AS Hajar Kamboja dengan Embargo Senjata Gara-gara China
Jum'at, 10 Desember 2021 - 15:35 WIB
WASHINGTON - Pemerintah Amerika Serikat (AS) telah memerintahkan embargo senjata pada Kamboja . Alasannya, negara Asia Tenggara itu memperdalam pengaruh militer China.
Alasan lainnya adalah korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) oleh pemerintah dan angkatan bersenjata negara itu.
Pembatasan tambahan pada barang dan jasa terkait pertahanan, yang dikeluarkan oleh Departemen Perdagangan AS telah diterbitkan dan mulai berlaku Kamis (9/12/2021).
Departemen itu mengatakan tujuan embargo adalah untuk memastikan bahwa barang-barang yang berhubungan dengan pertahanan tidak tersedia untuk militer dan dinas intelijen militer Kamboja tanpa peninjauan terlebih dahulu oleh pemerintah AS.
Sebuah pemberitahuan dalam Daftar Federal, yang dikutip AP, Jumat (10/12/2021), mengatakan perkembangan di Kamboja “bertentangan dengan kepentingan keamanan nasional dan kebijakan luar negeri AS.”
Pembatasan terbaru itu mengikuti perintah Departemen Keuangan AS pada bulan November tentang sanksi terhadap dua pejabat senior militer Kamboja karena korupsi dan datang di tengah meningkatnya kekhawatiran tentang pengaruh Beijing.
Pada saat itu, pemerintah AS mengeluarkan peringatan yang memperingatkan bisnis Amerika tentang potensi paparan entitas Kamboja dan militernya yang mereka sebut terlibat dalam pelanggaran HAM, korupsi, dan perilaku destabilisasi lainnya.
Kamboja mencap sanksi Amerika itu sebagai tindakan "bermotivasi politik" dan mengatakan tidak akan membahasnya dengan Washington.
AS selama ini menerapkan kebijakan serupa pada Myanmar, China, Rusia, dan Venezuela.
Ekspor AS ke Kamboja pada 2019 mencapai USD5,6 miliar. Jumlah ekspor AS terkait militer ke Kamboja belum diketahui.
AS adalah pasar ekspor terbesar untuk Kamboja, pusat manufaktur utama garmen, tetapi tiga perempat impor Kamboja berasal dari China dan negara-negara lain di Asia.
AS menghentikan bantuan militer ke Kamboja menyusul kudeta tahun 1997 di mana pemimpin negara itu, Hun Sen, meraih kekuasaan penuh setelah menggulingkan wakil perdana menterinya, Pangeran Norodom Ranariddh.
Hun Sen sampai tetap menjadi Perdana Menteri Kamboja.
Pada Agustus 2005, Presiden AS George W. Bush membatalkan larangan pemberian bantuan tersebut, mengutip kesepakatan Phnom Penh untuk membebaskan warga Amerika di Kamboja dari penuntutan oleh Pengadilan Kriminal Internasional yang berbasis di Belanda.
Sejak hubungan militer langsung antara kedua negara dipulihkan pada tahun 2006, AS telah menjanjikan bantuan militer ke Kamboja senilai jutaan dolar, yang awalnya untuk membantu meningkatkan keamanan perbatasan dan operasi penjaga perdamaian.
Sementara China adalah investor terbesar Kamboja dan mitra politik terdekat. Beijing adalah pendukung utama rezim pembunuh Pol Pot pada 1970-an dan telah lama mempertahankan hubungan yang kuat dengan Hun Sen, yang telah memerintah selama lebih dari 30 tahun dan tumbuh semakin represif.
Dukungan Beijing memungkinkan Kamboja untuk mengabaikan kekhawatiran Barat tentang catatan buruknya dalam HAM dan politik, dan pada gilirannya Kamboja umumnya mendukung posisi geopolitik Beijing pada isu-isu seperti klaim teritorialnya di Laut China Selatan.
Pembangunan fasilitas militer baru China di Pangkalan Angkatan Laut Ream Kamboja adalah titik pertikaian yang kuat dengan Washington.
Ream menghadap Teluk Thailand, berdekatan dengan Laut China Selatan, di mana China telah secara agresif menegaskan klaimnya atas hampir seluruh jalur air strategis itu.
AS telah menolak untuk mengakui klaim China, dan Armada ke-7 Angkatan Laut Amerika secara rutin berlayar melewati pulau-pulau yang dikuasai China dalam apa yang disebutnya kebebasan operasi navigasi.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Hun Sen telah menindak oposisi politik, menutup media dan memaksa ratusan politisi Kamboja, aktivis HAM dan jurnalis ke pengasingan.
