Cerita Kanibalisme Tentara Salib di Suriah pada Tahun 1098
Senin, 26 Desember 2022 - 19:01 WIB
DAMASKUS - Dari semua kekejaman terkenal yang terjadi selama Perang Salib Pertama (1096-1099), pengepungan kota Ma'arra di Suriah paling menonjol.
Buntut mengerikan dari kejatuhan kota itu dan pendudukan oleh Tentara Salib Eropa yang menyerang Ma'arra adalah beberapa dari mereka melakukan kanibalisme terhadap Muslim yang mati karena kekurangan makanan dan kelaparan.
“Apa yang sebenarnya terjadi saat itu? Yang terjadi adalah pengepungan, pembantaian dan kanibalisme di Ma'arra oleh Tentara Salib,” ungkap Omar Ahmed, pakar Timur Tengah di Middle East Monitor.
Di mana kejadian itu? Peristiwa itu di Suriah. Kapan terjadinya? 12 Desember 1098.
Antiokhia yang di era modern termasuk wilayah Turki, direbut Tentara Salib yang dipimpin Raymond dari Toulouse dan Bohemond dari Taranto pada Juni 1098 setelah pengepungan selama setahun.
Perebutan itu diikuti jatuhnya kota berbenteng Ma'araat Al-Numan, di tempat yang sekarang disebut Suriah.
Kota itu menyerah kepada Tentara Salib yang mengepungnya sekitar akhir November pada tahun yang sama.
“Para penyerbu ingin kota itu meningkatkan persediaan mereka yang semakin menipis dan memperluas kendali mereka atas Tanah Suci,” papar Omar Ahmed.
Hadiah utamanya adalah Yerusalem di Palestina, yang jatuh ke Tentara Salib pada 15 Juli 1099, dan harus menunggu 88 tahun lagi untuk dibebaskan oleh Sultan Salah Al-Din Al-Ayyubi yang dikenal di Barat sebagai "Saladin".
Awalnya, beberapa warga Muslim Ma'arra melarikan diri dari kota itu menyusul berita tentang nasib Antiokhia, dan beberapa dari merkea berhasil mencapai kota yang lebih aman di Aleppo, Homs, dan Hama.
Namun, pada saat Tentara Salib dipimpin Raymond tiba di Ma'arra, sebagian besar penduduk masih ada di sana.
Kurang dari 10.000 orang Muslim berpikir mereka akan aman di balik tembok kota yang sejauh ini dapat membantu mengusir para penjajah.
Setelah gagal dalam upaya pertamanya merebut kota, dan diejek oleh penduduk setempat dalam prosesnya, Raymond menggabungkan kekuatan dengan sekutu dan saingan politiknya Bohemond.
Tentara Salib gabungan itu gagal lagi, hingga mengadopsi strategi yang berbeda dan mengepung kota.
Saat musim dingin mendekat, penting mengamankan jalur pasokan, terutama memberi makan pasukan, yang mulai menderita kelaparan.
Pengepungan Berhasil
Akhirnya penjajah membangun menara pengepungan, yang selesai dalam waktu sepuluh hari. Mereka berhasil menembus tembok pada 11 Desember, memaksa warga masuk ke kota yang dipertahankan oleh milisi yang kurang terlatih dan diperlengkapi persenjataan.
Sebagian besar, Tentara Salib memutuskan bermalam sebelum menjarah kota keesokan harinya.
Penyerahan damai dinegosiasikan dengan anggota terkemuka kota itu, termasuk jalan yang aman. Namun, menjelang fajar, beberapa Tentara Salib yang lebih miskin dan lapar mulai menjarah kota.
Pada pagi hari tanggal 12 Desember, Tentara Salib lainnya menyadari hanya tinggal sedikit makanan yang tersisa yang telah diambil.
Mereka pun melakukan amukan hebat di Ma'arra. Tidak ada yang aman.
Seorang pengamat kontemporer mencatat, "Tidak ada sudut kota yang bersih dari mayat Saracen (Muslim), dan orang hampir tidak dapat pergi ke jalan kecuali dengan menginjak mayat mereka."
Tentara Salib Kanibal
Pembantaian tidak berakhir dengan pembunuhan massal pria, wanita dan anak-anak. Tentara Salib yang kelaparan beralih ke kanibalisme dengan banyaknya mayat bergelimpangan.
