Turki Jadi Tempat Perundingan Damai Baru Rusia dan Ukraina
Senin, 28 Maret 2022 - 19:03 WIB
ANKARA - Istanbul akan menjadi tempat untuk putaran berikutnya perundingan damai tatap muka antara negosiator Rusia dan Ukraina.
Pengumuman itu muncul ketika Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan meningkatkan hubungannya dengan kedua negara dalam upaya mengakhiri konflik yang sedang berlangsung.
Laporan awal menunjukkan kedua pihak akan duduk di meja perundingan pada Senin (28/3/2022) dan melanjutkan diskusi hingga Rabu.
Sekretaris Pers Kremlin Dmitry Peskov juga mengatakan dia meragukan pertemuan itu akan berlangsung pada Senin dan mengatakan Selasa adalah tanggal yang lebih mungkin.
Pertemuan di Istanbul diumumkan oleh Arakhamia pada Minggu. Negosiasi sekali lagi memberi Ankara peran penting dalam proses tersebut.
Turki menjamu menteri luar negeri Rusia dan Ukraina di Antalya awal bulan ini. Posisi Ankara membuat Turki memainkan peran unik dalam konflik tersebut.
Sebagai anggota NATO, Turki telah mencoba berjalan di garis tipis antara mengutuk serangan militer Rusia di Ukraina dan mempertahankan hubungan ekonomi dan pertahanan yang erat dengan Moskow.
Ankara menentang sanksi Barat terhadap Rusia, tetapi juga menolak permintaan mengizinkan kapal perang Rusia berlayar melalui Selat Turki ke Laut Hitam.
Berbicara di Forum Doha pada Minggu, juru bicara Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, Ibrahim Kalin, memperingatkan agar tidak mengisolasi Moskow.
Kalin mengakui bahwa Rusia “harus didengar dengan satu atau lain cara.” Dia menambahkan, “Jika semua orang membakar jembatan dengan Rusia, lalu siapa yang akan berbicara dengan mereka, pada akhirnya?”
Erdogan dilaporkan mendesak Putin dalam panggilan telepon pada Minggu untuk melakukan gencatan senjata dan memperbaiki kondisi kemanusiaan di Ukraina.
Posisi Turki mirip dengan Afrika Selatan, di mana Presiden Cyril Ramaphosa telah menolak tekanan internasional untuk mengambil sikap anti-Moskow yang lebih keras dan menyerukan negosiasi.
Ramaphosa juga menawarkan menengahi pembicaraan damai Rusia-Ukraina, dan mengatakan pekan lalu bahwa NATO setidaknya sebagian harus disalahkan karena menyebabkan konflik.
“Perang dapat dihindari jika NATO telah mengindahkan peringatan dari antara para pemimpin dan pejabatnya sendiri selama bertahun-tahun bahwa ekspansi ke arah timur akan menyebabkan ketidakstabilan yang lebih besar, tidak kurang, di kawasan itu,” ujar presiden Afrika Selatan itu.
Rusia menyerang negara tetangga Ukraina bulan lalu, menyusul kebuntuan tujuh tahun atas kegagalan Kiev menerapkan ketentuan perjanjian Minsk, dan pengakuan Moskow atas kemerdekaan republik Donbass di Donetsk dan Lugansk.
Protokol yang diperantarai Jerman dan Prancis telah dirancang untuk mengatur status wilayah-wilayah tersebut di dalam negara Ukraina.
Kremlin sekarang menuntut agar Ukraina secara resmi menyatakan dirinya sebagai negara netral yang tidak akan pernah bergabung dengan aliansi militer NATO yang dipimpin AS.
Kiev menegaskan serangan Rusia benar-benar tidak beralasan dan telah membantah klaim pihaknya berencana merebut kembali kedua republik dengan paksa.
Pengumuman itu muncul ketika Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan meningkatkan hubungannya dengan kedua negara dalam upaya mengakhiri konflik yang sedang berlangsung.
Laporan awal menunjukkan kedua pihak akan duduk di meja perundingan pada Senin (28/3/2022) dan melanjutkan diskusi hingga Rabu.
Sekretaris Pers Kremlin Dmitry Peskov juga mengatakan dia meragukan pertemuan itu akan berlangsung pada Senin dan mengatakan Selasa adalah tanggal yang lebih mungkin.
Baca Juga
Pertemuan di Istanbul diumumkan oleh Arakhamia pada Minggu. Negosiasi sekali lagi memberi Ankara peran penting dalam proses tersebut.
Turki menjamu menteri luar negeri Rusia dan Ukraina di Antalya awal bulan ini. Posisi Ankara membuat Turki memainkan peran unik dalam konflik tersebut.
Sebagai anggota NATO, Turki telah mencoba berjalan di garis tipis antara mengutuk serangan militer Rusia di Ukraina dan mempertahankan hubungan ekonomi dan pertahanan yang erat dengan Moskow.
Ankara menentang sanksi Barat terhadap Rusia, tetapi juga menolak permintaan mengizinkan kapal perang Rusia berlayar melalui Selat Turki ke Laut Hitam.
Berbicara di Forum Doha pada Minggu, juru bicara Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, Ibrahim Kalin, memperingatkan agar tidak mengisolasi Moskow.
Kalin mengakui bahwa Rusia “harus didengar dengan satu atau lain cara.” Dia menambahkan, “Jika semua orang membakar jembatan dengan Rusia, lalu siapa yang akan berbicara dengan mereka, pada akhirnya?”
Erdogan dilaporkan mendesak Putin dalam panggilan telepon pada Minggu untuk melakukan gencatan senjata dan memperbaiki kondisi kemanusiaan di Ukraina.
Posisi Turki mirip dengan Afrika Selatan, di mana Presiden Cyril Ramaphosa telah menolak tekanan internasional untuk mengambil sikap anti-Moskow yang lebih keras dan menyerukan negosiasi.
Ramaphosa juga menawarkan menengahi pembicaraan damai Rusia-Ukraina, dan mengatakan pekan lalu bahwa NATO setidaknya sebagian harus disalahkan karena menyebabkan konflik.
“Perang dapat dihindari jika NATO telah mengindahkan peringatan dari antara para pemimpin dan pejabatnya sendiri selama bertahun-tahun bahwa ekspansi ke arah timur akan menyebabkan ketidakstabilan yang lebih besar, tidak kurang, di kawasan itu,” ujar presiden Afrika Selatan itu.
Rusia menyerang negara tetangga Ukraina bulan lalu, menyusul kebuntuan tujuh tahun atas kegagalan Kiev menerapkan ketentuan perjanjian Minsk, dan pengakuan Moskow atas kemerdekaan republik Donbass di Donetsk dan Lugansk.
Protokol yang diperantarai Jerman dan Prancis telah dirancang untuk mengatur status wilayah-wilayah tersebut di dalam negara Ukraina.
Kremlin sekarang menuntut agar Ukraina secara resmi menyatakan dirinya sebagai negara netral yang tidak akan pernah bergabung dengan aliansi militer NATO yang dipimpin AS.
Kiev menegaskan serangan Rusia benar-benar tidak beralasan dan telah membantah klaim pihaknya berencana merebut kembali kedua republik dengan paksa.
(sya)
tulis komentar anda