Moskow: AS Berencana Tuduh Rusia Gunakan Senjata Pemusnah Massal di Ukraina
Sabtu, 23 April 2022 - 19:44 WIB
Ditekankan pada pengarahan tersebut bahwa tujuan skenario seperti itu kemungkinan akan memberi tekanan pada negara-negara seperti China dan India, yang telah menolak upaya barat untuk bergabung dengan kampanye sanksi besar-besaran yang menargetkan Rusia.
Menurut Kirillov, penyitaan cepat barang bukti di tempat kejadian yang direncanakan (pengumpulan sampel, wawancara saksi, perakitan foto dan dokumentasi video) akan menjadi sangat penting.
Igor Kirillov merujuk bagaimana di banyak kesempatan di masa lalu AS juga menggunakan provokasi untuk mencapai tujuan politik.
“Contoh yang paling mencolok adalah pidato Menteri Luar Negeri AS Colin Powell pada tanggal 5 Februari 2003. Sebuah botol 'bubuk putih' di tangannya berfungsi sebagai dalih untuk invasi ke Irak dan penyebab kematian hampir setengah juta warga," ujarnya.
Kirillov mengutip contoh lain, seperti bagaimana foto-foto yang disebarkan oleh kantor berita pada tahun 2017 menunjukkan orang-orang yang mengenakan topeng kasa biasa mengambil sampel di lokasi yang diduga menggunakan gas sarin menyebabkan serangan rudal di lapangan terbang Shayrat yang dikendalikan oleh pemerintah Suriah.
Atau bagaimana pada 14 April 2018, AS, Prancis, dan Inggris melancarkan serangan rudal ke Suriah, sebagai pembalasan atas dugaan serangan gas beracun ke markas teroris Douma yang mereka anggap pihak bertanggung jawab adalah pemerintah Suriah.
Desas-desus tentang serangan kimia telah dimulai dengan video dan foto yang disebarluaskan di media sosial oleh Pertahanan Sipil Suriah, yang dikenal sebagai The White Helmets, antara lain tentang anak-anak yang pura-pura dirawat di rumah sakit dengan masalah pernapasan.
Namun, tidak ada gas saraf organofosfat atau produk degradasinya yang terdeteksi, baik dalam sampel lingkungan atau sampel plasma dari dugaan korban, laporan OPCW tentang insiden Douma.
"Sampai saat ini, tidak ada yang bertanggung jawab atas provokasi ini," tegas Kirillov.
Menurut Kirillov, penyitaan cepat barang bukti di tempat kejadian yang direncanakan (pengumpulan sampel, wawancara saksi, perakitan foto dan dokumentasi video) akan menjadi sangat penting.
Igor Kirillov merujuk bagaimana di banyak kesempatan di masa lalu AS juga menggunakan provokasi untuk mencapai tujuan politik.
“Contoh yang paling mencolok adalah pidato Menteri Luar Negeri AS Colin Powell pada tanggal 5 Februari 2003. Sebuah botol 'bubuk putih' di tangannya berfungsi sebagai dalih untuk invasi ke Irak dan penyebab kematian hampir setengah juta warga," ujarnya.
Kirillov mengutip contoh lain, seperti bagaimana foto-foto yang disebarkan oleh kantor berita pada tahun 2017 menunjukkan orang-orang yang mengenakan topeng kasa biasa mengambil sampel di lokasi yang diduga menggunakan gas sarin menyebabkan serangan rudal di lapangan terbang Shayrat yang dikendalikan oleh pemerintah Suriah.
Atau bagaimana pada 14 April 2018, AS, Prancis, dan Inggris melancarkan serangan rudal ke Suriah, sebagai pembalasan atas dugaan serangan gas beracun ke markas teroris Douma yang mereka anggap pihak bertanggung jawab adalah pemerintah Suriah.
Desas-desus tentang serangan kimia telah dimulai dengan video dan foto yang disebarluaskan di media sosial oleh Pertahanan Sipil Suriah, yang dikenal sebagai The White Helmets, antara lain tentang anak-anak yang pura-pura dirawat di rumah sakit dengan masalah pernapasan.
Namun, tidak ada gas saraf organofosfat atau produk degradasinya yang terdeteksi, baik dalam sampel lingkungan atau sampel plasma dari dugaan korban, laporan OPCW tentang insiden Douma.
"Sampai saat ini, tidak ada yang bertanggung jawab atas provokasi ini," tegas Kirillov.
Lihat Juga :
tulis komentar anda