Tak Cukup Dukungan AS, Korea Selatan Beri Sinyal Ambisi Senjata Nuklir
loading...
A
A
A
SEOUL - Pemimpin partai konservatif People Power (Kekuatan Rakyat) Chung Jin-suk yang berkuasa di Korea Selatan (Korsel) menyarankan negara itu “mempertimbangkan dengan serius” pengembangan senjata nuklir.
Menurut dia, senjata nuklir perlu dikembangkan jika strategi yang ada untuk mengurangi ancaman Korea Utara (Korut) tetap tidak efektif.
Ketegangan di semenanjung Korea berkobar sejak Korea Utara melanjutkan uji coba rudal balistiknya untuk pertama kalinya sejak 1 Januari. Hal ini menyusul rekor jumlah peluncuran rudal pada tahun 2022.
“Kita perlu mempertimbangkan secara serius untuk mengembangkan kemampuan nuklir kita sendiri jika tanggapan seperti itu tidak mencukupi,” ujar Chung Jin-suk pada Senin (20/2/2023), menurut kantor berita Korea Selatan Yonhap.
Pernyataan itu mengacu pada apa yang disebut sistem serangan pertama “Kill Chain” di Korsel.
Protokol militer Kill Chain dirancang sebagai pencegah ancaman nuklir Korea Utara, dan melibatkan serangan pendahuluan terhadap silo rudal nuklir dan kepemimpinan senior Pyongyang jika peluncuran nuklir yang akan segera terdeteksi.
Sistem ini dimulai satu dekade lalu, tetapi mendapat dorongan baru di era Presiden Yoon Suk-yeol, yang menjabat Mei lalu.
Yoon juga menyatakan negaranya dapat mencari pencegah nuklirnya sendiri. Ini pertama kali di era pasca-Perang Dingin seorang pemimpin Korea Selatan menyarankan rencana senjata nuklir semacam itu.
Dia kemudian mengklarifikasi bahwa itu bukan kebijakan aktif pemerintahannya.
Amerika Serikat (AS) dipahami menentang Korea Selatan mengejar senjata atom, khawatir hal itu dapat menyebabkan perlombaan senjata di semenanjung, yang semakin mengobarkan ketegangan antara Seoul dan Pyongyang.
Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un mengatakan pada akhir Desember bahwa dia berencana "meningkatkan secara eksponensial" persenjataan nuklir Pyongyang.
Negara yang secara teknis masih berperang dengan Korea Selatan setelah gencatan senjata yang ditandatangani pada tahun 1953 itu baru-baru ini mengeluarkan keberatan keras terhadap rencana latihan militer, yang akan berlangsung antara Seoul dan Washington dalam beberapa pekan mendatang.
Korsel sebelumnya menyebut latihan itu seperti "gladi resik" untuk invasi skala penuh.
Menurut dia, senjata nuklir perlu dikembangkan jika strategi yang ada untuk mengurangi ancaman Korea Utara (Korut) tetap tidak efektif.
Ketegangan di semenanjung Korea berkobar sejak Korea Utara melanjutkan uji coba rudal balistiknya untuk pertama kalinya sejak 1 Januari. Hal ini menyusul rekor jumlah peluncuran rudal pada tahun 2022.
“Kita perlu mempertimbangkan secara serius untuk mengembangkan kemampuan nuklir kita sendiri jika tanggapan seperti itu tidak mencukupi,” ujar Chung Jin-suk pada Senin (20/2/2023), menurut kantor berita Korea Selatan Yonhap.
Pernyataan itu mengacu pada apa yang disebut sistem serangan pertama “Kill Chain” di Korsel.
Protokol militer Kill Chain dirancang sebagai pencegah ancaman nuklir Korea Utara, dan melibatkan serangan pendahuluan terhadap silo rudal nuklir dan kepemimpinan senior Pyongyang jika peluncuran nuklir yang akan segera terdeteksi.
Sistem ini dimulai satu dekade lalu, tetapi mendapat dorongan baru di era Presiden Yoon Suk-yeol, yang menjabat Mei lalu.
Yoon juga menyatakan negaranya dapat mencari pencegah nuklirnya sendiri. Ini pertama kali di era pasca-Perang Dingin seorang pemimpin Korea Selatan menyarankan rencana senjata nuklir semacam itu.
Dia kemudian mengklarifikasi bahwa itu bukan kebijakan aktif pemerintahannya.
Amerika Serikat (AS) dipahami menentang Korea Selatan mengejar senjata atom, khawatir hal itu dapat menyebabkan perlombaan senjata di semenanjung, yang semakin mengobarkan ketegangan antara Seoul dan Pyongyang.
Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un mengatakan pada akhir Desember bahwa dia berencana "meningkatkan secara eksponensial" persenjataan nuklir Pyongyang.
Negara yang secara teknis masih berperang dengan Korea Selatan setelah gencatan senjata yang ditandatangani pada tahun 1953 itu baru-baru ini mengeluarkan keberatan keras terhadap rencana latihan militer, yang akan berlangsung antara Seoul dan Washington dalam beberapa pekan mendatang.
Korsel sebelumnya menyebut latihan itu seperti "gladi resik" untuk invasi skala penuh.
(sya)