Eks Jenderal Amerika Heran AS Biarkan Rusia Sesuka Hati Merudal Ukraina

Sabtu, 31 Desember 2022 - 15:15 WIB
Jenderal (Purn) Ben Hodges, mantan komandan Angkatan Darat AS, heran mengapa pemerintah Joe Biden membiarkan Rusia sesuka hati merudal Ukraina. Foto/REUTERS
WASHINGTON - Seorang mantan jenderal Amerika Serikat (AS) heran dengan sikap pemerintah Presiden Joe Biden yang membiarkan Rusia sesuka hati menembakkan rudal ke Ukraina .

Jenderal (Purn) Ben Hodges, mantan komandan Angkatan Darat AS, membuat komentar sehubungan dengan serangan rudal Rusia pada hari Kamis yang dilaporkan melibatkan rudal balistik jarak pendek (SRBM) 9K720 Iskander.

Menyusul serangan itu, Kementerian Pertahanan Rusia berjanji bahwa Moskow tidak akan pernah kehabisan rudal Kalibr.



Mantan pemimpin skuadron SEAL Six Team, Chuck Pfarrer, sebelumnya men-tweet bahwa SRBM diluncurkan dari daerah yang diduduki Rusia di dalam Ukraina dan menargetkan kota-kota terdekat. Rudal tersebut berasal dari Rusia dan dapat menempuh jarak hingga 500 kilometer.



"Mengapa kami mengizinkan Rusia untuk menembak dari tempat perlindungan?" tanya Hodges pada hari Jumat.

“Dengan tidak memberikan ATACMS [Sistem Rudal Taktis Angkatan Darat], [jet tempur] F-16 dan kemampuan serangan jarak jauh lainnya ke Ukraina, kami pada dasarnya memberikan perlindungan kepada Rusia yang mampu membunuh warga sipil tak berdosa di Ukraina tanpa takut akan konsekuensinya. Kebijakan yang tidak dapat dipertahankan," kritik Hodges, seperti dikutip Newsweek, Sabtu (31/12/2022).

Dalam pengumuman yang selaras dengan kunjungan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky baru-baru ini ke Washington, pejabat AS mengonfirmasi bahwa sistem pertahanan udara Patriot pada akhirnya akan dikirim ke Ukraina.

Baterai sistem rudal Patriot, yang digambarkan sebagai sistem pertahanan pengubah permainan yang potensial, mampu mencegat rudal Iskander dan serangan udara lainnya yang diluncurkan atas nama militer Rusia.

Pertahanan udara Ukraina kembali unjuk kekuatan pada Jumat pagi. Pejabat Ukraina mengatakan Angkatan Udara-nya menembak jatuh 16 drone Shahed-136 buatan Iran, menyebabkan peringatan serangan udara yang menginstruksikan penduduk di wilayah Kiev, Cherkasy, dan Kirovohrad untuk berlindung.



Dmitry Gorenburg, pakar Rusia dari Center for Naval Analyses (CNA) menggemakan pernyataan baru-baru ini yang dibuat oleh pensiunan Mayor Angkatan Darat AS John Spencer: "Rusia berada dalam masalah yang sangat besar menuju tahun 2023 karena kurangnya pasokan dan tenaga kerja."

Gorenburg mengatakan kepada Newsweek, kemenangan Ukraina bisa datang lebih cepat jika Barat memberikan senjata tambahan. "Alih-alih menghalangi dirinya sendiri karena ketakutan samar bahwa Rusia entah bagaimana akan meningkatkan eskalasi jika Ukraina diberi jenis senjata ofensif tertentu," katanya.

"Saya setuju bahwa Rusia sangat tidak mungkin berhasil dalam kemajuan apa pun musim semi ini—atau kapan saja di tahun 2023, dalam hal ini," kata Gorenburg.

"Saya agak kurang percaya diri, bagaimanapun, bahwa Rusia kekurangan tenaga dan pasokan untuk melewati musim panas mendatang," ujarnya.

"Saya pikir itu [Rusia] memiliki tenaga dan amunisi untuk mempertahankan perang dalam jangka panjang [beberapa tahun], bahkan jika Ukraina perlahan maju dan terus membebaskan sebagian wilayahnya," paparnya.

Memegang wilayah Ukraina, lanjut dia, pada dasarnya telah mendefinisikan kembali kesuksesan bagi para pemimpin Rusia, sehingga bantuan militer Barat terbukti bermanfaat untuk pembebasan wilayah yang dianeksasi tersebut.

Henry Hale, profesor ilmu politik dan urusan internasional di Universitas George Washington, mengatakan kepada Newsweek; "Bahwa Rusia telah mengejutkan kami sebelumnya dan dapat mengumpulkan sumber daya tambahan bahkan saat diganggu oleh sanksi Barat."

Namun, dia mengakui Presiden Rusia Vladimir Putin tetap di tempat yang sulit.

"Saya pikir Ukraina memiliki keunggulan dan kuncinya adalah moral pasukan dan dukungan publik yang luas dan mendalam untuk upaya militer," kata Hale.

"Putin mungkin ingin membuang para pemudanya ke penggiling daging untuk menangkis kemajuan Ukraina, tetapi eskalasi besar dalam wajib militer datang dengan risiko—terutama ketika penyebabnya bukan karena kebanyakan orang Rusia merasa diri mereka dan orang yang mereka cintai harus mati," paparnya.

Hale menambahkan, risiko tersebut termasuk wajib militer yang kurang terlatih atau tentara wajib militer yang tidak ingin ikut serta dalam upaya perang dan mungkin meninggalkan operasi sama sekali. Itu bisa mengakibatkan pemberontakan tambahan terhadap pemerintah Rusia sambil mengancam kekuasaan Kremlin.
(min)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More