Kurangi Ancaman Hegemoni China, ASEAN Diminta Tingkatkan Peran
Minggu, 25 Juli 2021 - 04:01 WIB
JAKARTA - Pengaruh Amerika Serikat (AS) di kawasan Asia memiliki dampak yang berbeda, di mana alih-alih mendorong adanya respons kolektif terhadap tantangan perluasan komunisme, seperti yang terjadi di Eropa Barat.
Namun hegemoni AS justru dengan efektif menimbulkan perpecahan di Asia Timur. Hal tersebut terungkap dalam Webinar internasional bertema ”China’s Hegemoni: Potential Political, Economic and Security Threats to Asian Countries.’’
Seminar yang digelar Pusat Studi Asia Tenggara (Center for Southeast Asian Studies/CSEAS) Indonesia tersebut juga mengungkap bahwa China yang telah meninggalkan sosialisme.
Menurut CSEAS, China hanya menggunakan namanya, mungkin tampak seperti ekspresi dominasi AS yang tak ambigu, serta pengaruh terhadap nilai-nilai negara tersebut. Namun kenyataannya jauh lebih kompleks.
“Secara paradoks, masuknya China ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mempercepat proses reformasi dan pembangunan ekonomi secara radikal, dan membantu memadamkan kemungkinan penentangan terhadap perubahan seiring dengan nilai-nilai dan institusi domestik China sendiri,” ungkap keterangan tertulis CSEAS di Jakarta, pada Sabtu (24/7).
Fenomena tersebut dikhawatirkan dapat berujung pada proses perkembangan yang belum pernah terjadi sebelumnya secara historis, yang telah sepenuhnya mengubah signifikansi ekonomi dan strategis China.
"Dalam hal ini, pengaruh AS pun telah membuktikan agak terlalu berhasil. Memang salah satu ironi hegemoni Amerika adalah bahwa ia telah secara efektif memelihara pesaing tangguh di Eropa, Jepang dan sekarang, yang paling penting, China,’’ papar CSEAS.
Guna membahas perspektif ekonomi dan politik terkait ancaman hegemoni China di negara-negara Asia, serta untuk menemukan cara mengurangi ketegangan antara China dan negara-negara lain, CSEAS mengundang sejumlah pembicara untuk berbagi pandangan mereka.
Para pembicara tersebut antara lain Executive Director Indonesia Institute of Maritime Studies Dr Connie Rahakundini, Director of the New Zealand Contemporary China Research Center, Victoria University Dr Jason Young, Senior Research Fellow dari CSEAS Veeramalla Anjaiah, serta Profesor Emiritus Carlyle Thayer dari UNSW Canberra, dan Executive Director ASEAN Studies UGM Dr Dafri Agussalim sebagai moderator.
Para pembicara memberikan pandangan mereka tentang definisi hegemoni, kebijakan luar negeri China, kekuatan ekonomi dan militernya dan proyeksi China ke depan.
Carlyle Thayer menyoroti strategi dan keinginan-keinginan China di bawah Presiden Xi Jinping dengan mempertahankan Partai Komunis China (CCP) tetap berkuasa, menjaga persatuan dan integritas wilayah, pengembangan ekonomi dan mengatasi gap income, membangun militer kelas pertama.
Menurut dia, hegemoni China di Asia dengan menerapkan “one china policy”, perjanjian ekonomi komprehensif, ASEAN-China Free Trade Regional Comprehensive Partnership.
Untuk mengurangi ancaman hegemoni China, dia mengusulkan antara lain jalur diplomatik dan politik melalui mekanisme multilateral dan regional termasuk sentralitas ASEAN. “Tingkatkan peran ASEAN Coast Guard dan ASEAN Plus Four atau Quad,” ujar dia.
Karena persaingan antara China dan AS untuk hegemoni regional di Asia, negara-negara Asia tidak boleh bergabung hanya dengan satu kekuatan besar. Mereka harus melibatkan keduanya dan menjaga keseimbangan.
“Ancaman terhadap negara-negara Asia, dalam hal munculnya China sebagai kekuatan besar dan persaingan kekuatan besar untuk hegemoni di kawasan, adalah jika Asia menjadi Asia tanpa Amerika Serikat, itu akan menjadi luar biasa bermasalah. Karena tidak akan ada kekuatan besar untuk menyeimbangkan China,” papar Jason Young.
Veeramalla Anjaiah memaparkan sejarah pembentukan Partai Komunis China (CCP) 100 tahun lalu (23 Juli 1921) dan para tokohnya termasuk Mao Zedong.
