Indonesia Patut Waspadai Pangkalan AL China di Kamboja
Selasa, 13 September 2022 - 17:02 WIB
JAKARTA - Bukan hal baru bahwa China telah mencoba untuk membangun kontrol dan otoritas atas politik global serta telah berusaha keras untuk membangun dan memenuhi kepentingan hegemoniknya di Asia Tenggara.
Salah satu upaya China dengan memanfaatkan Kamboja sebagai mata rantai baru dan menjadikannya pos terdepan untuk mengendalikan Asia Tenggara.
Faktor kunci di balik pilihan Beijing menggandeng Kamboja adalah latar belakang politik hubungan baik dengan rezim Hun Sen yang non-demokratis, serta stabilnya ekonomi Kamboja karena investasi China terkonsentrasi serta banyak bisnis maupun perusahaan Negeri Tirai Bambu yang beroperasi di sana.
Pangkalan Angkatan Laut China yang akan datang di Kamboja adalah salah satu contoh pos terdepan tersebut. Apalagi Kamboja memang memiliki masalah demarkasi perbatasan darat yang belum terselesaikan dengan Vietnam yang kebetulan merupakan saingan China dalam konflik di Laut China Selatan.
Ditambah lagi hubungan antara Kamboja dan Amerika Serikat yang mengalami stagnasi akhir-akhir ini, semakin berkontribusi pada konsentrasi dan pengaruh China di Kamboja.
Menanggapi hal ini, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) meminta negara-negara dunia khususnya ASEAN terutama Indonesia, untuk mewaspadai gerakan China dan Kamboja, yang patut diduga menjadi ancaman kedaulatan sebuah negara.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) IMM, Rimbo Bugis, mengatakan disharmonisasi Kamboja dengan Amerika Serikat dan ketegangan Kamboja-Vietnam atas demarkasi yang belum selesai, adalah point yang dilihat China untuk menghangatkan hubungan dengan Kamboja.
“China telah berusaha untuk memperkuat kekuatan militer Kamboja untuk pendekatan perimbangan lepas pantai guna mengantisipasi kemungkinan perang proksi,” kata Rimbo Bugis kepada wartawan, Senin (12/9/2022).
“Hal ini kemungkinan besar dilakukan China untuk menghindari pengerahan secara langsung atau melibatkan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) atau Angkatan Lautnya (PLAN) ke Kamboja,” lanjut Rimbo.
Pendirian pangkalan angkatan laut China di Kamboja, tentunya menimbulkan risiko keamanan yang besar bagi negara-negara di Asia Tenggara.
Apalagi dalam modernisasi dan perluasan Pangkalan Angkatan Laut Ream, dapat memungkinkan Angkatan Laut Kerajaan Kamboja (RCN) mengoperasikan kapal pengangkut rudal anti-kapal dan pertahanan udara seperti kapal rudal Tipe 22 (kelas Houbei) China, korvet Tipe 056, dan Tipe 054A frigat, jauh berbeda dengan kemampuan RCN sebelumnya yang hanya memiliki kemampuan mengoperasikan kapal patroli tanpa rudal anti kapal.
Bersamaan dengan pangkalan angkatan laut, China terus menggencarkan proyek pembangunan infrastruktur skala besar yang dilakukan di Kamboja.
Misalnya proyek Bandara Internasional Dara Sakor (landasan 3.900 meter) oleh Union Development Group China, dan pelabuhan laut sedalam 15 meter di Kampot, dimana pelabuhan tersebut akan memungkinkan kapal induk China serta kapal serbu amfibi Tipe 075, kapal pendarat tipe 072A dan kapal suplai armada China untuk berlayar.
“Di antara kepentingan jangka panjang China adalah mempromosikan konsep Jalan Sutra Maritim untuk mengamankan akses ke Teluk Thailand, dan memproyeksikan kekuatannya ke Samudra Hindia melalui Tanah Genting Kula,” jelas Rimbo.
IMM mensinyalir China memiliki kepentingan geopolitik untuk mengamankan infrastruktur alternatif di Selat Malaka-Singapura, dan ingin menyelesaikan apa yang disebut "dilema Malaka", mengingat ketergantung Beijing yang tinggi pada impor minyak mentah (72% pada tahun 2021) dan fakta bahwa lebih banyak dari 65 persen minyak mentah impor diimpor dari negara-negara Timur Tengah dan Afrika melalui Selat Malaka-Singapura.
Bahkan jika impor bahan bakar fosil dari Rusia meningkat setelah invasi skala penuh Rusia ke Ukraina, China perlu terus meningkatkan impor minyak mentah dari negara-negara Timur Tengah dan Afrika untuk memenuhi permintaan domestiknya yang kuat.
Pengaruh China atas ASEAN akan semakin diperkuat dengan pendekatan “rule of money” dan “rule of gun” alih-alih “rule of law”.
“Dengan demikian, negara-negara yang berpikiran sama apalagi terjebak utang Beijing, tidak akan mampu melawan pengaruh besar China kecuali mereka berkoordinasi dan secara kolektif mengelola aset, sumber daya negera dengan China,” ucap Rimbo.
China diduga kuat akan lebih banyak membangun pangkalan militer seperti yang muncul di Kamboja, yang sangat dikhawatirkan menyulut ketegangan di Laut Cina Selatan dan berpotensi menghancurkan kedaulatan negara-negara ASEAN.