Alasan lainnya adalah korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) oleh pemerintah dan angkatan bersenjata negara itu.
Pembatasan tambahan pada barang dan jasa terkait pertahanan, yang dikeluarkan oleh Departemen Perdagangan AS telah diterbitkan dan mulai berlaku Kamis (9/12/2021).
Departemen itu mengatakan tujuan embargo adalah untuk memastikan bahwa barang-barang yang berhubungan dengan pertahanan tidak tersedia untuk militer dan dinas intelijen militer Kamboja tanpa peninjauan terlebih dahulu oleh pemerintah AS.
Sebuah pemberitahuan dalam Daftar Federal, yang dikutip AP, Jumat (10/12/2021), mengatakan perkembangan di Kamboja “bertentangan dengan kepentingan keamanan nasional dan kebijakan luar negeri AS.”
Pembatasan terbaru itu mengikuti perintah Departemen Keuangan AS pada bulan November tentang sanksi terhadap dua pejabat senior militer Kamboja karena korupsi dan datang di tengah meningkatnya kekhawatiran tentang pengaruh Beijing.
Pada saat itu, pemerintah AS mengeluarkan peringatan yang memperingatkan bisnis Amerika tentang potensi paparan entitas Kamboja dan militernya yang mereka sebut terlibat dalam pelanggaran HAM, korupsi, dan perilaku destabilisasi lainnya.
Kamboja mencap sanksi Amerika itu sebagai tindakan "bermotivasi politik" dan mengatakan tidak akan membahasnya dengan Washington.
AS selama ini menerapkan kebijakan serupa pada Myanmar, China, Rusia, dan Venezuela.
Ekspor AS ke Kamboja pada 2019 mencapai USD5,6 miliar. Jumlah ekspor AS terkait militer ke Kamboja belum diketahui.
AS adalah pasar ekspor terbesar untuk Kamboja, pusat manufaktur utama garmen, tetapi tiga perempat impor Kamboja berasal dari China dan negara-negara lain di Asia.
AS menghentikan bantuan militer ke Kamboja menyusul kudeta tahun 1997 di mana pemimpin negara itu, Hun Sen, meraih kekuasaan penuh setelah menggulingkan wakil perdana menterinya, Pangeran Norodom Ranariddh.
Hun Sen sampai tetap menjadi Perdana Menteri Kamboja.
Pada Agustus 2005, Presiden AS George W. Bush membatalkan larangan pemberian bantuan tersebut, mengutip kesepakatan Phnom Penh untuk membebaskan warga Amerika di Kamboja dari penuntutan oleh Pengadilan Kriminal Internasional yang berbasis di Belanda.
Sejak hubungan militer langsung antara kedua negara dipulihkan pada tahun 2006, AS telah menjanjikan bantuan militer ke Kamboja senilai jutaan dolar, yang awalnya untuk membantu meningkatkan keamanan perbatasan dan operasi penjaga perdamaian.
Sementara China adalah investor terbesar Kamboja dan mitra politik terdekat. Beijing adalah pendukung utama rezim pembunuh Pol Pot pada 1970-an dan telah lama mempertahankan hubungan yang kuat dengan Hun Sen, yang telah memerintah selama lebih dari 30 tahun dan tumbuh semakin represif.
Dukungan Beijing memungkinkan Kamboja untuk mengabaikan kekhawatiran Barat tentang catatan buruknya dalam HAM dan politik, dan pada gilirannya Kamboja umumnya mendukung posisi geopolitik Beijing pada isu-isu seperti klaim teritorialnya di Laut China Selatan.
Pembangunan fasilitas militer baru China di Pangkalan Angkatan Laut Ream Kamboja adalah titik pertikaian yang kuat dengan Washington.
Ream menghadap Teluk Thailand, berdekatan dengan Laut China Selatan, di mana China telah secara agresif menegaskan klaimnya atas hampir seluruh jalur air strategis itu.
AS telah menolak untuk mengakui klaim China, dan Armada ke-7 Angkatan Laut Amerika secara rutin berlayar melewati pulau-pulau yang dikuasai China dalam apa yang disebutnya kebebasan operasi navigasi.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Hun Sen telah menindak oposisi politik, menutup media dan memaksa ratusan politisi Kamboja, aktivis HAM dan jurnalis ke pengasingan.
(min)
tulis komentar anda