richard, dalam sambutannya di Mitchell Institute.
"Sejak runtuhnya Uni Soviet, AS tidak harus mempertimbangkan lawan dekat dalam waktu hampir 30 tahun," ujarnya, seperti dilansir USNI News, Jumat (31/7/2020).
Kremlin telah mencapai 70 persen dari tujuan modernisasi menyeluruh yang ditetapkan 15 tahun lalu. "Penumpukan (senjata) ini mencakup beberapa ribu, senjata nuklir non-traktat," kata Richard, merujuk pada rudal jelajah dan rudal balistik yang tidak tercakup oleh perjanjian pengendalian senjata strategis.
Dia mencatat bahwa Moskow memperluas pasukan nuklirnya secara sepihak ketika Amerika Serikat mengurangi persediaan senjata nuklirnya sendiri. (Baca: Kim Jong-un: Berkat Senjata Nuklir, Korut Tak Akan Diperangi Musuh )
China pun juga telah membuat repot Amerika. "Dalam kasus Beijing, lihat apa yang mereka lakukan, bukan apa yang mereka katakan," kata Richard.
Dia mengutip "ekspansi luar biasa" dalam hal kemampuan militer China untuk memasukkan penambahan rudal jelajah yang diluncurkan melalui udara ke dalam gudang senjata strategisnya.
"Namun yang sama pentingnya dan tepat 'di bawah radar' dari pembangunan militer adalah pembentukan Coast Guard pada 2013 yang memiliki lebih dari 250 kapal yang beroperasi di laut China Timur dan Selatan yang mendukung klaim teritorial Beijing di perairan tersebut. China dapat menjadi pesaing senjata strategis bagi AS pada akhir dekade ini," papar Richard.
Moskow dan Beijing yang memodernisasi dan memperluas kekuatan nuklir mereka, percaya bahwa ancaman penggunaannya akan memengaruhi peristiwa yang menguntungkan mereka selama krisis di Laut China Selatan atau Eropa Timur.
Menurut Richard, pencegahan nuklir berbeda di abad ke-21 daripada di Perang Dingin. "Anda bisa merasakan ancamannya," ujarnya.
Karena ada konsensus, investasi yang dilakukan dalam tiga serangkai sistem senjata strategis Amerika—kapal selam rudal balistik, pembom dan rudal balistik antarbenua berbasis darat—memberikan margin keselamatan yang mencegah Uni Soviet dari menggunakan senjatanya untuk mendapatkan keuntungan dalam krisis.
Richard tidak berharap melihat penurunan dukungan Kongres AS untuk upaya modernisasi senjata Pentagon saat ini karena dampak pandemi Covid-19 pada anggaran federal.
"Rusia tidak melepaskan satu pun senjata nuklir karena pandemi itu," kata Rihard. Dia mengatakan hal yang sama berlaku untuk China.
Dalam panggilan konferensi dengan wartawan, Kepala Akuisisi Angkatan Laut AS; James Geurts, menegaskan kembali program rudal balistik untuk kapal selam kelas Columbia masih menjadi prioritas utama layanan.
"Pencegahan strategis adalah bukan masalah yang kita mampu mengambil risiko. (Columbia) akan diprioritaskan di atas semua yang lain saat kami maju," kata Geurts.
Richard mengatakan untuk mempertahankan kemampuan bertahan, pasukan AS membutuhkan setidaknya 12 kapal selam kelas Columbia dengan rudal balistik.
Ditanya apakah dia menganjurkan Amerika Serikat untuk mengadopsi kebijakan “tidak boleh digunakan pertama kali” ketika menyangkut senjata nuklir, Richard berkata, “kita harus sangat rendah hati dalam hal kebijakan seperti itu. Kami akan diuji dalam cara kami tidak pernah diuji sebelumnya."
"Ini adalah pertama kalinya kami akan menghadapi dua musuh berkemampuan nuklir," kata Kepala Komando Strategis AS, Laksamana Charles Richard, dalam sambutannya di Mitchell Institute.
"Sejak runtuhnya Uni Soviet, AS tidak harus mempertimbangkan lawan dekat dalam waktu hampir 30 tahun," ujarnya, seperti dilansir USNI News, Jumat (31/7/2020).
Kremlin telah mencapai 70 persen dari tujuan modernisasi menyeluruh yang ditetapkan 15 tahun lalu. "Penumpukan (senjata) ini mencakup beberapa ribu, senjata nuklir non-traktat," kata Richard, merujuk pada rudal jelajah dan rudal balistik yang tidak tercakup oleh perjanjian pengendalian senjata strategis.
Dia mencatat bahwa Moskow memperluas pasukan nuklirnya secara sepihak ketika Amerika Serikat mengurangi persediaan senjata nuklirnya sendiri. (Baca: Kim Jong-un: Berkat Senjata Nuklir, Korut Tak Akan Diperangi Musuh )
China pun juga telah membuat repot Amerika. "Dalam kasus Beijing, lihat apa yang mereka lakukan, bukan apa yang mereka katakan," kata Richard.
Dia mengutip "ekspansi luar biasa" dalam hal kemampuan militer China untuk memasukkan penambahan rudal jelajah yang diluncurkan melalui udara ke dalam gudang senjata strategisnya.
"Namun yang sama pentingnya dan tepat 'di bawah radar' dari pembangunan militer adalah pembentukan Coast Guard pada 2013 yang memiliki lebih dari 250 kapal yang beroperasi di laut China Timur dan Selatan yang mendukung klaim teritorial Beijing di perairan tersebut. China dapat menjadi pesaing senjata strategis bagi AS pada akhir dekade ini," papar Richard.
Moskow dan Beijing yang memodernisasi dan memperluas kekuatan nuklir mereka, percaya bahwa ancaman penggunaannya akan memengaruhi peristiwa yang menguntungkan mereka selama krisis di Laut China Selatan atau Eropa Timur.
Menurut Richard, pencegahan nuklir berbeda di abad ke-21 daripada di Perang Dingin. "Anda bisa merasakan ancamannya," ujarnya.
Karena ada konsensus, investasi yang dilakukan dalam tiga serangkai sistem senjata strategis Amerika—kapal selam rudal balistik, pembom dan rudal balistik antarbenua berbasis darat—memberikan margin keselamatan yang mencegah Uni Soviet dari menggunakan senjatanya untuk mendapatkan keuntungan dalam krisis.
Richard tidak berharap melihat penurunan dukungan Kongres AS untuk upaya modernisasi senjata Pentagon saat ini karena dampak pandemi Covid-19 pada anggaran federal.
"Rusia tidak melepaskan satu pun senjata nuklir karena pandemi itu," kata Rihard. Dia mengatakan hal yang sama berlaku untuk China.
Dalam panggilan konferensi dengan wartawan, Kepala Akuisisi Angkatan Laut AS; James Geurts, menegaskan kembali program rudal balistik untuk kapal selam kelas Columbia masih menjadi prioritas utama layanan.
"Pencegahan strategis adalah bukan masalah yang kita mampu mengambil risiko. (Columbia) akan diprioritaskan di atas semua yang lain saat kami maju," kata Geurts.
Richard mengatakan untuk mempertahankan kemampuan bertahan, pasukan AS membutuhkan setidaknya 12 kapal selam kelas Columbia dengan rudal balistik.
Ditanya apakah dia menganjurkan Amerika Serikat untuk mengadopsi kebijakan “tidak boleh digunakan pertama kali” ketika menyangkut senjata nuklir, Richard berkata, “kita harus sangat rendah hati dalam hal kebijakan seperti itu. Kami akan diuji dalam cara kami tidak pernah diuji sebelumnya."
(min)