Protes Deal PM dengan Militer, 12 Menteri Sudan Mundur Bersamaan
Rabu, 24 November 2021 - 00:08 WIB
KHARTOUM - Sebanyak 12 menteri Sudan , termasuk menteri luar negeri, mengundurkan diri bersamaan, Selasa (23/11/2021). Itu sebagai protes terhadap Perdana Menteri Abdalla Hamdok yang telah membuat kesepakatan dengan dewan militer yang berkuasa di negara itu.
Pada hari Minggu lalu, kekuasaan Hamdok—yang diguling dalam kudeta bulan lalu—dipulihkan setelah menandatangani perjanjian politik dengan kepala dewan militer, Jenderal Abdel Fattah al-Burhan. Kesepakatan itu untuk mengakhiri krisis selama berminggu-minggu yang mengancam akan merusak transisi politik negara tersebut.
Sementara kesepakatan itu sebagian besar disambut oleh masyarakat internasional, aktivis pro-demokrasi Sudan telah menolaknya sebagai upaya untuk melegitimasi kudeta militer. Mereka menuntut agar militer tidak menjadi bagian dari pemerintahan Sudan di masa depan.
Para menteri yang mengundurkan diri adalah bagian dari pemerintahan transisi yang dipimpin oleh Hamdok yang dibubarkan pada 25 Oktober 2021 oleh Jenderal al-Burhan. Langkah militer memicu protes nasional di mana setidaknya 41 orang tewas dalam tindakan keras pasukan keamanan.
Mereka yang mengundurkan diri adalah menteri luar negeri, menteri kehakiman, menteri pertanian, menteri irigasi, menteri investasi, menteri energi, menteri pendidikan tinggi, menteri tenaga kerja, menteri transportasi, menteri kesehatan, menteri pemuda
dan menteri urusan agama.
Jenderal al-Burhan mengumumkan keadaan darurat dan membubarkan pemerintah transisi pada 25 Oktober 2021, di tengah protes dan tuduhan yang saling bersaing antara militer dan politisi.
Pemerintah transisi yang terdiri dari warga sipil dan tokoh militer dibentuk setelah kesepakatan pembagian kekuasaan disepakati setelah penggulingan penguasa lama Omar al-Bashir pada 2019.
Kesepakatan 14 poin antara PM Hamdok dan dewan militer juga memberikan pembebasan semua tahanan politik yang ditahan selama kudeta dan menetapkan bahwa deklarasi konstitusional 2019 menjadi dasar untuk transisi politik.
Hamdok, yang berada di bawah tahanan rumah sejak kudeta bulan lalu, mengatakan dalam sebuah wawancara eksklusif dengan Al Jazeera bahwa dia menandatangani perjanjian karena dia didorong oleh “tanggung jawab” yang ada di pundaknya.
“Saya telah mengambil keputusan dan menandatangani perjanjian politik ini, meskipun saya tahu banyak yang mungkin tidak setuju, keberatan, atau menolaknya hanya karena ambisi dan aspirasi rakyat jauh lebih tinggi,” katanya.
Pada hari Minggu lalu, kekuasaan Hamdok—yang diguling dalam kudeta bulan lalu—dipulihkan setelah menandatangani perjanjian politik dengan kepala dewan militer, Jenderal Abdel Fattah al-Burhan. Kesepakatan itu untuk mengakhiri krisis selama berminggu-minggu yang mengancam akan merusak transisi politik negara tersebut.
Sementara kesepakatan itu sebagian besar disambut oleh masyarakat internasional, aktivis pro-demokrasi Sudan telah menolaknya sebagai upaya untuk melegitimasi kudeta militer. Mereka menuntut agar militer tidak menjadi bagian dari pemerintahan Sudan di masa depan.
Para menteri yang mengundurkan diri adalah bagian dari pemerintahan transisi yang dipimpin oleh Hamdok yang dibubarkan pada 25 Oktober 2021 oleh Jenderal al-Burhan. Langkah militer memicu protes nasional di mana setidaknya 41 orang tewas dalam tindakan keras pasukan keamanan.
Mereka yang mengundurkan diri adalah menteri luar negeri, menteri kehakiman, menteri pertanian, menteri irigasi, menteri investasi, menteri energi, menteri pendidikan tinggi, menteri tenaga kerja, menteri transportasi, menteri kesehatan, menteri pemuda
dan menteri urusan agama.
Jenderal al-Burhan mengumumkan keadaan darurat dan membubarkan pemerintah transisi pada 25 Oktober 2021, di tengah protes dan tuduhan yang saling bersaing antara militer dan politisi.
Pemerintah transisi yang terdiri dari warga sipil dan tokoh militer dibentuk setelah kesepakatan pembagian kekuasaan disepakati setelah penggulingan penguasa lama Omar al-Bashir pada 2019.
Baca Juga
Kesepakatan 14 poin antara PM Hamdok dan dewan militer juga memberikan pembebasan semua tahanan politik yang ditahan selama kudeta dan menetapkan bahwa deklarasi konstitusional 2019 menjadi dasar untuk transisi politik.
Hamdok, yang berada di bawah tahanan rumah sejak kudeta bulan lalu, mengatakan dalam sebuah wawancara eksklusif dengan Al Jazeera bahwa dia menandatangani perjanjian karena dia didorong oleh “tanggung jawab” yang ada di pundaknya.
“Saya telah mengambil keputusan dan menandatangani perjanjian politik ini, meskipun saya tahu banyak yang mungkin tidak setuju, keberatan, atau menolaknya hanya karena ambisi dan aspirasi rakyat jauh lebih tinggi,” katanya.
(min)
tulis komentar anda