Militer Myanmar Gempur Ratusan Rumah dan Gereja, AS: Serangan Menjijikkan!
Senin, 01 November 2021 - 11:38 WIB
WASHINGTON - Amerika Serikat (AS) mengutuk serangan roket militer Myanmar yang menghancurkan lebih dari 160 rumah dan gereja di negara bagian Chin barat. Washington menyebutnya sebagai serangan menjijikkan.
"Serangan-serangan menjijikkan ini menggarisbawahi kebutuhan mendesak bagi masyarakat internasional untuk meminta pertanggungjawaban militer Burma dan mengambil tindakan untuk mencegah pelanggaran berat dan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk dengan mencegah penyerahan senjata ke militer," kata juru bicara Departemen Luar Negeri Ned Price dalam sebuah pernyataan, menggunakan nama Myanmar sebelumnya, seperti dikutip AFP, Senin (1/11/2021).
Pada hari Jumat, media lokal dan saksi mata melaporkan bahwa pasukan pemerintah junta Myanmar menembaki kota Thantlang setelah konfrontasi dengan pasukan pertahanan diri sipil setempat.
Kobaran api kemudian melalap kota itu, menghancurkan banyak rumah dan bangunan—termasuk kantor Save the Children, badan amal yang berbasis di London.
Sebagian besar penduduk Thantlang telah meninggalkan kota selama bentrokan bulan lalu, banyak dari mereka melintasi perbatasan ke India.
Tim informasi militer mengonfirmasi pada hari Sabtu bahwa dua gereja dan puluhan rumah dibakar di kota itu. Tapi mereka menuduh "pasukan pertahanan rakyat" setempat sebagai penyebab kebakaran setelah pasukan keamanan bentrok dengan para milisi sipil.
Juru bicara pemerintah militer Zaw Min Tun mengatakan kepada media lokal bahwa peran militer dalam penghancuran Thantlang adalah "tuduhan yang tidak berdasar."
Price mengatakan Washington juga menyatakan keprihatinan atas intensifikasi operasi militer oleh pemerintah militer di seluruh Myanmar, yang telah jatuh ke dalam kekacauan sejak kudeta Februari lalu. Lebih dari 1.200 orang tewas sejak militer menindak keras perbedaan pendapat.
Apa yang disebut "pasukan pertahanan rakyat" (PDF) bermunculan di seluruh negeri untuk menghadapi pemerintah militer, meningkatkan serangan dan pembalasan berdarah.
PBB mengatakan pekan lalu bahwa pihaknya mengkhawatirkan bencana hak asasi manusia yang lebih luas di tengah laporan ribuan tentara berkumpul di utara dan barat negara itu.
Pada Mei, pasukan pemerintah menggunakan artileri untuk mengusir pemberontak dari kota Mindat di bagian selatan negara bagian Chin, dan kemudian memutus pasokan airnya.
"Serangan-serangan menjijikkan ini menggarisbawahi kebutuhan mendesak bagi masyarakat internasional untuk meminta pertanggungjawaban militer Burma dan mengambil tindakan untuk mencegah pelanggaran berat dan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk dengan mencegah penyerahan senjata ke militer," kata juru bicara Departemen Luar Negeri Ned Price dalam sebuah pernyataan, menggunakan nama Myanmar sebelumnya, seperti dikutip AFP, Senin (1/11/2021).
Pada hari Jumat, media lokal dan saksi mata melaporkan bahwa pasukan pemerintah junta Myanmar menembaki kota Thantlang setelah konfrontasi dengan pasukan pertahanan diri sipil setempat.
Kobaran api kemudian melalap kota itu, menghancurkan banyak rumah dan bangunan—termasuk kantor Save the Children, badan amal yang berbasis di London.
Sebagian besar penduduk Thantlang telah meninggalkan kota selama bentrokan bulan lalu, banyak dari mereka melintasi perbatasan ke India.
Tim informasi militer mengonfirmasi pada hari Sabtu bahwa dua gereja dan puluhan rumah dibakar di kota itu. Tapi mereka menuduh "pasukan pertahanan rakyat" setempat sebagai penyebab kebakaran setelah pasukan keamanan bentrok dengan para milisi sipil.
Juru bicara pemerintah militer Zaw Min Tun mengatakan kepada media lokal bahwa peran militer dalam penghancuran Thantlang adalah "tuduhan yang tidak berdasar."
Price mengatakan Washington juga menyatakan keprihatinan atas intensifikasi operasi militer oleh pemerintah militer di seluruh Myanmar, yang telah jatuh ke dalam kekacauan sejak kudeta Februari lalu. Lebih dari 1.200 orang tewas sejak militer menindak keras perbedaan pendapat.
Apa yang disebut "pasukan pertahanan rakyat" (PDF) bermunculan di seluruh negeri untuk menghadapi pemerintah militer, meningkatkan serangan dan pembalasan berdarah.
PBB mengatakan pekan lalu bahwa pihaknya mengkhawatirkan bencana hak asasi manusia yang lebih luas di tengah laporan ribuan tentara berkumpul di utara dan barat negara itu.
Pada Mei, pasukan pemerintah menggunakan artileri untuk mengusir pemberontak dari kota Mindat di bagian selatan negara bagian Chin, dan kemudian memutus pasokan airnya.
(min)
Lihat Juga :
tulis komentar anda