Potensi Pecahnya Perang Taiwan Menguat di Tengah Melambatnya Ekonomi China
loading...
A
A
A
Liu melanjutkan, "pembatasan investasi terbaru akan secara serius merusak kepentingan perusahaan dan investor China dan Amerika, menghambat kerja sama bisnis normal antara kedua negara, dan menurunkan kepercayaan komunitas internasional di lingkungan bisnis AS."
Sementara itu, China menjadi semakin agresif di Laut China Selatan, menggunakan kehadiran Angkatan Laut-nya untuk mendukung klaim kedaulatan atas pulau-pulau kecil dan apa yang diperkirakan sebagai cadangan besar minyak dan gas alam laut yang belum dimanfaatkan. Klaim Beijing telah membuat marah sejumlah negara, termasuk Vietnam, Filipina, Taiwan, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
China juga telah meningkatkan kehadiran militernya di Selat Taiwan, di mana AS telah menjalankan kebebasan navigasi untuk melawan sikap agresif China terhadap pulau Taiwan yang demokratis, yang dianggap Beijing sebagai bagian dari Negeri Tirai Bambu.
Kementerian Pertahanan Taiwan mengatakan bahwa pada Rabu pekan lalu sebanyak 10 pesawat Angkatan Udara China telah memasuki zona pertahanan udara pulau dalam mengawal lima kapal perang China yang terlibat dalam patroli "kesiapan tempur”.
Rute perdagangan terbuka melalui Selat Taiwan dan Laut Cina Selatan dianggap penting bagi ekonomi global. Gabungan produk senilai total lebih dari USD3,4 triliun, yang menyumbang 21 persen dari perdagangan global, diperkirakan melewati Selat Taiwan pada setiap tahunnya. Invasi China ke Taiwan dapat memutus jalur perdagangan global tersebut.
Matthew Kroenig, wakil presiden dan direktur senior Atlantic Council's Scowcroft Center for Strategy and Security, mengatakan bahwa, "pertumbuhan ekonomi China telah mendatar dan kemungkinan akan menurun dalam waktu dekat."
Namun, kata dia, ketidakmampuan Presiden China Xi Jinping untuk melihat kenyataan dapat membawanya ke kesalahan perhitungan yang sama seperti yang dibuat Presiden Rusia Vladimir Putin dalam berpikir bahwa Moskow dapat dengan mudah mengambil alih Ukraina.
"Xi tidak mengerti bahwa ekonomi Beijing sedang menurun," kata Kroenig, penulis “The Return of Great Power Rivalry”.
"Xi merasa yakin bahwa dirinya dapat membuat China lebih kuat, dan justru Amerika yang saat ini sedang mengalami kemunduran. Oleh karena itu, saya khawatir ini adalah kondisi yang dapat memicu perang. Para pakar hubungan internasional meyakini bahwa dalam sejarahnya, perang itu paling sering meletus akibat kesalahan perhitungan," pungkas Kroenig.
China Bisa Salah Perhitungan
Sementara itu, China menjadi semakin agresif di Laut China Selatan, menggunakan kehadiran Angkatan Laut-nya untuk mendukung klaim kedaulatan atas pulau-pulau kecil dan apa yang diperkirakan sebagai cadangan besar minyak dan gas alam laut yang belum dimanfaatkan. Klaim Beijing telah membuat marah sejumlah negara, termasuk Vietnam, Filipina, Taiwan, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
China juga telah meningkatkan kehadiran militernya di Selat Taiwan, di mana AS telah menjalankan kebebasan navigasi untuk melawan sikap agresif China terhadap pulau Taiwan yang demokratis, yang dianggap Beijing sebagai bagian dari Negeri Tirai Bambu.
Kementerian Pertahanan Taiwan mengatakan bahwa pada Rabu pekan lalu sebanyak 10 pesawat Angkatan Udara China telah memasuki zona pertahanan udara pulau dalam mengawal lima kapal perang China yang terlibat dalam patroli "kesiapan tempur”.
Rute perdagangan terbuka melalui Selat Taiwan dan Laut Cina Selatan dianggap penting bagi ekonomi global. Gabungan produk senilai total lebih dari USD3,4 triliun, yang menyumbang 21 persen dari perdagangan global, diperkirakan melewati Selat Taiwan pada setiap tahunnya. Invasi China ke Taiwan dapat memutus jalur perdagangan global tersebut.
Matthew Kroenig, wakil presiden dan direktur senior Atlantic Council's Scowcroft Center for Strategy and Security, mengatakan bahwa, "pertumbuhan ekonomi China telah mendatar dan kemungkinan akan menurun dalam waktu dekat."
Namun, kata dia, ketidakmampuan Presiden China Xi Jinping untuk melihat kenyataan dapat membawanya ke kesalahan perhitungan yang sama seperti yang dibuat Presiden Rusia Vladimir Putin dalam berpikir bahwa Moskow dapat dengan mudah mengambil alih Ukraina.
"Xi tidak mengerti bahwa ekonomi Beijing sedang menurun," kata Kroenig, penulis “The Return of Great Power Rivalry”.
"Xi merasa yakin bahwa dirinya dapat membuat China lebih kuat, dan justru Amerika yang saat ini sedang mengalami kemunduran. Oleh karena itu, saya khawatir ini adalah kondisi yang dapat memicu perang. Para pakar hubungan internasional meyakini bahwa dalam sejarahnya, perang itu paling sering meletus akibat kesalahan perhitungan," pungkas Kroenig.
(mas)