Berbicara di UEA, Menteri Israel Tolak Pembentukan Negara Palestina

Jum'at, 08 Oktober 2021 - 15:33 WIB
Menteri Dalam Negeri Israel Ayelet Shaked menolak pembentukan negara Palestina saat berbicara di Uni Emirat Arab. Foto/REUTERS
ABU DHABI - Menteri Dalam Negeri Israel Ayelet Shaked menolak pembentukan negara Palestina saat berbicara di Uni Emirat Arab (UEA). Dia bersikeras bahwa situasi saat ini adalah yang terbaik untuk semua orang.

Menteri rezim Zionis itu tidak peduli Israel dicap sebagai negara apartheid yang mempromosikan dan melanggengkan supremasi Yahudi.



Shaked, politisi sayap kanan dari partai Yamina, membuat pernyataan tersebut dalam sebuah wawancara dengan The National selama kunjungan pertamanya ke UEA awal pekan ini.

Dalam kunjungan tersebut, dia menemui mitranya dan Wakil Perdana Menteri UEA, Sheikh Saif Bin Zayed Al-Nahyan.



"Situasi saat ini adalah yang terbaik untuk semua orang," kata Shaked. "Lebih baik tetap seperti ini," katanya lagi, yang dilansir Middle East Monitor, Kamis (7/10/2021).

Politisi perempuan 45 tahun yang pernah menjadi menteri kehakiman itu menjelaskan bahwa ada konsensus di antara partai-partai sayap kanan, kiri, dan tengah Israel adalah tidak membahas masalah penghentian pendudukan dan konflik brutal rezim Israel terhadap warga Palestina.

"Kami percaya pada perdamaian ekonomi untuk meningkatkan kehidupan Palestina dan untuk melakukan zona industri bersama. Tapi bukan negara dengan tentara, pasti," ujar Shaked.

Shaked, yang telah menjadi penentang sengit dari solusi dua negara, menolak gagasan pembentukan negara Palestina dengan narasi propaganda yang sangat akrab digunakan oleh Israel untuk membenarkan pendudukan yang tidak pernah berakhir.

"Kami telah mengetahui secara langsung bahwa dari setiap wilayah yang kami tarik, sebuah organisasi teror akan muncul," katanya.

"Itu terjadi di Lebanon Selatan di mana Hizbullah memerintah dan didanai oleh Iran dan memiliki ribuan rudal yang diarahkan ke Israel."

Dia juga mengesampingkan situasi kemanusiaan yang mengerikan di Jalur Gaza, Palestina, tanpa menyebutkan bahwa dua juta orang di daerah kantong itu—yang sebagian besar adalah pengungsi yang diusir oleh Israel—telah berada di bawah pengepungan yang melumpuhkan sejak 2007.

“Ketika kami menarik diri dari Gaza, orang-orang mengatakan itu akan menjadi Monako lain—tetapi kami tahu apa yang terjadi di sana, Hamas mengambil alih kota dan mengubahnya menjadi negara teror. Kami tidak akan mengulangi eksperimen ini lagi,” kata Shaked, memadamkan harapan dari sebuah negara Palestina.



Pada bulan April, organisasi hak asasi manusia (HAM) terkemuka Human Rights Watch (HRW) bergabung dengan sejumlah kelompok HAM terkemuka lainnya untuk menyatakan bahwa Israel melakukan kejahatan apartheid dan penganiayaan. Sebelum itu, kelompok HAM Israel; B'Tselem, mencap Israel sebagai negara "apartheid" yang mempromosikan dan melanggengkan supremasi Yahudi antara Laut Mediterania hingga Sungai Yordan.

Shaked juga mengkritik pemimpin Palestina Mahmoud Abbas dengan mengatakan Abbas bukan mitra untuk perdamaian sejati.

"Mahmoud Abbas tidak mengadakan pemilu karena dia takut kalah dari Hamas. Jika ada pemilu...Hamas akan mengambil alih," kata Shaked.

Lebih lanjut, Shaked memuji normalisasi hubungan Israel dengan UEA. "Semua orang telah melihat manfaat perdamaian [antara UEA dan Israel]; terutama di tingkat ekonomi, pariwisata dan teknologi," katanya.

Tidak jelas apa pendapat Abu Dhabi tentang pernyataan Shaked. Terlepas dari normalisasi, UEA secara terbuka mempertahankan dukungan untuk pembentukan negara Palestina dan membenarkan kesepakatan normalisasi dengan mengatakan bahwa itu akan membantu mengakhiri pendudukan Israel atas Palestina.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
(min)
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More