Swiss Usulkan Denda Rp15 Juta Bagi Pelanggar Larangan Burqa
Kamis, 13 Oktober 2022 - 22:17 WIB
BERN - Pemerintah Swiss telah mengirimkan rancangan undang-undang (RUU) ke parlemen terkait hukuman melanggar larangan burqa. Menurut RUU itu, mereka yang melanggar larangan menutupi wajah akan dikenai denda hingga USD1.000 atau sekitar Rp15 juta.
RUU yang dikirim pada Rabu waktu setempat itu mengikuti referendum tahun lalu tentang pelarangan penutup wajah. Larangan yang dikenal sebagai "larangan burqa" itu didukung oleh 51,2 persen pemilih, tetapi pada saat itu dikritik sebagai Islamofobia dan seksis.
Setelah berkonsultasi, kabinet mempermudah seruan untuk menetapkan larangan dalam undang-undang pidana dan denda pelanggar hingga USD10.000 atau sekitar Rp154 juta.
“Larangan menutupi wajah bertujuan untuk memastikan keamanan dan ketertiban umum. Hukuman bukan prioritas," kata kabinet Swiss dalam sebuah pernyataan seperti dikutip dari Al Jazeera, Kamis (13/10/2022).
Inisiatif untuk melarang penutup wajah diluncurkan oleh Egerkinger Komitee, sebuah kelompok yang mencakup politisi dari Partai Rakyat Swiss yang berhaluan sayap kanan. Mereka mengatakan bahwa mereka mengorganisir perlawanan terhadap klaim kekuasaan Islam politik di Swiss.
RUU tersebut tidak menyebutkan burqa atau niqab, tetapi melarang orang menyembunyikan wajah mereka di tempat umum seperti transportasi umum, restoran atau berjalan di jalan, dengan menetapkan bahwa mata, hidung, dan mulut harus terlihat.
Misalnya, seorang wanita Muslim boleh mengenakan hijab yang menutupi rambutnya, tetapi tidak boleh mengenakan niqab, pakaian yang hanya memperlihatkan mata, atau burqa, kerudung seluruh tubuh yang juga menutupi wajah. Mereka hanya diperbolehkan di tempat-tempat ibadah.
Ada pengecualian lain dalam undang-undang yang mencakup penutup wajah untuk alasan keamanan, iklim, atau kesehatan, yang berarti orang diizinkan memakai masker untuk melindungi diri dari COVID-19.
Kelompok Muslim sebelumnya telah mengutuk larangan tersebut.
“Mematuhi aturan berpakaian dalam konstitusi bukanlah perjuangan pembebasan bagi perempuan tetapi langkah mundur ke masa lalu,” kata Federasi Organisasi Islam di Swiss, seraya menambahkan nilai-nilai Swiss tentang netralitas, toleransi, dan perdamaian telah dirugikan dalam perdebatan tersebut.
Muslim membentuk 5 persen dari populasi Swiss yang berjumlah 8,6 juta orang. Mereka sebagian besar berasal dari Turki, Bosnia dan Herzegovina serta Kosovo.
Menurut perkiraan Universitas Lucerne, hanya sekitar 30 wanita yang memakai niqab di negara ini.
Swiss adalah salah satu dari lima negara di mana penutup wajah dilarang. Prancis melarang pemakaian cadar di depan umum pada tahun 2011, sementara Denmark, Austria, Belanda dan Bulgaria memiliki larangan penuh atau sebagian pada penutup wajah di depan umum.
Amnesty International menyebut larangan cadar sebagai "kebijakan berbahaya yang melanggar hak-hak perempuan, termasuk kebebasan berekspresi dan beragama".
RUU yang dikirim pada Rabu waktu setempat itu mengikuti referendum tahun lalu tentang pelarangan penutup wajah. Larangan yang dikenal sebagai "larangan burqa" itu didukung oleh 51,2 persen pemilih, tetapi pada saat itu dikritik sebagai Islamofobia dan seksis.
Setelah berkonsultasi, kabinet mempermudah seruan untuk menetapkan larangan dalam undang-undang pidana dan denda pelanggar hingga USD10.000 atau sekitar Rp154 juta.
“Larangan menutupi wajah bertujuan untuk memastikan keamanan dan ketertiban umum. Hukuman bukan prioritas," kata kabinet Swiss dalam sebuah pernyataan seperti dikutip dari Al Jazeera, Kamis (13/10/2022).
Inisiatif untuk melarang penutup wajah diluncurkan oleh Egerkinger Komitee, sebuah kelompok yang mencakup politisi dari Partai Rakyat Swiss yang berhaluan sayap kanan. Mereka mengatakan bahwa mereka mengorganisir perlawanan terhadap klaim kekuasaan Islam politik di Swiss.
RUU tersebut tidak menyebutkan burqa atau niqab, tetapi melarang orang menyembunyikan wajah mereka di tempat umum seperti transportasi umum, restoran atau berjalan di jalan, dengan menetapkan bahwa mata, hidung, dan mulut harus terlihat.
Misalnya, seorang wanita Muslim boleh mengenakan hijab yang menutupi rambutnya, tetapi tidak boleh mengenakan niqab, pakaian yang hanya memperlihatkan mata, atau burqa, kerudung seluruh tubuh yang juga menutupi wajah. Mereka hanya diperbolehkan di tempat-tempat ibadah.
Ada pengecualian lain dalam undang-undang yang mencakup penutup wajah untuk alasan keamanan, iklim, atau kesehatan, yang berarti orang diizinkan memakai masker untuk melindungi diri dari COVID-19.
Kelompok Muslim sebelumnya telah mengutuk larangan tersebut.
“Mematuhi aturan berpakaian dalam konstitusi bukanlah perjuangan pembebasan bagi perempuan tetapi langkah mundur ke masa lalu,” kata Federasi Organisasi Islam di Swiss, seraya menambahkan nilai-nilai Swiss tentang netralitas, toleransi, dan perdamaian telah dirugikan dalam perdebatan tersebut.
Muslim membentuk 5 persen dari populasi Swiss yang berjumlah 8,6 juta orang. Mereka sebagian besar berasal dari Turki, Bosnia dan Herzegovina serta Kosovo.
Menurut perkiraan Universitas Lucerne, hanya sekitar 30 wanita yang memakai niqab di negara ini.
Swiss adalah salah satu dari lima negara di mana penutup wajah dilarang. Prancis melarang pemakaian cadar di depan umum pada tahun 2011, sementara Denmark, Austria, Belanda dan Bulgaria memiliki larangan penuh atau sebagian pada penutup wajah di depan umum.
Amnesty International menyebut larangan cadar sebagai "kebijakan berbahaya yang melanggar hak-hak perempuan, termasuk kebebasan berekspresi dan beragama".
(ian)
tulis komentar anda