Perang Dingin AS-China Telah Dimulai
Jum'at, 10 Juli 2020 - 12:07 WIB
WASHINGTON - Ketegangan antara China dan Amerika Serikat (AS) telah memasuki babak baru Perang Dingin. Bukan hanya pada tataran saling tuding, tetapi sudah menjadi persaingan tidak sehat antara kedua negara.
Musuh AS saat ini bukan ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) dan tidak pula Al-Qaeda ataupun Taliban. China kini menjadi musuh terbesar bagi AS. Segala upaya pun dilakukan AS untuk bisa “mengalahkan” China dalam berbagai sektor, baik ekonomi maupun militer. Namun, China justru semakin digdaya dengan pendekatan lunaknya dan strategi ekonomi jangka panjang.
Ancaman China terbesar bagi AS adalah pandemi virus corona, ketika Presiden AS Donald Trump menyebut virus itu sebagai "virus China"atau "virus Wuhan". Kedua negara juga bersaing sangat ketat dalam mengembangkan vaksin sebagai solusi mengakhiri pandemi.
Hingga AS menuding China berusaha menghalangi upaya penelitian yang dilakukan Washington dalam pengembangan vaksin virus corona. Kedua negara juga menempuh strategi yang berbeda dalam penanganan Covid-19 secara global. (Baca: Warga Amerika Percaya Rusia Bayar Taliban untuk Bunuh Tentara AS)
AS lebih cenderung bekerja sendiri dan menjauhi aliansinya dan memilih keluar dari Badan Kesehatan Dunia (WHO). Kalau China justru menggandeng negara berkembang dan memberikan pinjaman lunak untuk mengatasi krisis ekonomi akibat pandemi.
Ketegangan China melawan AS juga berimbas pada intervensi politik dalam negeri. Departemen Kehakiman AS menyelidiki pendanaan ilegal yang dilakukan agen rahasia China kepada Komite Nasional Demokrat (DNC) sebelum pemilu 1996.
Selain itu, China juga diduga membangun kedekatan dengan Partai Demokrat sebagai musuh utama Trump. Kedutaan Besar China di Washington juga menjadi alat bagi Beijing untuk mengoordinasikan dukungan bagi Partai Demokrat. Tentunya China memiliki kepentingan untuk menggusur Trump dari Gedung Putih dengan melakukan segala upaya agar dia tidak lagi berkuasa.
Konflik paling nyata AS-China terasa di Asia. Kedua negara itu berlomba dalam memperkuat pengaruh dalam diplomasi hingga perdagangan di Asia. Medan konfliknya bukan saja di Korea Utara, tetapi juga semakin intens di Laut China Selatan. AS membangun aliansi agar melawan dan mengusir China dari Kepulauan Spratly yang diklaim Beijing. (Baca juga: Tak Miliki Jaringan Listrik dan Internet, Jangan Anaktirikan Madrasah)
Permusuhan kedua negara juga berimbas kepada aplikasi media sosial. Ketika sudah lama Beijing memblokade berbagai situs media sosial asal AS, seperti Facebook, Twitter, hingga YouTube, AS pun mempertimbangkan akan menutup aplikasi asal China. Berbagai kekhawatiran adalah upaya pemerintah China mengontrol data pengguna aplikasi media sosial, seperti TikTok ataupun WeChat.
AS telah menuding China agar perempuan Uighur melakukan sterilisasi, melobi Eropa untuk melarang perusahaan keamanan China Nuctech, tidak memberikan visa bagi pejabat china yang bertanggung jawab atas Undang-undang keamanan baru Hong Kong dan memberikan hanya visa kerja selama 90 hari kepada jurnalis China. Konflik AS-China telah menjadi pertarungan ekonomi global dan geopolitik.
Peneliti dari Hinrich Foundation dan CEO konsultan risiko geopolitik Cognoscenti Group, Alan Dupont mengungkapkan, perang dingin antara China dan AS telah terjadi. AS dan China mewakili dua kekuatan berbeda, satu pihak adalah demokrasi liberal dan China adalah negara komunis. Kedua memiliki hasrat untuk menjadi pemimpin tertinggi di dunia. Nilai yang dibangun dalam konflik adalah kekuasaan. “Konflik AS-China bisa berlangsung beberapa dekade ke depan, meskipun kedua belah pihak menghindari konfrontasi militer,” kata Dupont dilansir The Diplomat.
Sebelumnya, Direktur Biro Penyelidikan Federal (FBI) Christopher Wray mengungkapkan, tindakan spionase dan pencurian yang dilakukan pemerintah China telah menjadi “ancaman jangka panjang” bagi masa depan AS. China telah menarget warga China yang tinggal di luar negeri untuk kembali ke kampung halamannya hingga mengganggu penelitian virus corona. (Lihat videonya: Maria Lumowa Berhasil Diekstradisi ke Indonesia, Simak Kronologis Lengkapnya)
“Taruhannya tidak bisa lebih tinggi,” kata Wray, dilansir BBC. "China terlibat dalam upaya (yang dilakukan seluruh) negara itu untuk menjadi satu-satunya negara adikuasa di dunia dengan segala cara yang diperlukan," ujarnya ketika berpidato di Institut Hudson di Washington, Selasa (7/7/2020), waktu setempat. Pidato itu disampaikan di tengah meningkatnya ketegangan antara AS dan China.