Tetapi CCP di bawah Presiden Xi Jinping merayakan ulang tahun ke-100 pada 1 Juli 2021. Selama 72 tahun terakhir CCP telah mentransformasi China dari salah satu negara termiskin menjadi ekonomi terbesar kedua terbesar di dunia, kekuatan militer terbesar ketiga dan hegemoni global.
"Sebagai satu adidaya global yang sedang muncul China, yang berpenduduk terbesar di dunia dengan 1,44 miliar jiwa, menjadi penantang dominasi AS sebagai adidaya saat ini,’’ ungkap Veeramalla Anjaiah.
Selama kurun waktu dari 1927 hingga 1979, China terlibat dalam berbagai konflik dan perang.
Menurut Anjaiah, kekayaan dalam bidang ekonomi tidak mengubah perilaku CCP. Aksi protes mahasiswa di Lapangan Tiananmen tahun 1989 ditumpas secara brutal. Jutaan Muslim Uighur dijebloskan ke dalam kamp-kam konsentrasi dan gerakan demokratik juga dilibas di Hong Kong.
“Dengan kekayaan dan kekuatan militer, China ingin mendominasi dunia dengan memperluas kekuatan dan pengaruhnya,” papar dia.
Dia merujuk kepada Belt and Road Initiative (BRI) yang mencakup 68 negara di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Selatan dengan rencana investasi ditaksir sebesar 1 juta triliun.
Berdasarkan program BRI China dengan agresif menyediakan pinjaman dan menanam modal dalam berbagai proyek infrastruktur di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya di bawah program BRI.
Dikatakannya, Indonesia harus hati-hati untuk menghindari pengalaman-pengalaman Sri Lanka, Pakistan dan Kamboja.
Connie Rahakundini menyebutkan dua faktor utama yang mendorong pertumbuhan ekonomi China yang cepat: investasi dana berskala besar dari investasi asing dan simpanan domestik, dan pertumbuhan produktivitas yang cepat. Kedua faktor ini berjalan beriringan.
“Dana yang dikucurkan dan kebijakan pemerintah termasuk menjadi pendorong pertumbuhan yang signifikan selama 30 tahun terakhir,” ujar dia.
Melihat perkembangan China, AS dan global, menurut dia, Indonesia seharusnya membuat pernyataan jelas mengenai sikap yang diimpikannya terkait dengan prinsip Gerakan Non Blok dan visi maritim global tahun 2045.
Namun hegemoni AS justru dengan efektif menimbulkan perpecahan di Asia Timur. Hal tersebut terungkap dalam Webinar internasional bertema ”China’s Hegemoni: Potential Political, Economic and Security Threats to Asian Countries.’’
Seminar yang digelar Pusat Studi Asia Tenggara (Center for Southeast Asian Studies/CSEAS) Indonesia tersebut juga mengungkap bahwa China yang telah meninggalkan sosialisme.
Menurut CSEAS, China hanya menggunakan namanya, mungkin tampak seperti ekspresi dominasi AS yang tak ambigu, serta pengaruh terhadap nilai-nilai negara tersebut. Namun kenyataannya jauh lebih kompleks.
“Secara paradoks, masuknya China ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mempercepat proses reformasi dan pembangunan ekonomi secara radikal, dan membantu memadamkan kemungkinan penentangan terhadap perubahan seiring dengan nilai-nilai dan institusi domestik China sendiri,” ungkap keterangan tertulis CSEAS di Jakarta, pada Sabtu (24/7).
Fenomena tersebut dikhawatirkan dapat berujung pada proses perkembangan yang belum pernah terjadi sebelumnya secara historis, yang telah sepenuhnya mengubah signifikansi ekonomi dan strategis China.
"Dalam hal ini, pengaruh AS pun telah membuktikan agak terlalu berhasil. Memang salah satu ironi hegemoni Amerika adalah bahwa ia telah secara efektif memelihara pesaing tangguh di Eropa, Jepang dan sekarang, yang paling penting, China,’’ papar CSEAS.
Guna membahas perspektif ekonomi dan politik terkait ancaman hegemoni China di negara-negara Asia, serta untuk menemukan cara mengurangi ketegangan antara China dan negara-negara lain, CSEAS mengundang sejumlah pembicara untuk berbagi pandangan mereka.
