Hendak Membom Katedral St Paul, Wanita Pro-ISIS Dipenjara Seumur Hidup
Sabtu, 04 Juli 2020 - 00:46 WIB
LONDON - Seorang wanita Inggris pendukung ISIS yang berencana membom Katedral St Paul di London dan sebuah hotel di dekatnya telah dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.
Selain berencana membom gereja dan hotel, wanita bernama Safiyya Amira Shaikh ini juga berniat meledakkan diri dalam serangan bom bunuh diri di London Underground.
Di sidang pengadilan hari Jumat (3/7/2020), Shaikh mengaku merencanakan aksi terorisme dan berbagi informasi yang mendorong orang lain untuk melakukan hal yang sama.
Shaikh mengenakan jilbab hitam saat menjalani sidang di pengadilan. Meski dihukum penjara seumur hidup, dia memiliki kesempatan bebas bersyarat dengan ketentuan harus terlebih dahulu menghabiskan minimal 14 tahun di dalam penjara. (Baca:
Wanita Pendukung ISIS Ini Hendak Mengebom Katedral St Paul )
Wanita berusia 36 tahun ini, yang dilaporkan sudah berada di bawah pengawasan polisi dan para agen MI5, ditangkap oleh dua petugas yang menyamar sebagai rekan ekstremis. Dia membagikan rencananya dengan para petugas yang menyamar itu secara online.
Menurut laporan The Guardian, Shaikh memberi tahu petugas tentang rencananya, berbagi gambar bagian dalam kubah katedral. "Saya ingin melakukan (di) tempat ini dengan pasti," tulis dia. "Saya ingin membom dan menembak sampai mati...Saya benar-benar ingin menghancurkan tempat itu dan kafir di sana."
Shaikh, yang dikenal sebagai Michelle Ramsden sebelum jadi mualaf pada 2007, kemudian bertemu dengan dua petugas yang menyamar. Salah satu dari mereka mengumpulkan ransel dan tas serbaguna, yang diyakini Shaikh akan berubah menjadi alat peledak, sementara yang kedua petugas itu berpura-pura mengukur rompi bom bunuh diri yang akan dikenakan wanita pendukung ISIS tersebut.
Dia ditangkap pada Oktober tahun lalu ketika dia membatalkan rencana pertemuan dengan petugas yang menyamar. Laporan The Guardian mengatakan selama interogasi polisi dia mengaku mengurangi keterlibatannya dalam plot terorisme tersebut.
Di pengadilan, penasihat hukum terdakwa, Ben Newton, berpendapat dalam mitigasi bahwa Shaikh mempunyai "kaki dingin" tentang melakukan serangan.
"Tindakan teroris khusus ini tidak akan pernah benar-benar terjadi," katanya kepada hakim pengadilan. “Tiga orang terlibat dalam komplotan ini, dan dua lainnya adalah petugas polisi yang menyamar. Tidak ada bom, dan tidak akan pernah ada. Dia tidak ingin meledakkan gereja, dia hanya ingin teman."
Tim jaksa penuntut yang dipimpin oleh Alison Morgan, menggambarkan Shaikh sebagai "ekstremis brutal". Jaksa menuduh dia memiliki niat kuat untuk melakukan serangan di seluruh wilayah.
Shaikh diketahui dilacak oleh penyelidik anti-terorisme pada awal 2016. Dia kemudian dirujuk ke program deradikalisasi Prevent tiga kali antara 2016 hingga 2018.
Selain berencana membom gereja dan hotel, wanita bernama Safiyya Amira Shaikh ini juga berniat meledakkan diri dalam serangan bom bunuh diri di London Underground.
Di sidang pengadilan hari Jumat (3/7/2020), Shaikh mengaku merencanakan aksi terorisme dan berbagi informasi yang mendorong orang lain untuk melakukan hal yang sama.
Shaikh mengenakan jilbab hitam saat menjalani sidang di pengadilan. Meski dihukum penjara seumur hidup, dia memiliki kesempatan bebas bersyarat dengan ketentuan harus terlebih dahulu menghabiskan minimal 14 tahun di dalam penjara. (Baca:
Wanita Pendukung ISIS Ini Hendak Mengebom Katedral St Paul )
Wanita berusia 36 tahun ini, yang dilaporkan sudah berada di bawah pengawasan polisi dan para agen MI5, ditangkap oleh dua petugas yang menyamar sebagai rekan ekstremis. Dia membagikan rencananya dengan para petugas yang menyamar itu secara online.
Menurut laporan The Guardian, Shaikh memberi tahu petugas tentang rencananya, berbagi gambar bagian dalam kubah katedral. "Saya ingin melakukan (di) tempat ini dengan pasti," tulis dia. "Saya ingin membom dan menembak sampai mati...Saya benar-benar ingin menghancurkan tempat itu dan kafir di sana."
Shaikh, yang dikenal sebagai Michelle Ramsden sebelum jadi mualaf pada 2007, kemudian bertemu dengan dua petugas yang menyamar. Salah satu dari mereka mengumpulkan ransel dan tas serbaguna, yang diyakini Shaikh akan berubah menjadi alat peledak, sementara yang kedua petugas itu berpura-pura mengukur rompi bom bunuh diri yang akan dikenakan wanita pendukung ISIS tersebut.
Dia ditangkap pada Oktober tahun lalu ketika dia membatalkan rencana pertemuan dengan petugas yang menyamar. Laporan The Guardian mengatakan selama interogasi polisi dia mengaku mengurangi keterlibatannya dalam plot terorisme tersebut.
Di pengadilan, penasihat hukum terdakwa, Ben Newton, berpendapat dalam mitigasi bahwa Shaikh mempunyai "kaki dingin" tentang melakukan serangan.
"Tindakan teroris khusus ini tidak akan pernah benar-benar terjadi," katanya kepada hakim pengadilan. “Tiga orang terlibat dalam komplotan ini, dan dua lainnya adalah petugas polisi yang menyamar. Tidak ada bom, dan tidak akan pernah ada. Dia tidak ingin meledakkan gereja, dia hanya ingin teman."
Tim jaksa penuntut yang dipimpin oleh Alison Morgan, menggambarkan Shaikh sebagai "ekstremis brutal". Jaksa menuduh dia memiliki niat kuat untuk melakukan serangan di seluruh wilayah.
Shaikh diketahui dilacak oleh penyelidik anti-terorisme pada awal 2016. Dia kemudian dirujuk ke program deradikalisasi Prevent tiga kali antara 2016 hingga 2018.
(min)
tulis komentar anda