Meski ICC Keluarkan Surat Penangkapan, Putin Masih Bisa Kunjungi Negara-negara Besar

Minggu, 19 Maret 2023 - 09:17 WIB
loading...
Meski ICC Keluarkan...
Meski ICC keluarkan surat penangkapan, Presiden Rusia Vladimir Putin masih bisa kunjungi sejumlah negara besar. Foto/Ilustrasi
A A A
WASHINGTON - Keputusan PengadilanPidanaInternasional (ICC) untuk mengeluarkan surat perintah penangkapan buat Vladimir Putin secara teoritis mengisolasi Presiden Rusia itu dari dua pertiga dunia. Meski begitu, masih menyisakan sejumlah besar negara yang dapat ia kunjungi.

Surat perintah penangkapan untuk Putin, dan komisioner Rusia untuk hak anak, Maria Alekseyevna Lvova-Belova, dikaitkan dengan deportasi paksa anak-anak selama perang dari Ukraina ke Rusia, di mana banyak yang telah diadopsi oleh keluarga Rusia.

Deportasi paksa penduduk diakui sebagai kejahatan di bawah Statuta Roma, di mana Rusia menjadi salah satu penandatangannya tetapi menarik diri pada tahun 2016. Karena Moskow tidak mengakui pengadilan tersebut, kecil kemungkinan Putin atau Lvova-Belova akan diserahkan ke yurisdiksinya.

Tapi itu mengirimkan sinyal kepada pejabat senior Rusia bahwa mereka mungkin menghadapi tuntutan dan membatasi kemampuan mereka untuk bepergian ke luar negeri, termasuk untuk menghadiri forum internasional.

Direktur Asosiasi Keadilan Internasional di Human Rights Watch, Balkees Jarrah, dalam sebuah pernyataan kepada Newsweek mengatakan bahwa keputusan tersebut mengirimkan pesan yang jelas bahwa memberikan perintah untuk melakukan atau mentolerir kejahatan serius terhadap warga sipil dapat mengarah ke sel penjara di Den Haag.

Keputusan ICC yang dikeluarkan pada hari Jumat berarti bahwa 123 negara anggota pengadilan harus menangkap presiden Rusia dan memindahkannya ke Den Haag, Belanda, untuk diadili jika dia menginjakkan kaki di wilayah mereka. Namun, dengan 193 negara anggota PBB, masih ada 70 negara yang tidak berada di bawah naungan ICC.



Amerika Serikat (AS) berpartisipasi dalam negosiasi yang mengarah pada pembentukan ICC tetapi pada tahun 1998 adalah salah satu dari tujuh negara yang memberikan suara menentang Statuta Roma, perjanjian pendirian pengadilan internasional itu.

Namun, AS memberikan sanksi kepada Putin pada 25 Februari 2022, sehari setelah dia meluncurkan invasi besar-besaran Rusia ke Ukraina.

Negara-negara lain yang menentang Statuta Roma adalah Irak, Israel, Libya, Qatar, Yaman, dan China.

Beijing masih secara resmi netral atas invasi Putin ke Ukraina dan perdagangan serta hubungan antara China dan Rusia telah menguat sejak awal perang dan kemungkinan akan menyambut kunjungan Putin. Presiden China Xi Jinping sendiri dijadwalkan akan bertemu Putin minggu depan di Ibu Kota Rusia.

Putin juga masih bisa pergi ke Iran, yang telah bertindak sebagai sekutu utama Moskow, memasoknya dengan drone untuk upaya perangnya. Negara demokrasi terbesar di dunia, India, juga bukan penandatangan ICC dan tidak mengutuk invasi Putin. Selama setahun terakhir, negara itu telah memperkuat hubungan dengan Moskow.

Sementara itu, Putin mempertahankan hubungan yang kuat dengan negara-negara bekas Soviet, kecuali negara-negara Baltik dan Georgia, yang mengakui ICC.

Ini masih memberinya pilihan untuk mengunjungi negara-negara di aliansi Organisasi Perjanjian Keamanan Kolektif (CSTO) yang dipimpin Moskow seperti Armenia dan Azerbaijan. Belarusia, yang pemimpinnya Alexander Lukashenko mengizinkan pasukan Rusia untuk menggunakan negara itu sebagai pos persiapan perang, tetap menjadi sekutu yang kuat.



Ukraina juga bukan penandatangan pengadilan di Den Haag tetapi memberikan yurisdiksi ICC untuk menyelidiki kejahatan perang yang dilakukan di wilayahnya. Kiev mengatakan bahwa lebih dari 16.000 anak Ukraina telah dideportasi ke Rusia sejak awal perang dengan banyak yang diduga ditempatkan di institusi dan panti asuhan.

Seorang juru bicara Departemen Luar Negeri AS mengatakan kepada Newsweek bahwa Kremlin dalam beberapa kasus memutuskan komunikasi dengan keluarga dan wali anak-anak, dan belum memberikan daftar pendaftaran mereka yang telah dipindahkan dan dideportasi.

"Kami akan terus menekan Moskow untuk bekerja sama dalam pelacakan keluarga dan memfasilitasi reunifikasi, yang dimulai dengan memberikan akses ke organisasi internasional dan pengamat luar yang independen," kata juru bicara itu dalam sebuah pernyataan seperti dilansir dari outlet yang berbasis di AS itu, Minggu (19/3/2023).

Pernyataan itu mengatakan bahwa pemindahan paksa, pendidikan ulang, dan adopsi anak-anak Ukraina adalah bagian dari upaya Kremlin untuk menyangkal dan menekan identitas, sejarah, serta budaya Ukraina.

"Dampak yang menghancurkan dari perang agresi Rusia yang gagal akan dirasakan untuk generasi mendatang," tambah Departemen Luar Negeri AS.

Sementara itu, juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan bahwa Rusia tidak mengakui yurisdiksi ICC dan, oleh karena itu, keputusan semacam itu batal demi hukum.

(ian)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1436 seconds (0.1#10.140)