Jadi Lokasi Tes 67 Bom Nuklir AS, Kepulauan Marshall Tuntut Kompensasi Rp46,8 Triliun
Selasa, 01 November 2022 - 13:59 WIB
MAJURO - Kepulauan Marshall bertekad menuntut kompensasi sebesar USD3 miliar atau lebih dari Rp46,8 triliun kepada Amerika Serikat (AS). Itu adalah kompensasi atas dampak ledakan dari uji coba 67 bom nuklir Amerika di sana lebih dari 70 tahun silam.
Kepulauan Marshall mengajukan tuntutan kompensasi melalui Pengadilan Klaim Nuklir, sebuah pengadilan internasional.
Dari total nilai tuntutan, AS sejauh ini baru membayar sekitar USD270 juta (lebih dari Rp4,2 triliun).
Sisa uang kompensasi yang belum dibayarkan itu akan terus dikejar para para pejabat Kepulauan Marshall yang bersiap untuk melanjutkan pembicaraan dengan AS pekan ini untuk memperbarui kesepakatan ekonomi dan keamanan yang sudah berlangsung lama.
Para pejabat negara di Pasifik ini bersedia melanjutkan pembicaraan asalkan Washington mengatasi keluhan tentang dampak dari uji coba 67 senjata nuklirnya.
Uji coba dari puluhan bom pemusnah massal itu berlangsung di Kepulauan Marshall antara tahun 1946 hingga 1958. Itu menimbulkan dampak kesehatan dan lingkungan masih terasa di beberapa pulau dan atol yang terletak di antara Hawaii dan Filipina.
Utusan khusus AS Joseph Yun dijadwalkan mendarat di Ibu Kota Kepulauan Marshall, Majuro, pada Kamis (3/11/2022) untuk melanjutkan negosiasi perpanjangan Compact of Free Association selama 20 tahun, yang sebagian akan berakhir pada 2023.
Para perunding Kepulauan Marshall pertama-tama ingin AS menyelesaikan pembayaran kompensasi USD3 miliar yang baru dibayarkan USD270 juta.
Para pejabat di Majuro menghentikan pembicaraan pada bulan September untuk memperbarui kesepakatan antara AS, Kepulauan Marshall, Mikronesia dan Palau.
Kepulauan Marshall mengatakan pihaknya juga akan siap untuk melanjutkan pembicaraan dengan Yun jika Washington menangani masalah kesehatan dan lingkungan yang berasal dari uji coba bom nuklir Washington di masa lalu.
"Kami siap untuk menandatangani (perpanjangan Compact) besok, setelah masalah utama ditangani," kata Ketua Parlemen Kenneth Kedi kepada AFP, Selasa (1/11/2022).
"Kami perlu menemukan solusi yang bermartabat," katanya.
Kedi mewakili Rongelap Atoll yang masih terkena dampak uji coba bom nuklir Amerika.
Dia didorong oleh kesepakatan yang ditandatangani pada akhir September oleh Presiden AS Joe Biden dan para pemimpin pulau Pasifik, termasuk Presiden Kepulauan Marshall David Kabua, yang mencakup referensi komitmen AS untuk menangani masa lalu nuklirnya.
"Namun, sampai itu terjadi, itu menimbulkan tanda tanya pada semua janji yang telah dibuat Washington," kata Kedi.
"Jika kita tidak bisa menyelesaikan masalah dari masa lalu kita, bagaimana kedepannya dengan masalah lain?"
Ribuan penduduk Kepulauan Marshall ditelan oleh awan radioaktif setelah uji coba nuklir Castle Bravo tahun 1954 oleh militer AS, dan banyak yang kemudian mengalami masalah kesehatan.
Puing-puing yang terkontaminasi dari uji coba bom itu dibuang di kawah di Enewetak Atoll dan ditutup dengan beton yang telah retak, memicu masalah kesehatan.
Ratusan penduduk pulau dari Kepulauan Marshall--Bikini, Enewetak, Rongelap dan Utrik--juga harus direlokasi karena kontaminasi nuklir. Banyak yang masih belum bisa pulang.
Sebuah studi yang dikeluarkan oleh US National Cancer Institute pada tahun 2004 memperkirakan sekitar 530 kasus kanker disebabkan oleh uji coba bom nuklir.
"Sebagai Bikinians [warga Bikini], kami telah melakukan cukup banyak untuk Amerika Serikat," kata Alson Kelen, ketua Komisi Nuklir Nasional Kepulauan Marshall, yang percaya bahwa Amerika Serikat harus membayar jumlah penuh dari kompensasi yang diberikan.
