Siapa yang Paria? Usai Tolak Biden, Saudi Aramco Bangun Kilang Besar di China
Jum'at, 11 Maret 2022 - 14:46 WIB
Pembicaraan untuk membangun kompleks industri dimulai pada 2019 setelah kunjungan Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman ke Beijing, tetapi terhenti setelah pandemi COVID-19.
Rencana itu dihidupkan kembali pada awal Februari ketika Saudi berusaha memanfaatkan harga minyak yang meningkat pesat akibat perang Rusia dan Ukraina. Pada saat itu, kesepakatan itu bernilai USD10 miliar, menurut S&P Global.
Pengumuman kesepakatan itu mengikuti dua perkembangan terkait.
Pada 4 Februari 2022, perusahaan gas milik negara Rusia Rosneft menandatangani perjanjian 10 tahun dengan China National Petroleum Corp (CNPC) untuk mengirimkan 100 juta metrik ton, atau 200.821 barel per hari minyak ke kilang di barat laut China.
“Sesuai dengan kesepakatan Rosneft dan CNPC, ada prospek interaksi yang dikembangkan mengenai serangkaian area pembangunan rendah karbon, khususnya dalam pengurangan emisi gas rumah kaca, termasuk metana, teknologi efisiensi energi, serta penangkapan dan penyimpanan CO2 (CCS)," papar pernyataan Rosneft.
Kesepakatan itu datang hanya dua pekan sebelum Rusia meluncurkan operasi khusus di Ukraina yang bertujuan menetralkan negara itu sebelum dapat menjadi landasan peluncuran untuk serangan NATO di Rusia.
Operasi tersebut memicu sanksi besar-besaran dari Amerika Serikat dan sekutunya yang bertujuan menghancurkan ekonomi Rusia, termasuk keputusan 8 Maret untuk melarang impor minyak Rusia ke Amerika Serikat.
Akibatnya, harga minyak yang sudah naik melonjak menjadi USD130 per barel selama akhir pekan, dan harga bahan bakar minyak (BBM) di AS juga mulai naik tajam, sangat merusak pasar saham AS.
Sebagai tanggapan, Biden menjangkau beberapa produsen minyak dunia lainnya, termasuk Arab Saudi dan Venezuela, dua negara yang selama ini dia kritik tajam.
Pada Rabu, Gedung Putih mencoba mengatur panggilan telepon antara Biden, Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman, dan Sheikh Mohammed bin Zayed al Nahyan, penguasa Uni Emirat Arab (UEA).
Rencana itu dihidupkan kembali pada awal Februari ketika Saudi berusaha memanfaatkan harga minyak yang meningkat pesat akibat perang Rusia dan Ukraina. Pada saat itu, kesepakatan itu bernilai USD10 miliar, menurut S&P Global.
Pengumuman kesepakatan itu mengikuti dua perkembangan terkait.
Pada 4 Februari 2022, perusahaan gas milik negara Rusia Rosneft menandatangani perjanjian 10 tahun dengan China National Petroleum Corp (CNPC) untuk mengirimkan 100 juta metrik ton, atau 200.821 barel per hari minyak ke kilang di barat laut China.
“Sesuai dengan kesepakatan Rosneft dan CNPC, ada prospek interaksi yang dikembangkan mengenai serangkaian area pembangunan rendah karbon, khususnya dalam pengurangan emisi gas rumah kaca, termasuk metana, teknologi efisiensi energi, serta penangkapan dan penyimpanan CO2 (CCS)," papar pernyataan Rosneft.
Kesepakatan itu datang hanya dua pekan sebelum Rusia meluncurkan operasi khusus di Ukraina yang bertujuan menetralkan negara itu sebelum dapat menjadi landasan peluncuran untuk serangan NATO di Rusia.
Operasi tersebut memicu sanksi besar-besaran dari Amerika Serikat dan sekutunya yang bertujuan menghancurkan ekonomi Rusia, termasuk keputusan 8 Maret untuk melarang impor minyak Rusia ke Amerika Serikat.
Akibatnya, harga minyak yang sudah naik melonjak menjadi USD130 per barel selama akhir pekan, dan harga bahan bakar minyak (BBM) di AS juga mulai naik tajam, sangat merusak pasar saham AS.
Sebagai tanggapan, Biden menjangkau beberapa produsen minyak dunia lainnya, termasuk Arab Saudi dan Venezuela, dua negara yang selama ini dia kritik tajam.
Pada Rabu, Gedung Putih mencoba mengatur panggilan telepon antara Biden, Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman, dan Sheikh Mohammed bin Zayed al Nahyan, penguasa Uni Emirat Arab (UEA).
Lihat Juga :
tulis komentar anda