Pernyataan Wray tersebut menunjukkan bagaimana Washington sekarang melihat Beijing tidak hanya sebagai musuh yang agresif, tetapi juga rival ambisius dalam kepemimpinan global. Pernyataan tersebut merupakan salah satu dalam serangkaian kecaman keras oleh pejabat senior AS tentang topik tersebut. (Andika H Mustaqim)
Musuh AS saat ini bukan ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) dan tidak pula Al-Qaeda ataupun Taliban. China kini menjadi musuh terbesar bagi AS. Segala upaya pun dilakukan AS untuk bisa “mengalahkan” China dalam berbagai sektor, baik ekonomi maupun militer. Namun, China justru semakin digdaya dengan pendekatan lunaknya dan strategi ekonomi jangka panjang.
Ancaman China terbesar bagi AS adalah pandemi virus corona, ketika Presiden AS Donald Trump menyebut virus itu sebagai "virus China"atau "virus Wuhan". Kedua negara juga bersaing sangat ketat dalam mengembangkan vaksin sebagai solusi mengakhiri pandemi.
Hingga AS menuding China berusaha menghalangi upaya penelitian yang dilakukan Washington dalam pengembangan vaksin virus corona. Kedua negara juga menempuh strategi yang berbeda dalam penanganan Covid-19 secara global. (Baca: Warga Amerika Percaya Rusia Bayar Taliban untuk Bunuh Tentara AS)
AS lebih cenderung bekerja sendiri dan menjauhi aliansinya dan memilih keluar dari Badan Kesehatan Dunia (WHO). Kalau China justru menggandeng negara berkembang dan memberikan pinjaman lunak untuk mengatasi krisis ekonomi akibat pandemi.
Ketegangan China melawan AS juga berimbas pada intervensi politik dalam negeri. Departemen Kehakiman AS menyelidiki pendanaan ilegal yang dilakukan agen rahasia China kepada Komite Nasional Demokrat (DNC) sebelum pemilu 1996.
Selain itu, China juga diduga membangun kedekatan dengan Partai Demokrat sebagai musuh utama Trump. Kedutaan Besar China di Washington juga menjadi alat bagi Beijing untuk mengoordinasikan dukungan bagi Partai Demokrat. Tentunya China memiliki kepentingan untuk menggusur Trump dari Gedung Putih dengan melakukan segala upaya agar dia tidak lagi berkuasa.
Konflik paling nyata AS-China terasa di Asia. Kedua negara itu berlomba dalam memperkuat pengaruh dalam diplomasi hingga perdagangan di Asia. Medan konfliknya bukan saja di Korea Utara, tetapi juga semakin intens di Laut China Selatan. AS membangun aliansi agar melawan dan mengusir China dari Kepulauan Spratly yang diklaim Beijing. (Baca juga: Tak Miliki Jaringan Listrik dan Internet, Jangan Anaktirikan Madrasah)
Permusuhan kedua negara juga berimbas kepada aplikasi media sosial. Ketika sudah lama Beijing memblokade berbagai situs media sosial asal AS, seperti Facebook, Twitter, hingga YouTube, AS pun mempertimbangkan akan menutup aplikasi asal China. Berbagai kekhawatiran adalah upaya pemerintah China mengontrol data pengguna aplikasi media sosial, seperti TikTok ataupun WeChat.
AS telah menuding China agar perempuan Uighur melakukan sterilisasi, melobi Eropa untuk melarang perusahaan keamanan China Nuctech, tidak memberikan visa bagi pejabat china yang bertanggung jawab atas Undang-undang keamanan baru Hong Kong dan memberikan hanya visa kerja selama 90 hari kepada jurnalis China. Konflik AS-China telah menjadi pertarungan ekonomi global dan geopolitik.
Peneliti dari Hinrich Foundation dan CEO konsultan risiko geopolitik Cognoscenti Group, Alan Dupont mengungkapkan, perang dingin antara China dan AS telah terjadi. AS dan China mewakili dua kekuatan berbeda, satu pihak adalah demokrasi liberal dan China adalah negara komunis. Kedua memiliki hasrat untuk menjadi pemimpin tertinggi di dunia. Nilai yang dibangun dalam konflik adalah kekuasaan. “Konflik AS-China bisa berlangsung beberapa dekade ke depan, meskipun kedua belah pihak menghindari konfrontasi militer,” kata Dupont dilansir The Diplomat.
Sebelumnya, Direktur Biro Penyelidikan Federal (FBI) Christopher Wray mengungkapkan, tindakan spionase dan pencurian yang dilakukan pemerintah China telah menjadi “ancaman jangka panjang” bagi masa depan AS. China telah menarget warga China yang tinggal di luar negeri untuk kembali ke kampung halamannya hingga mengganggu penelitian virus corona. (Lihat videonya: Maria Lumowa Berhasil Diekstradisi ke Indonesia, Simak Kronologis Lengkapnya)
“Taruhannya tidak bisa lebih tinggi,” kata Wray, dilansir BBC. "China terlibat dalam upaya (yang dilakukan seluruh) negara itu untuk menjadi satu-satunya negara adikuasa di dunia dengan segala cara yang diperlukan," ujarnya ketika berpidato di Institut Hudson di Washington, Selasa (7/7/2020), waktu setempat. Pidato itu disampaikan di tengah meningkatnya ketegangan antara AS dan China.
Pernyataan Wray tersebut menunjukkan bagaimana Washington sekarang melihat Beijing tidak hanya sebagai musuh yang agresif, tetapi juga rival ambisius dalam kepemimpinan global. Pernyataan tersebut merupakan salah satu dalam serangkaian kecaman keras oleh pejabat senior AS tentang topik tersebut. (Andika H Mustaqim)
(ysw)
tulis komentar anda