Para pembicara tersebut antara lain Executive Director Indonesia Institute of Maritime Studies Dr Connie Rahakundini, Director of the New Zealand Contemporary China Research Center, Victoria University Dr Jason Young, Senior Research Fellow dari CSEAS Veeramalla Anjaiah, serta Profesor Emiritus Carlyle Thayer dari UNSW Canberra, dan Executive Director ASEAN Studies UGM Dr Dafri Agussalim sebagai moderator.
Para pembicara memberikan pandangan mereka tentang definisi hegemoni, kebijakan luar negeri China, kekuatan ekonomi dan militernya dan proyeksi China ke depan.
Carlyle Thayer menyoroti strategi dan keinginan-keinginan China di bawah Presiden Xi Jinping dengan mempertahankan Partai Komunis China (CCP) tetap berkuasa, menjaga persatuan dan integritas wilayah, pengembangan ekonomi dan mengatasi gap income, membangun militer kelas pertama.
Menurut dia, hegemoni China di Asia dengan menerapkan “one china policy”, perjanjian ekonomi komprehensif, ASEAN-China Free Trade Regional Comprehensive Partnership.
Untuk mengurangi ancaman hegemoni China, dia mengusulkan antara lain jalur diplomatik dan politik melalui mekanisme multilateral dan regional termasuk sentralitas ASEAN. “Tingkatkan peran ASEAN Coast Guard dan ASEAN Plus Four atau Quad,” ujar dia.
Karena persaingan antara China dan AS untuk hegemoni regional di Asia, negara-negara Asia tidak boleh bergabung hanya dengan satu kekuatan besar. Mereka harus melibatkan keduanya dan menjaga keseimbangan.
“Ancaman terhadap negara-negara Asia, dalam hal munculnya China sebagai kekuatan besar dan persaingan kekuatan besar untuk hegemoni di kawasan, adalah jika Asia menjadi Asia tanpa Amerika Serikat, itu akan menjadi luar biasa bermasalah. Karena tidak akan ada kekuatan besar untuk menyeimbangkan China,” papar Jason Young.
Veeramalla Anjaiah memaparkan sejarah pembentukan Partai Komunis China (CCP) 100 tahun lalu (23 Juli 1921) dan para tokohnya termasuk Mao Zedong.
Tetapi CCP di bawah Presiden Xi Jinping merayakan ulang tahun ke-100 pada 1 Juli 2021. Selama 72 tahun terakhir CCP telah mentransformasi China dari salah satu negara termiskin menjadi ekonomi terbesar kedua terbesar di dunia, kekuatan militer terbesar ketiga dan hegemoni global.
"Sebagai satu adidaya global yang sedang muncul China, yang berpenduduk terbesar di dunia dengan 1,44 miliar jiwa, menjadi penantang dominasi AS sebagai adidaya saat ini,’’ ungkap Veeramalla Anjaiah.
Selama kurun waktu dari 1927 hingga 1979, China terlibat dalam berbagai konflik dan perang.
Menurut Anjaiah, kekayaan dalam bidang ekonomi tidak mengubah perilaku CCP. Aksi protes mahasiswa di Lapangan Tiananmen tahun 1989 ditumpas secara brutal. Jutaan Muslim Uighur dijebloskan ke dalam kamp-kam konsentrasi dan gerakan demokratik juga dilibas di Hong Kong.
“Dengan kekayaan dan kekuatan militer, China ingin mendominasi dunia dengan memperluas kekuatan dan pengaruhnya,” papar dia.
Dia merujuk kepada Belt and Road Initiative (BRI) yang mencakup 68 negara di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Selatan dengan rencana investasi ditaksir sebesar 1 juta triliun.
Berdasarkan program BRI China dengan agresif menyediakan pinjaman dan menanam modal dalam berbagai proyek infrastruktur di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya di bawah program BRI.
Dikatakannya, Indonesia harus hati-hati untuk menghindari pengalaman-pengalaman Sri Lanka, Pakistan dan Kamboja.
Connie Rahakundini menyebutkan dua faktor utama yang mendorong pertumbuhan ekonomi China yang cepat: investasi dana berskala besar dari investasi asing dan simpanan domestik, dan pertumbuhan produktivitas yang cepat. Kedua faktor ini berjalan beriringan.
“Dana yang dikucurkan dan kebijakan pemerintah termasuk menjadi pendorong pertumbuhan yang signifikan selama 30 tahun terakhir,” ujar dia.
Melihat perkembangan China, AS dan global, menurut dia, Indonesia seharusnya membuat pernyataan jelas mengenai sikap yang diimpikannya terkait dengan prinsip Gerakan Non Blok dan visi maritim global tahun 2045.
(sya)
tulis komentar anda