Seorang penulis sejarah, Radulph dari Caen, mencatat, "Beberapa orang mengatakan, karena kekurangan makanan, mereka merebus orang dewasa (Muslim) dalam panci masak, menusuk anak-anak dengan batang kayu dan memakannya dengan panggangan."
Fulcher dari Chartres mengakui kebiadaban yang dilakukan para Tentara Salib. "Saya ngeri untuk mengatakan banyak dari orang-orang kami, dilecehkan oleh kegilaan kelaparan yang berlebihan, potongan pantat orang Saracen (Muslim) yang sudah mati di sana, yang mereka masak, tetapi ketika itu belum cukup terpanggang oleh api, mereka melahapnya dengan mulut liar," ujar Fulcher.
Ada beberapa perdebatan ilmiah mengenai akar penyebab dari episode terkenal ini di Perang Salib Pertama, dengan beberapa menyalahkan tentara yang paling miskin, yang dikenal sebagai Tafur, sementara tanggapan umum yang putus asa terhadap kelaparan juga telah dikemukakan.
Beberapa sumber menyatakan pasukan Salib yang lebih miskin membedah tubuh orang mati untuk mencari koin yang disembunyikan di perut sebelum memasak dan memakan sisa-sisa daging dari tubuh.
Akhirnya sisa-sisa mayat manusia diseret ke luar kota, di mana mereka dibakar dalam tumpukan besar.
Kanibalisme itu sendiri dikatakan telah mengejutkan dan mencerca Tentara Salib. Sebagian besar penjajah berusaha menjauhkan diri dari tindakan minoritas.
Tidak Pernah Dilupakan
Namun bagi umat Islam, insiden tersebut memiliki dampak yang bertahan lama, yang tidak akan terlupakan.
Menurut penulis The Crusades Through Arab Eyes, Amin Maalouf, "Kenangan akan kekejaman ini, dilestarikan dan disebarkan oleh penyair lokal dan tradisi lisan, membentuk citra Faranj (Tentara Salib) yang tidak mudah pudar."
Begitu sensitifnya Perang Salib dan dampak budaya serta psikologisnya di Timur Tengah hingga hari ini, tidak mengherankan jika beberapa penggemar sepak bola Inggris di Piala Dunia 2022 di Qatar dilarang memasuki stadion dengan mengenakan kostum bergambar replika Tentara Salib.
Buntut mengerikan dari kejatuhan kota itu dan pendudukan oleh Tentara Salib Eropa yang menyerang Ma'arra adalah beberapa dari mereka melakukan kanibalisme terhadap Muslim yang mati karena kekurangan makanan dan kelaparan.
“Apa yang sebenarnya terjadi saat itu? Yang terjadi adalah pengepungan, pembantaian dan kanibalisme di Ma'arra oleh Tentara Salib,” ungkap Omar Ahmed, pakar Timur Tengah di Middle East Monitor.
Di mana kejadian itu? Peristiwa itu di Suriah. Kapan terjadinya? 12 Desember 1098.
Antiokhia yang di era modern termasuk wilayah Turki, direbut Tentara Salib yang dipimpin Raymond dari Toulouse dan Bohemond dari Taranto pada Juni 1098 setelah pengepungan selama setahun.
Perebutan itu diikuti jatuhnya kota berbenteng Ma'araat Al-Numan, di tempat yang sekarang disebut Suriah.
Kota itu menyerah kepada Tentara Salib yang mengepungnya sekitar akhir November pada tahun yang sama.
“Para penyerbu ingin kota itu meningkatkan persediaan mereka yang semakin menipis dan memperluas kendali mereka atas Tanah Suci,” papar Omar Ahmed.
Hadiah utamanya adalah Yerusalem di Palestina, yang jatuh ke Tentara Salib pada 15 Juli 1099, dan harus menunggu 88 tahun lagi untuk dibebaskan oleh Sultan Salah Al-Din Al-Ayyubi yang dikenal di Barat sebagai "Saladin".
Awalnya, beberapa warga Muslim Ma'arra melarikan diri dari kota itu menyusul berita tentang nasib Antiokhia, dan beberapa dari merkea berhasil mencapai kota yang lebih aman di Aleppo, Homs, dan Hama.
Namun, pada saat Tentara Salib dipimpin Raymond tiba di Ma'arra, sebagian besar penduduk masih ada di sana.
