Mengapa Rusia Sangat Ingin Krimea Jadi Wilayahnya?
Sabtu, 31 Desember 2022 - 02:30 WIB
JAKARTA - Perang yang terjadi antara Rusia dan Ukraina sudah berlangsung hampir setahun, dimulai sejak Februari lalu. Melihat fenomena ini, tentulah banyak pihak bertanya-tanya, mengapa Rusia sampai hati menyerang tetangga dekatnya.
Padahal, kedua negara ini sama-sama pecahan Uni Soviet yang runtuh pada tahun 1991 silam. Perang ini bukanlah konflik Rusia-Ukraina yang pertama kali. Sebelumnya, kedua negara sempat terlibat sengketa atas wilayah Krimea.
Tim Litbang MPI menelusuri beberapa sumber, termasuk jurnal, untuk menguak mengapa konflik Krimea sampai terjadi. Salah satu data didapat dari Jurnal Elektronik (eJournal) Hubungan Internasional (2019) bertajuk “Aneksasi Rusia Terhadap Krimea Tahun 2014”, yang ditulis oleh Irvand Sahir.
Jurnal tersebut menjabarkan bahwa wilayah Krimea, yang terletak di pantai utara Laut Hitam, ini bersifat semi-otonom Ukraina dan memiliki ikatan politik yang kuat dengan negara tersebut. Di sisi lain, Krimea juga sangat dekat dengan Rusia dari segi budayanya.
Fakta tersebut juga dibenarkan oleh Wasis Susetio, dkk, dalam jurnal “Perang Rusia-Ukraina: Mencari Keseimbangan Duna Baru”. Disebutkan, bahwa tahun 2014 pasukan militer Rusia melakukan aneksasi atas Krimea. Namun, masyarakat Krimea lebih memilih untuk bergabung bersama Federasi Rusia melalui sebuah referendum, karena memang lebih dekat dari sisi kebudayaan. Sebagian besar masyarakat Krimea menggunakan bahasa Rusia dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, konflik Krimea sebenarnya adalah buntut dari pergolakan Ukraina pada tahun 2013, di mana presidennya kala itu, Victor Yanukovych, enggan menandatangani pakta kerja sama ekonomi dengan Uni Eropa bernama DCFTA (Deep and Comprehensive Free Trade Agreement) dan justru melakukan kerja sama dengan Rusia. Padahal, masyarakat Ukraina sendiri ingin pemerintahnya melakukan kerja sama dengan Uni Eeropa, bahkan cenderung menginginkan untuk menjadi anggotanya. Namun, dilarang oleh Moskow.
Masyarakat melakukan demo dan protes secara masif, hingga berimbas pada pergolakan di Krimea. Warga Krimea, terutama yang datang dari etnis Rusia, merasa keamanannya terancam dan jaminan keselamatannya hilang.
Melihat hal tersebut, pihak parlemen Krimea yang mendukung pemerintah Rusia mendeklarasikan kemerdekaan Krimea dari Ukraina pada 11 Maret 2014. Sebanyak 96% masyarakat Krimea ingin bergabung dengan Rusia, dan hanya 30,4% yang menginginkan untuk tetap bersama Kyiv.
Berlandaskan hasil itu, Presiden Rusia, Vladimir Putin, segera mengirimkan pasukan militernya untuk berjaga di perbatasan Krimea. Langkah tersebut dipilih dengan alasan melindungi etnisnya yang merasa terancam. Berbagai sumber mencatat, setidaknya ada lebih dari seribu pasukan yang disiapsiagakan di perbatasan Krimea, dengan 300 unit senjata berat dan 170 kendaraan militer.
Selain perihal menjalankan prinsip R2P (The Responsibility of Protect), Rusia sangat menginginkan wilayah Krimea karena alasan lain. Tulisan Martin Nunn dan Martin Foley dalam EU Observer, menyebutkan bahwa kepentingan lain yang diinginkan dari Krimea adalah minyak dan gas.
