Potensi Pecahnya Perang Taiwan Menguat di Tengah Melambatnya Ekonomi China
loading...
A
A
A
WASHINGTON - Kesulitan ekonomi domestik China memicu kekhawatiran bahwa Beijing dapat mengompensasi kondisi ini dengan meningkatkan risiko perang dengan Amerika Serikat (AS) atas isu Taiwan. Demikian penilaian sejumlah pakar yang mengikuti perkembangan perihal persaingan Washington dengan Beijing.
Perlambatan ekonomi China, yang terlihat dari berbagai indikator pertumbuhan yang melambat, ekspor yang anjlok, meningkatnya utang pemerintah kota, pengangguran, dan deflasi, kemungkinan akan memburuk jika negara-negara lain mengikuti jejak AS dalam membatasi investasi di China.
"China dapat bertindak lebih agresif dalam waktu dekat—seiring matangnya kemampuan militer mereka—untuk mendapatkan keuntungan selagi masih ada kesempatan," kata Hal Brands, mantan asisten khusus menteri pertahanan untuk perencanaan strategis di era pemerintahan Barack Obama. Brands sekarang adalah profesor terkemuka urusan global di Johns Hopkins School of Advanced International Studies.
"Inilah mengapa bahaya pecahnya perang atas isu Taiwan merupakan yang tertinggi dalam dekade ini, karena China akan memiliki lebih banyak kemampuan militer daripada sebelumnya, tepat di saat China telah melewati puncak ekonomi dan mulai menurun," ujar Brands, penulis “Danger Zone: The Coming Conflict with China”.
Brands mengatakan bahwa secara historis, negara-negara besar yang berkembang pesat biasanya menjadi lebih agresif ketika ekonomi mereka melambat dan diterpa serangkaian masalah geopolitik.
"Saat ini China menghadapi masalah seperti itu. Di saat ekonomi China sedang berjuang menghadapi perlambatan, akan lebih sulit bagi mereka untuk menyalip Amerika Serikat sebagai kekuatan utama dunia," lanjut Brands, seperti dikutip VoA.
Presiden AS Joe Biden telah menandatangani perintah eksekutif pada hari Rabu pekan lalu yang melarang modal ventura AS dan perusahaan ekuitas swasta berinvestasi ke sektor teknologi-teknologi canggih China yang dapat mengancam keamanan nasional Negeri Paman Sam.
Juru bicara Kedutaan Besar China Liu Pengyu mengatakan kepada VoA bahwa Beijing sangat prihatin dengan langkah Biden.
"Meski China berulang kali menyatakan keprihatinan mendalam, AS terus melakukan pembatasan investasi baru," kata Liu. "Pihak China sangat kecewa dengan ini."
Perlambatan ekonomi China, yang terlihat dari berbagai indikator pertumbuhan yang melambat, ekspor yang anjlok, meningkatnya utang pemerintah kota, pengangguran, dan deflasi, kemungkinan akan memburuk jika negara-negara lain mengikuti jejak AS dalam membatasi investasi di China.
"China dapat bertindak lebih agresif dalam waktu dekat—seiring matangnya kemampuan militer mereka—untuk mendapatkan keuntungan selagi masih ada kesempatan," kata Hal Brands, mantan asisten khusus menteri pertahanan untuk perencanaan strategis di era pemerintahan Barack Obama. Brands sekarang adalah profesor terkemuka urusan global di Johns Hopkins School of Advanced International Studies.
"Inilah mengapa bahaya pecahnya perang atas isu Taiwan merupakan yang tertinggi dalam dekade ini, karena China akan memiliki lebih banyak kemampuan militer daripada sebelumnya, tepat di saat China telah melewati puncak ekonomi dan mulai menurun," ujar Brands, penulis “Danger Zone: The Coming Conflict with China”.
Brands mengatakan bahwa secara historis, negara-negara besar yang berkembang pesat biasanya menjadi lebih agresif ketika ekonomi mereka melambat dan diterpa serangkaian masalah geopolitik.
"Saat ini China menghadapi masalah seperti itu. Di saat ekonomi China sedang berjuang menghadapi perlambatan, akan lebih sulit bagi mereka untuk menyalip Amerika Serikat sebagai kekuatan utama dunia," lanjut Brands, seperti dikutip VoA.
Presiden AS Joe Biden telah menandatangani perintah eksekutif pada hari Rabu pekan lalu yang melarang modal ventura AS dan perusahaan ekuitas swasta berinvestasi ke sektor teknologi-teknologi canggih China yang dapat mengancam keamanan nasional Negeri Paman Sam.
Juru bicara Kedutaan Besar China Liu Pengyu mengatakan kepada VoA bahwa Beijing sangat prihatin dengan langkah Biden.
"Meski China berulang kali menyatakan keprihatinan mendalam, AS terus melakukan pembatasan investasi baru," kata Liu. "Pihak China sangat kecewa dengan ini."