Kurang dari 10.000 orang Muslim berpikir mereka akan aman di balik tembok kota yang sejauh ini dapat membantu mengusir para penjajah.
Setelah gagal dalam upaya pertamanya merebut kota, dan diejek oleh penduduk setempat dalam prosesnya, Raymond menggabungkan kekuatan dengan sekutu dan saingan politiknya Bohemond.
Tentara Salib gabungan itu gagal lagi, hingga mengadopsi strategi yang berbeda dan mengepung kota.
Saat musim dingin mendekat, penting mengamankan jalur pasokan, terutama memberi makan pasukan, yang mulai menderita kelaparan.
Pengepungan Berhasil
Akhirnya penjajah membangun menara pengepungan, yang selesai dalam waktu sepuluh hari. Mereka berhasil menembus tembok pada 11 Desember, memaksa warga masuk ke kota yang dipertahankan oleh milisi yang kurang terlatih dan diperlengkapi persenjataan.
Sebagian besar, Tentara Salib memutuskan bermalam sebelum menjarah kota keesokan harinya.
Penyerahan damai dinegosiasikan dengan anggota terkemuka kota itu, termasuk jalan yang aman. Namun, menjelang fajar, beberapa Tentara Salib yang lebih miskin dan lapar mulai menjarah kota.
Pada pagi hari tanggal 12 Desember, Tentara Salib lainnya menyadari hanya tinggal sedikit makanan yang tersisa yang telah diambil.
Mereka pun melakukan amukan hebat di Ma'arra. Tidak ada yang aman.
Seorang pengamat kontemporer mencatat, "Tidak ada sudut kota yang bersih dari mayat Saracen (Muslim), dan orang hampir tidak dapat pergi ke jalan kecuali dengan menginjak mayat mereka."
Tentara Salib Kanibal
Pembantaian tidak berakhir dengan pembunuhan massal pria, wanita dan anak-anak. Tentara Salib yang kelaparan beralih ke kanibalisme dengan banyaknya mayat bergelimpangan.
Seorang penulis sejarah, Radulph dari Caen, mencatat, "Beberapa orang mengatakan, karena kekurangan makanan, mereka merebus orang dewasa (Muslim) dalam panci masak, menusuk anak-anak dengan batang kayu dan memakannya dengan panggangan."
Fulcher dari Chartres mengakui kebiadaban yang dilakukan para Tentara Salib. "Saya ngeri untuk mengatakan banyak dari orang-orang kami, dilecehkan oleh kegilaan kelaparan yang berlebihan, potongan pantat orang Saracen (Muslim) yang sudah mati di sana, yang mereka masak, tetapi ketika itu belum cukup terpanggang oleh api, mereka melahapnya dengan mulut liar," ujar Fulcher.
Ada beberapa perdebatan ilmiah mengenai akar penyebab dari episode terkenal ini di Perang Salib Pertama, dengan beberapa menyalahkan tentara yang paling miskin, yang dikenal sebagai Tafur, sementara tanggapan umum yang putus asa terhadap kelaparan juga telah dikemukakan.
Beberapa sumber menyatakan pasukan Salib yang lebih miskin membedah tubuh orang mati untuk mencari koin yang disembunyikan di perut sebelum memasak dan memakan sisa-sisa daging dari tubuh.
Akhirnya sisa-sisa mayat manusia diseret ke luar kota, di mana mereka dibakar dalam tumpukan besar.
Kanibalisme itu sendiri dikatakan telah mengejutkan dan mencerca Tentara Salib. Sebagian besar penjajah berusaha menjauhkan diri dari tindakan minoritas.
Tidak Pernah Dilupakan
Namun bagi umat Islam, insiden tersebut memiliki dampak yang bertahan lama, yang tidak akan terlupakan.
Menurut penulis The Crusades Through Arab Eyes, Amin Maalouf, "Kenangan akan kekejaman ini, dilestarikan dan disebarkan oleh penyair lokal dan tradisi lisan, membentuk citra Faranj (Tentara Salib) yang tidak mudah pudar."
Begitu sensitifnya Perang Salib dan dampak budaya serta psikologisnya di Timur Tengah hingga hari ini, tidak mengherankan jika beberapa penggemar sepak bola Inggris di Piala Dunia 2022 di Qatar dilarang memasuki stadion dengan mengenakan kostum bergambar replika Tentara Salib.
(sya)
Lihat Juga :
tulis komentar anda