Mereka yang Marah dengan Reformasi Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman
Minggu, 16 Januari 2022 - 05:30 WIB
RIYADH - The Economist, media berbasis di Amerika Serikat (AS), menyoroti reaksi kemarahan sekelompok golongan di Arab Saudi terhadap reformasi Putra Mahkota Mohammed bin Salman . Salah satu kelompok yang tak bisa menerima perubahan itu adalah golongan yang digambarkan sebagai "Salafi".
Pada 30 Desember 2021, pihak berwenang di Arab Saudi menempelkan pemberitahuan ke tempat-tempat suci di Makkah dan Madinah, kota-kota paling suci Islam, dengan memberi tahu para jamaah untuk menjaga jarak dua meter, jangan sampai mereka menyebarkan COVID-19.
Tetapi Pangeran MBS, penguasa de facto kerajaan, tampaknya kurang tertarik untuk memberlakukan pembatasan di tempat lain. Anak buahnya telah menarik banyak orang ke gedung konser dan tempat pekan raya di kota-kota lain. Sebuah rave yang didukung pemerintah bulan lalu menyatukan 700.000 pemuda-pemudi Saudi untuk bergoyang bersama selama empat hari.
“Kerajaan ini mencegah kebajikan dan mempromosikan kejahatan,” kesal seorang guru di pusat kota Madinah yang tenang, yang tak disebutkan namanya.
Jajak pendapat publik jarang terjadi di Arab Saudi. Jadi sulit untuk mengukur reaksi terhadap upaya Pangeran MBS untuk membuka dan mereformasi salah satu negara paling tertutup dan tidak toleran di dunia.
Tapi suara dari dalam kerajaan menunjukkan bahwa setidaknya ada tiga kelompok yang tidak bahagia: Salafi, yang mendukung versi fundamentalis Islam; para pangeran dari House of Saud yang berkuasa; dan orang-orang Saudi biasa yang lebih menyukai hal-hal apa adanya.
Hanya represi dan ketakutan yang mencegah mereka untuk mencoba menggulingkan Pangeran MBS dan memutar balik waktu.
Mulailah dengan Salafi, yang marah bahwa Pangeran MBS telah memutuskan aliansi antara mereka dan House of Saud sejak tiga abad yang lalu. Sang pangeran telah membatasi kekuasaan polisi agama, yang tidak bisa lagi memaksa toko dan restoran tutup lima kali sehari untuk salat, atau mencegah pria dan wanita saling menyapa dengan ciuman di pipi.
Pada 30 Desember 2021, pihak berwenang di Arab Saudi menempelkan pemberitahuan ke tempat-tempat suci di Makkah dan Madinah, kota-kota paling suci Islam, dengan memberi tahu para jamaah untuk menjaga jarak dua meter, jangan sampai mereka menyebarkan COVID-19.
Tetapi Pangeran MBS, penguasa de facto kerajaan, tampaknya kurang tertarik untuk memberlakukan pembatasan di tempat lain. Anak buahnya telah menarik banyak orang ke gedung konser dan tempat pekan raya di kota-kota lain. Sebuah rave yang didukung pemerintah bulan lalu menyatukan 700.000 pemuda-pemudi Saudi untuk bergoyang bersama selama empat hari.
“Kerajaan ini mencegah kebajikan dan mempromosikan kejahatan,” kesal seorang guru di pusat kota Madinah yang tenang, yang tak disebutkan namanya.
Jajak pendapat publik jarang terjadi di Arab Saudi. Jadi sulit untuk mengukur reaksi terhadap upaya Pangeran MBS untuk membuka dan mereformasi salah satu negara paling tertutup dan tidak toleran di dunia.
Tapi suara dari dalam kerajaan menunjukkan bahwa setidaknya ada tiga kelompok yang tidak bahagia: Salafi, yang mendukung versi fundamentalis Islam; para pangeran dari House of Saud yang berkuasa; dan orang-orang Saudi biasa yang lebih menyukai hal-hal apa adanya.
Hanya represi dan ketakutan yang mencegah mereka untuk mencoba menggulingkan Pangeran MBS dan memutar balik waktu.
Mulailah dengan Salafi, yang marah bahwa Pangeran MBS telah memutuskan aliansi antara mereka dan House of Saud sejak tiga abad yang lalu. Sang pangeran telah membatasi kekuasaan polisi agama, yang tidak bisa lagi memaksa toko dan restoran tutup lima kali sehari untuk salat, atau mencegah pria dan wanita saling menyapa dengan ciuman di pipi.
tulis komentar anda