Umar Patek Ikut Program Deradikalisasi, Media Australia Soroti Tingkat Keberhasilannya

Selasa, 30 Agustus 2022 - 07:59 WIB
Umar Patek membawa bendera dalam upacara. Foto/ANTARA/Umarul Faruq
SYDNEY - Kabar pelaku bom Bali Umar Patek akan dibebaskan setelah menjalani hanya 10 tahun dari hukuman 20 tahun memicu reaksi keras dari para keluarga korban.

Umar Patek mengaku telah direhabilitasi setelah menjalani program "deradikalisasi" selama di penjara.

Dia mengaku ingin bekerja dengan para teroris muda terpidana setelah dia dibebaskan untuk membantu membasmi radikalisme di Indonesia.



"Saya ingin membantu pemerintah mengedukasi masyarakat tentang masalah ini, untuk milenial dan mungkin para narapidana teroris di penjara," papar dia, dilansir media Australia, ABC.



Jadi apa sebenarnya yang terlibat dalam program deradikalisasi ini dan apakah mereka berhasil?

Dua lembaga menjalankan program deradikalisasi utama di penjara-penjara Indonesia yakni Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Detasemen Khusus Antiteror Polri, atau Densus.

Sofyan Tsauri, mantan perwira polisi yang menjadi pemasok dan pelatih senjata Al Qaeda, ditangkap pada 2010 dan dijatuhi hukuman 10 tahun penjara.

Dia dibebaskan bersyarat pada 2015 setelah mengikuti program deradikalisasi yang dijalankan keduanya.

Dia mengatakan kepada ABC bahwa kunjungan Densus dan BNPT ke penjaranya "membuka dialog dan diskusi tentang pemahaman radikal dan nasionalisme kami."

Tsauri menjalani berbagai kursus mulai dari manajemen konflik hingga pengembangan empati, yang menurutnya meninggalkan kesan kuat dan membuka matanya.

Tokoh agama juga memberikan perspektif baru tentang praktik keagamaan dan toleransi.

“Saya jadi paham bahwa masalah sosial di masyarakat tidak hitam putih, ada kompromi dan akomodasi dalam mengatasi perbedaan di masyarakat,” papar dia.

"Ketika saya menjadi teroris, saya dulu merasa bahwa saya berpikir dengan tepat ... pada dasarnya jika saya benar, Anda salah, dan sebaliknya," ujar dia.

Peneliti dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) Jakarta Dyah Ayu Kartika mengatakan program BNPT meliputi kursus identifikasi, rehabilitasi, re-edukasi dan resosialisasi yang dilakukan di pusat deradikalisasi di Jawa Barat dan di Lapas.

“Menurut para narapidana yang (berpartisipasi) di penjara, programnya tidak terlalu intensif, dan biasanya dalam bentuk ceramah,” ungkap Kartika.

Menurut dia, program deradikalisasi yang dijalankan Densus difokuskan pada terpidana teroris di Lapas Pengamanan Maksimum dan Super Maksimum.

“Mereka menargetkan tokoh teroris utama, dan biasanya pendekatan mereka lebih personal, karena teroris ini ditangkap oleh Densus sehingga mereka tahu persis profil mereka, seperti apa kepribadian mereka, dan bagaimana mereka dapat didekati,” ujar dia.

Hendro Fernando bergabung dengan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang berafiliasi dengan Negara Islam pada 2014 dan kemudian ditangkap pada 2016, sehari setelah pemboman Thamrin Jakarta.

Juga dikenal sebagai Abu Jasyi, dia dijatuhi hukuman penjara enam tahun dua bulan karena memasok senjata api, merekrut dan mengirim ratusan warga negara Indonesia ke Suriah, dan penggalangan dana untuk MIT.

Seperti Tsauri, Fernando menjalani program deradikalisasi sebelum diberi remisi dan dibebaskan setelah menjalani empat tahun 10 bulan penjara.

Namun Fernando mengatakan tidak semua program deradikalisasi yang diterimanya efektif.

“Saat saya ditahan di Lapas Gunung Sindur misalnya, petugas mengkhotbahkan ideologi Pancasila, sedangkan saat itu ideologi saya masih kuat dan radikal… pada akhirnya saya sangat resisten,” papar dia.

Fernando mengatakan hanya ketika dia dipindahkan ke penjara keamanan super-maksimum di Nusa Kambangan, dia dideradikalisasi.

"Ada program 'Dakwah Safari' yang digagas Densus tiga kali seminggu, dan dilakukan oleh para napi teroris yang sudah kembali setia ke Indonesia tapi masih mendekam di penjara," ujar dia.

Dia mengatakan pendekatan dengan menggunakan sesama narapidana teroris ini lebih efektif.

“Saya merasa suasananya lebih cair dibanding saat bertemu dengan petugas badan kontraterorisme atau Kementerian Agama, jadi saya merasa nyaman bertukar pikiran,” papar dia.

Kartika mengatakan teroris yang dihukum diklasifikasikan oleh pihak berwenang ke dalam kategori merah, kuning dan hijau.

Merah untuk mereka yang masih ekstremis dengan pandangan radikal dan dianggap tidak kooperatif.

Hijau adalah untuk mereka yang kooperatif dan biasanya mengecam ekstremisme mereka dengan berjanji setia kepada Republik Indonesia.

“Kategori ini digunakan untuk menentukan di lapas seperti apa mereka akan ditempatkan, program apa yang akan diberikan dan hak apa yang dapat diberikan kepada mereka,” ungkap Kartika pada ABC.

Tsauri, yang sekarang bekerja untuk deradikalisasi ekstremis, mengatakan kemajuan peserta program dinilai dengan menggunakan serangkaian pertanyaan.