Dengan melakukan aneksasi atas Krimea, Moskow juga akan menguasai hidrokarbon yang ditemukan di wilayah maritim Krimea, termasuk Laut Hitam dan Laut Azov. Data yang didapat menyebutkan bahwa kedua wilayah itu menyimpan kekayaan dengan potensi 10 miliar barel minyak serta 3,8 triliun kaki kubik gas alam.
Padahal, kedua negara ini sama-sama pecahan Uni Soviet yang runtuh pada tahun 1991 silam. Perang ini bukanlah konflik Rusia-Ukraina yang pertama kali. Sebelumnya, kedua negara sempat terlibat sengketa atas wilayah Krimea.
Tim Litbang MPI menelusuri beberapa sumber, termasuk jurnal, untuk menguak mengapa konflik Krimea sampai terjadi. Salah satu data didapat dari Jurnal Elektronik (eJournal) Hubungan Internasional (2019) bertajuk “Aneksasi Rusia Terhadap Krimea Tahun 2014”, yang ditulis oleh Irvand Sahir.
Jurnal tersebut menjabarkan bahwa wilayah Krimea, yang terletak di pantai utara Laut Hitam, ini bersifat semi-otonom Ukraina dan memiliki ikatan politik yang kuat dengan negara tersebut. Di sisi lain, Krimea juga sangat dekat dengan Rusia dari segi budayanya.
Fakta tersebut juga dibenarkan oleh Wasis Susetio, dkk, dalam jurnal “Perang Rusia-Ukraina: Mencari Keseimbangan Duna Baru”. Disebutkan, bahwa tahun 2014 pasukan militer Rusia melakukan aneksasi atas Krimea. Namun, masyarakat Krimea lebih memilih untuk bergabung bersama Federasi Rusia melalui sebuah referendum, karena memang lebih dekat dari sisi kebudayaan. Sebagian besar masyarakat Krimea menggunakan bahasa Rusia dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, konflik Krimea sebenarnya adalah buntut dari pergolakan Ukraina pada tahun 2013, di mana presidennya kala itu, Victor Yanukovych, enggan menandatangani pakta kerja sama ekonomi dengan Uni Eropa bernama DCFTA (Deep and Comprehensive Free Trade Agreement) dan justru melakukan kerja sama dengan Rusia. Padahal, masyarakat Ukraina sendiri ingin pemerintahnya melakukan kerja sama dengan Uni Eeropa, bahkan cenderung menginginkan untuk menjadi anggotanya. Namun, dilarang oleh Moskow.
Masyarakat melakukan demo dan protes secara masif, hingga berimbas pada pergolakan di Krimea. Warga Krimea, terutama yang datang dari etnis Rusia, merasa keamanannya terancam dan jaminan keselamatannya hilang.
Melihat hal tersebut, pihak parlemen Krimea yang mendukung pemerintah Rusia mendeklarasikan kemerdekaan Krimea dari Ukraina pada 11 Maret 2014. Sebanyak 96% masyarakat Krimea ingin bergabung dengan Rusia, dan hanya 30,4% yang menginginkan untuk tetap bersama Kyiv.
Berlandaskan hasil itu, Presiden Rusia, Vladimir Putin, segera mengirimkan pasukan militernya untuk berjaga di perbatasan Krimea. Langkah tersebut dipilih dengan alasan melindungi etnisnya yang merasa terancam. Berbagai sumber mencatat, setidaknya ada lebih dari seribu pasukan yang disiapsiagakan di perbatasan Krimea, dengan 300 unit senjata berat dan 170 kendaraan militer.
Selain perihal menjalankan prinsip R2P (The Responsibility of Protect), Rusia sangat menginginkan wilayah Krimea karena alasan lain. Tulisan Martin Nunn dan Martin Foley dalam EU Observer, menyebutkan bahwa kepentingan lain yang diinginkan dari Krimea adalah minyak dan gas.
Dengan melakukan aneksasi atas Krimea, Moskow juga akan menguasai hidrokarbon yang ditemukan di wilayah maritim Krimea, termasuk Laut Hitam dan Laut Azov. Data yang didapat menyebutkan bahwa kedua wilayah itu menyimpan kekayaan dengan potensi 10 miliar barel minyak serta 3,8 triliun kaki kubik gas alam.
(esn)
tulis komentar anda