“Ini akan mengubah Kamboja menjadi alat Cina. Negara-negara Asean dan dunia khususnya Indonesia seyogianya waspada dengan langkah dan taktik Beijing ini,” pungkas Rimbo.
Salah satu upaya China dengan memanfaatkan Kamboja sebagai mata rantai baru dan menjadikannya pos terdepan untuk mengendalikan Asia Tenggara.
Faktor kunci di balik pilihan Beijing menggandeng Kamboja adalah latar belakang politik hubungan baik dengan rezim Hun Sen yang non-demokratis, serta stabilnya ekonomi Kamboja karena investasi China terkonsentrasi serta banyak bisnis maupun perusahaan Negeri Tirai Bambu yang beroperasi di sana.
Pangkalan Angkatan Laut China yang akan datang di Kamboja adalah salah satu contoh pos terdepan tersebut. Apalagi Kamboja memang memiliki masalah demarkasi perbatasan darat yang belum terselesaikan dengan Vietnam yang kebetulan merupakan saingan China dalam konflik di Laut China Selatan.
Ditambah lagi hubungan antara Kamboja dan Amerika Serikat yang mengalami stagnasi akhir-akhir ini, semakin berkontribusi pada konsentrasi dan pengaruh China di Kamboja.
Menanggapi hal ini, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) meminta negara-negara dunia khususnya ASEAN terutama Indonesia, untuk mewaspadai gerakan China dan Kamboja, yang patut diduga menjadi ancaman kedaulatan sebuah negara.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) IMM, Rimbo Bugis, mengatakan disharmonisasi Kamboja dengan Amerika Serikat dan ketegangan Kamboja-Vietnam atas demarkasi yang belum selesai, adalah point yang dilihat China untuk menghangatkan hubungan dengan Kamboja.
“China telah berusaha untuk memperkuat kekuatan militer Kamboja untuk pendekatan perimbangan lepas pantai guna mengantisipasi kemungkinan perang proksi,” kata Rimbo Bugis kepada wartawan, Senin (12/9/2022).
“Hal ini kemungkinan besar dilakukan China untuk menghindari pengerahan secara langsung atau melibatkan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) atau Angkatan Lautnya (PLAN) ke Kamboja,” lanjut Rimbo.
Pendirian pangkalan angkatan laut China di Kamboja, tentunya menimbulkan risiko keamanan yang besar bagi negara-negara di Asia Tenggara.
Apalagi dalam modernisasi dan perluasan Pangkalan Angkatan Laut Ream, dapat memungkinkan Angkatan Laut Kerajaan Kamboja (RCN) mengoperasikan kapal pengangkut rudal anti-kapal dan pertahanan udara seperti kapal rudal Tipe 22 (kelas Houbei) China, korvet Tipe 056, dan Tipe 054A frigat, jauh berbeda dengan kemampuan RCN sebelumnya yang hanya memiliki kemampuan mengoperasikan kapal patroli tanpa rudal anti kapal.
Bersamaan dengan pangkalan angkatan laut, China terus menggencarkan proyek pembangunan infrastruktur skala besar yang dilakukan di Kamboja.
Misalnya proyek Bandara Internasional Dara Sakor (landasan 3.900 meter) oleh Union Development Group China, dan pelabuhan laut sedalam 15 meter di Kampot, dimana pelabuhan tersebut akan memungkinkan kapal induk China serta kapal serbu amfibi Tipe 075, kapal pendarat tipe 072A dan kapal suplai armada China untuk berlayar.
“Di antara kepentingan jangka panjang China adalah mempromosikan konsep Jalan Sutra Maritim untuk mengamankan akses ke Teluk Thailand, dan memproyeksikan kekuatannya ke Samudra Hindia melalui Tanah Genting Kula,” jelas Rimbo.
IMM mensinyalir China memiliki kepentingan geopolitik untuk mengamankan infrastruktur alternatif di Selat Malaka-Singapura, dan ingin menyelesaikan apa yang disebut "dilema Malaka", mengingat ketergantung Beijing yang tinggi pada impor minyak mentah (72% pada tahun 2021) dan fakta bahwa lebih banyak dari 65 persen minyak mentah impor diimpor dari negara-negara Timur Tengah dan Afrika melalui Selat Malaka-Singapura.
Bahkan jika impor bahan bakar fosil dari Rusia meningkat setelah invasi skala penuh Rusia ke Ukraina, China perlu terus meningkatkan impor minyak mentah dari negara-negara Timur Tengah dan Afrika untuk memenuhi permintaan domestiknya yang kuat.
Pengaruh China atas ASEAN akan semakin diperkuat dengan pendekatan “rule of money” dan “rule of gun” alih-alih “rule of law”.
“Dengan demikian, negara-negara yang berpikiran sama apalagi terjebak utang Beijing, tidak akan mampu melawan pengaruh besar China kecuali mereka berkoordinasi dan secara kolektif mengelola aset, sumber daya negera dengan China,” ucap Rimbo.
China diduga kuat akan lebih banyak membangun pangkalan militer seperti yang muncul di Kamboja, yang sangat dikhawatirkan menyulut ketegangan di Laut Cina Selatan dan berpotensi menghancurkan kedaulatan negara-negara ASEAN.
“Ini akan mengubah Kamboja menjadi alat Cina. Negara-negara Asean dan dunia khususnya Indonesia seyogianya waspada dengan langkah dan taktik Beijing ini,” pungkas Rimbo.
(ian)
Lihat Juga :
tulis komentar anda