Minoritas Muslim Dituduh Teroris, Hilangnya Jejak Adzan di Singapura
Sabtu, 26 Februari 2022 - 06:45 WIB
SINGAPURA - Hilangnya jejak adzan di Singapura bisa dibilang berawal setelah serangan di gedung World Trade Centre (WTC) Amerika Serikat (AS) pada 11 November 2001.
Amerika Serikat kemudian menggelar kampanye perang melawan teror di berbagai penjuru dunia, termasuk menggulingkan pemerintahan Taliban di Afghanistan.
Saat itu kampanye perang melawan teror yang diusung AS semakin menyudutkan umat Islam. Media Barat juga turut mengaitkan gerakan teror dengan Islam.
Bagi umat Islam di Singapura yang minoritas, tuduhan tersebut terasa berat karena mereka hidup di sebuah negara sekuler yang selama ini dikenal sebagai negara sekutu Amerika-Israel yang selalu berpandangan negatif terhadap Islam.
Pada 14 Juli 2010, Menteri Kanan Goh Chok Tong menjelaskan masjid dan surau di Singapura tidak lagi menggunakan pembesar suara untuk azan dan ceramah sebagai tanda menghormati kenyamanan penduduk yang mayoritasnya terdiri non muslim. Untuk sekedar diketahui, umat muslim di sana hanya berkisar sekitar 15%.
Majelis Ulama Islam Singapura, lembaga semacam Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang memegang penuh otoritas beragama Islam saat itu tidak bisa berbuat banyak atas hilangnya jejak adzan di Singapura dan menerima hakikat bahwa Singapura adalah negara pelbagai kaum dan agama dengan kewujudan ruang bersama dan sekular untuk semua.
Kendati demikian, rupanya tidak semua masjid dilarang adzan menggunakan speaker atau pengeras suara.
Dari 69 masjid, hanya satu yang diperbolehkan, yaitu Masjid Sultan yang melantunkan azan dengan pelantang suara di menara masjid sehingga dapat didengar dari jarak yang sangat jauh.
Masjid tertua yang terletak di sekitar Arab Street itu hingga kini menjalankan fungsi adzan sebagai pengingat dan pemanggil.
Demikianlah sejarah singkat hilangnya jejak adzan di Singapura dilansir dari berbagai sumber. Semoga Indonesia sebagai negara mayoritas Islam bisa tetap mempertahankan fungsi adzan sebagai pengingat dan panggilan salat meski saat ini pemerintah telah mengeluarkan aturan pengguanaan speaker masjid dan musala.
Amerika Serikat kemudian menggelar kampanye perang melawan teror di berbagai penjuru dunia, termasuk menggulingkan pemerintahan Taliban di Afghanistan.
Saat itu kampanye perang melawan teror yang diusung AS semakin menyudutkan umat Islam. Media Barat juga turut mengaitkan gerakan teror dengan Islam.
Bagi umat Islam di Singapura yang minoritas, tuduhan tersebut terasa berat karena mereka hidup di sebuah negara sekuler yang selama ini dikenal sebagai negara sekutu Amerika-Israel yang selalu berpandangan negatif terhadap Islam.
Pada 14 Juli 2010, Menteri Kanan Goh Chok Tong menjelaskan masjid dan surau di Singapura tidak lagi menggunakan pembesar suara untuk azan dan ceramah sebagai tanda menghormati kenyamanan penduduk yang mayoritasnya terdiri non muslim. Untuk sekedar diketahui, umat muslim di sana hanya berkisar sekitar 15%.
Majelis Ulama Islam Singapura, lembaga semacam Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang memegang penuh otoritas beragama Islam saat itu tidak bisa berbuat banyak atas hilangnya jejak adzan di Singapura dan menerima hakikat bahwa Singapura adalah negara pelbagai kaum dan agama dengan kewujudan ruang bersama dan sekular untuk semua.
Kendati demikian, rupanya tidak semua masjid dilarang adzan menggunakan speaker atau pengeras suara.
Dari 69 masjid, hanya satu yang diperbolehkan, yaitu Masjid Sultan yang melantunkan azan dengan pelantang suara di menara masjid sehingga dapat didengar dari jarak yang sangat jauh.
Masjid tertua yang terletak di sekitar Arab Street itu hingga kini menjalankan fungsi adzan sebagai pengingat dan pemanggil.
Demikianlah sejarah singkat hilangnya jejak adzan di Singapura dilansir dari berbagai sumber. Semoga Indonesia sebagai negara mayoritas Islam bisa tetap mempertahankan fungsi adzan sebagai pengingat dan panggilan salat meski saat ini pemerintah telah mengeluarkan aturan pengguanaan speaker masjid dan musala.
(sya)
Lihat Juga :
tulis komentar anda