Perpecahan AS dan Arab Saudi Semakin Jauh Sejak Rusia Serang Ukraina
Rabu, 20 April 2022 - 11:53 WIB
WASHINGTON - Perpecahan yang terjadi antara Amerika Serikat (AS) dan Arab Saudi dalam beberapa tahun terakhir telah melebar dengan dimulainya operasi militer khusus Rusia di Ukraina.
Laporan itu diungkap The Wall Street Journal (WSJ) mengutip pejabat senior dari kedua negara.
“Setelah dimulainya operasi Rusia di Ukraina, pemerintahan Presiden AS Joe Biden ingin Arab Saudi memproduksi lebih banyak minyak untuk merusak sektor keuangan dan militer ekonomi Rusia,” papar laporan itu pada Selasa (19/4/2022).
Menurut WSJ, “Kepentingan komersial dan politik Riyadh telah berubah secara signifikan setelah Saudi menjadi pemasok minyak terbesar ke China dan berhenti menjual minyak sebanyak yang telah mereka lakukan selama beberapa dekade.”
“Saat ini, pemerintahan Biden tidak meminta Saudi untuk memompa lebih banyak minyak tetapi untuk menahan diri dari tindakan apa pun yang akan merugikan upaya Barat di Ukraina,” ujar seorang pejabat senior AS.
Pejabat Saudi mengatakan mereka percaya risiko utama bagi Amerika Serikat terletak pada keselarasan Riyadh dengan China dan Rusia, menurut laporan itu.
“Hubungan strategis antara Amerika Serikat dan Arab Saudi tidak pernah dalam keadaan sulit seperti sekarang,” ungkap laporan itu mengutip mantan pejabat senior intelijen AS Norman Roule.
Sikap pemerintahan Biden di Yaman dan pembunuhan kolumnis Arab Saudi Jamal Khashoggi adalah masalah paling sulit dalam hubungan bilateral antara kedua negara, menurut laporan itu.
Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman kesal dengan tuduhan AS bahwa dia berperan dalam pembunuhan Khashoggi.
“Mohammed bin Salman juga marah dengan keputusan pemerintahan Biden untuk menghapus Houthi dari daftar organisasi teroris dan mengurangi dukungan untuk kampanye militer di Yaman yang dipimpin Saudi,” papar laporan itu.
Pada Sabtu, Presiden Rusia Vladimir Putin mengadakan panggilan telepon dengan Mohammed bin Salman untuk membahas krisis di Ukraina dan Yaman, serta kesepakatan OPEC+ tentang pengurangan produksi minyak.
Laporan itu diungkap The Wall Street Journal (WSJ) mengutip pejabat senior dari kedua negara.
“Setelah dimulainya operasi Rusia di Ukraina, pemerintahan Presiden AS Joe Biden ingin Arab Saudi memproduksi lebih banyak minyak untuk merusak sektor keuangan dan militer ekonomi Rusia,” papar laporan itu pada Selasa (19/4/2022).
Menurut WSJ, “Kepentingan komersial dan politik Riyadh telah berubah secara signifikan setelah Saudi menjadi pemasok minyak terbesar ke China dan berhenti menjual minyak sebanyak yang telah mereka lakukan selama beberapa dekade.”
“Saat ini, pemerintahan Biden tidak meminta Saudi untuk memompa lebih banyak minyak tetapi untuk menahan diri dari tindakan apa pun yang akan merugikan upaya Barat di Ukraina,” ujar seorang pejabat senior AS.
Pejabat Saudi mengatakan mereka percaya risiko utama bagi Amerika Serikat terletak pada keselarasan Riyadh dengan China dan Rusia, menurut laporan itu.
“Hubungan strategis antara Amerika Serikat dan Arab Saudi tidak pernah dalam keadaan sulit seperti sekarang,” ungkap laporan itu mengutip mantan pejabat senior intelijen AS Norman Roule.
Sikap pemerintahan Biden di Yaman dan pembunuhan kolumnis Arab Saudi Jamal Khashoggi adalah masalah paling sulit dalam hubungan bilateral antara kedua negara, menurut laporan itu.
Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman kesal dengan tuduhan AS bahwa dia berperan dalam pembunuhan Khashoggi.
“Mohammed bin Salman juga marah dengan keputusan pemerintahan Biden untuk menghapus Houthi dari daftar organisasi teroris dan mengurangi dukungan untuk kampanye militer di Yaman yang dipimpin Saudi,” papar laporan itu.
Pada Sabtu, Presiden Rusia Vladimir Putin mengadakan panggilan telepon dengan Mohammed bin Salman untuk membahas krisis di Ukraina dan Yaman, serta kesepakatan OPEC+ tentang pengurangan produksi minyak.
(sya)
tulis komentar anda