“Misalnya dulu, ketika ditanya siapa idola Anda, sebagai teroris radikal, jawabannya mungkin Osama atau tokoh jihad lainnya, tetapi setelah mengikuti program tersebut, jawaban saya berubah menjadi pemimpin Islam yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia seperti Hasyim Azhari," papar dia.

“Aturan yang dilonggarkan dan peningkatan hak adalah insentif,” tambah Fernando.

"(Setelah diklasifikasikan hijau) kami tidak lagi ditempatkan di sel isolasi, kami diizinkan bertemu tamu selain keluarga dekat kami, dan sebagainya," papar dia.

Profesor Politik Islam Global dari Deakin University Greg Barton mengatakan Australia memiliki program dengan tujuan serupa seperti Court Integrated Services Program (CISP) di Victoria dan Proactive Integrated Support Model (PRISM) di NSW.

“Kedua program tersebut tidak menggunakan bahasa deradikalisasi, tetapi menggunakan bahasa pelepasan dan rehabilitasi, dan kemudian mungkin program yang lebih menyeluruh dan komprehensif daripada yang dimiliki Indonesia saat ini,” ungkap Profesor Barton.

“Bukannya Indonesia tidak melakukan pekerjaan dengan baik … tetapi tidak dikomunikasikan dengan sangat jelas, tidak terlalu transparan, dan akan baik untuk melihat beberapa kerja sama yang kita lihat sebelumnya di Australia dan Indonesia,” papar dia.

Umar Patek adalah salah satu dari 16.659 tahanan di Jawa Timur yang pekan lalu menerima remisi umum untuk memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-77 dan memenuhi syarat untuk pembebasan bersyarat.

Dia awalnya dijatuhi hukuman pada 2012 karena perannya dalam pemboman yang menewaskan lebih dari 200 orang, termasuk 88 warga Australia.

Dia juga dinyatakan bersalah atas tuduhan senjata dan konspirasi atas kamp pelatihan teroris di Aceh pada 2009, dan karena mencampur bahan peledak untuk serangkaian serangan Malam Natal di gereja-gereja pada 2000.

Dia mengatakan kepada media lokal bahwa dia telah bekerja dengan program deradikalisasi di penjara selama delapan tahun terakhir.

Seperti Tsauri dan Fernando yang sudah dibebaskan, Patek akan menjalani wajib lapor dan terus dipantau.

"Selama tiga tahun setelah dibebaskan dengan pembebasan bersyarat, saya wajib melapor setiap bulan ke penjara setempat," ungkap Tsauri.

Dia juga mengatakan petugas secara berkala datang ke kediamannya untuk memeriksa aktivitasnya setelah dibebaskan.

Menurut IPAC, setidaknya 850 terpidana teroris telah dibebaskan selama dekade terakhir, baik karena hukuman mereka telah berakhir atau pembebasan bersyarat.

Peneliti dari Universitas Indonesia Muhamad Syauqillah mengatakan kurang dari 5% bekas narapidana itu "kambuh" dalam kegiatan teroris.

“Proses deradikalisasi tidak boleh berhenti begitu seseorang menyatakan kesetiaannya kepada Indonesia… karena ada kasus terorisme di mana pelakunya telah berjanji setia kepada negara Indonesia dan masih melakukan aksi terorisme lebih lanjut di Filipina,” ujar dia.

Ditanya seberapa besar kemungkinan Patek akan bergabung kembali dengan jaringan teroris lamanya, Syauqillah mengatakan itu tergantung pada seberapa banyak upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam melanjutkan program deradikalisasi di luar penjara.

“Umar Patek perlu terus didampingi saat keluar dari lapas agar deradikalisasi berkelanjutan terus berlanjut,” ungkap dia.

“Bisa melalui Lembaga Pemasyarakatan atau dengan melibatkan pemangku kepentingan lainnya melalui pendekatan nasionalisme, agama dan kewirausahaan. Ini PR kita, untuk menentukan program deradikalisasi di luar penjara seperti apa yang efektif untuk Umar Patek dan apa tolak ukurnya,” papar dia.

Profesor Barton mengatakan para ahli umumnya sepakat deradikalisasi teroris kurang penting daripada melepaskan mereka dari jaringan ekstremis mereka.

"Dari apa yang Umar Patek katakan, Anda harus mempertanyakan di mana dia berada dalam pemikirannya, tetapi tampaknya sangat mungkin dia telah berhasil melepaskan diri dari jaringan yang dia terlibat," ungkap dia.

"Bagaimanapun, dia kehilangan kredibilitas dengan jaringan lamanya. Dan sejauh mana dia mencoba untuk terlibat kembali dengan mereka akan diawasi. Jadi risikonya tidak terlalu tinggi," papar dia.

Sementara itu, Kartika mengatakan para terpidana teroris yang berjanji setia kepada Indonesia biasanya dianggap oleh mantan rekan mereka telah mengkhianati jaringan mereka.

“Di Jemaah Islamiyah, jika diekspos ke polisi, mereka akan dinonaktifkan, dan di jaringan pro-ISIS, baiat kepada Indonesia benar-benar dibenci dan ditolak,” ujar dia.

Kartika mengatakan dia mengerti orang mungkin skeptis terhadap program deradikalisasi, tetapi mengatakan Patek telah terus terlibat dalam program BNPT selama bertahun-tahun.

Dia menambahkan, istrinya yang berasal dari Filipina itu diberikan kewarganegaraan Indonesia pada 2019 atas permintaan Patek.

“Ini semacam kartu truf atas kesetiaan Umar Patek kepada Indonesia,” pungkas dia.
(sya)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More