"Kami tidak meminta untuk menjadi kaya. Kami meminta dana untuk menyelesaikan masalah nuklir kami...sebenarnya dana tersebut untuk mengurangi dan mengatasi masalah kesehatan, relokasi, dan pembersihan nuklir kami," kata Kelen.
Kepulauan Marshall mengajukan tuntutan kompensasi melalui Pengadilan Klaim Nuklir, sebuah pengadilan internasional.
Dari total nilai tuntutan, AS sejauh ini baru membayar sekitar USD270 juta (lebih dari Rp4,2 triliun).
Sisa uang kompensasi yang belum dibayarkan itu akan terus dikejar para para pejabat Kepulauan Marshall yang bersiap untuk melanjutkan pembicaraan dengan AS pekan ini untuk memperbarui kesepakatan ekonomi dan keamanan yang sudah berlangsung lama.
Para pejabat negara di Pasifik ini bersedia melanjutkan pembicaraan asalkan Washington mengatasi keluhan tentang dampak dari uji coba 67 senjata nuklirnya.
Uji coba dari puluhan bom pemusnah massal itu berlangsung di Kepulauan Marshall antara tahun 1946 hingga 1958. Itu menimbulkan dampak kesehatan dan lingkungan masih terasa di beberapa pulau dan atol yang terletak di antara Hawaii dan Filipina.
Utusan khusus AS Joseph Yun dijadwalkan mendarat di Ibu Kota Kepulauan Marshall, Majuro, pada Kamis (3/11/2022) untuk melanjutkan negosiasi perpanjangan Compact of Free Association selama 20 tahun, yang sebagian akan berakhir pada 2023.
Para perunding Kepulauan Marshall pertama-tama ingin AS menyelesaikan pembayaran kompensasi USD3 miliar yang baru dibayarkan USD270 juta.
Para pejabat di Majuro menghentikan pembicaraan pada bulan September untuk memperbarui kesepakatan antara AS, Kepulauan Marshall, Mikronesia dan Palau.
Kepulauan Marshall mengatakan pihaknya juga akan siap untuk melanjutkan pembicaraan dengan Yun jika Washington menangani masalah kesehatan dan lingkungan yang berasal dari uji coba bom nuklir Washington di masa lalu.
"Kami siap untuk menandatangani (perpanjangan Compact) besok, setelah masalah utama ditangani," kata Ketua Parlemen Kenneth Kedi kepada AFP, Selasa (1/11/2022).
"Kami perlu menemukan solusi yang bermartabat," katanya.
Kedi mewakili Rongelap Atoll yang masih terkena dampak uji coba bom nuklir Amerika.
Dia didorong oleh kesepakatan yang ditandatangani pada akhir September oleh Presiden AS Joe Biden dan para pemimpin pulau Pasifik, termasuk Presiden Kepulauan Marshall David Kabua, yang mencakup referensi komitmen AS untuk menangani masa lalu nuklirnya.
"Namun, sampai itu terjadi, itu menimbulkan tanda tanya pada semua janji yang telah dibuat Washington," kata Kedi.
"Jika kita tidak bisa menyelesaikan masalah dari masa lalu kita, bagaimana kedepannya dengan masalah lain?"
Ribuan penduduk Kepulauan Marshall ditelan oleh awan radioaktif setelah uji coba nuklir Castle Bravo tahun 1954 oleh militer AS, dan banyak yang kemudian mengalami masalah kesehatan.
Puing-puing yang terkontaminasi dari uji coba bom itu dibuang di kawah di Enewetak Atoll dan ditutup dengan beton yang telah retak, memicu masalah kesehatan.
Ratusan penduduk pulau dari Kepulauan Marshall--Bikini, Enewetak, Rongelap dan Utrik--juga harus direlokasi karena kontaminasi nuklir. Banyak yang masih belum bisa pulang.
Sebuah studi yang dikeluarkan oleh US National Cancer Institute pada tahun 2004 memperkirakan sekitar 530 kasus kanker disebabkan oleh uji coba bom nuklir.
"Sebagai Bikinians [warga Bikini], kami telah melakukan cukup banyak untuk Amerika Serikat," kata Alson Kelen, ketua Komisi Nuklir Nasional Kepulauan Marshall, yang percaya bahwa Amerika Serikat harus membayar jumlah penuh dari kompensasi yang diberikan.
"Kami tidak meminta untuk menjadi kaya. Kami meminta dana untuk menyelesaikan masalah nuklir kami...sebenarnya dana tersebut untuk mengurangi dan mengatasi masalah kesehatan, relokasi, dan pembersihan nuklir kami," kata Kelen.
(min)
tulis komentar anda