Pakar AS Umbar Gambar 236 Kapal China Buang Kotoran Manusia dan Limbah di LCS

Selasa, 13 Juli 2021 - 00:01 WIB
220 kapal China berada di Whitsun Reef, Laut China Selatan, pada 7 Maret 2021. Foto/Philippine Coast Guard/National Task Force-West Philippine Sea/REUTERS
MANILA - Ratusan kapal China membuang kotoran manusia dan air limbah selama bertahun-tahun di perairan sengketa Laut China Selatan (LCS).

Tindakan kapal-kapal China itu menyebabkan berkembangnya ganggang yang merusak terumbu karang dan mengancam kelestarian ikan-ikan dalam bencana yang sedang berlangsung.

Peringatan itu dilontarkan oleh pakar yang berbasis di Amerika Serikat (AS), Liz Derr, yang memimpin Simularity Inc, perusahaan perangkat lunak yang menciptakan teknologi kecerdasan buatan untuk analisis citra satelit.



“Citra satelit selama lima tahun terakhir menunjukkan bagaimana kotoran manusia, limbah dan air limbah telah menumpuk dan menyebabkan alga di sekelompok terumbu karang di wilayah Spratlys, tempat ratusan kapal penangkap ikan China berlabuh,” ujar Liz Derr.





“Sekitar 236 kapal terlihat di atol, yang secara internasional dikenal sebagai Union Banks, pada 17 Juni saja,” papar dia di forum berita online Filipina tentang tindakan China di Laut China Selatan yang diklaim Beijing secara keseluruhan.



“Ketika kapal tidak bergerak, kotoran menumpuk. Ratusan kapal yang berlabuh di Spratly membuang limbah mentah ke terumbu karang yang mereka tempati,” ujar Derr.

Pejabat China tidak segera bereaksi terhadap pernyataan Derr tentang kerusakan lingkungan yang terjadi.

Meski demikian, para pejabat China telah mengatakan di masa lalu bahwa mereka telah mengambil langkah-langkah untuk melindungi stok perikanan dan lingkungan di Laut China Selatan.

Selain China, pasukan Vietnam juga telah menduduki beberapa singkapan karang di Union Banks, yang juga diklaim Filipina, meskipun militernya tidak hadir di atol yang luas itu.

Asisten Menteri Luar Negeri Filipina Eduardo Menez mengatakan temuan itu harus dinilai dan divalidasi oleh otoritas Filipina sebelum keputusan apakah akan mengajukan protes terhadap China dapat dibuat.

"Ini adalah malapetaka dengan proporsi epik dan kami hampir mencapai titik tidak bisa kembali," ungkap Derr.

Dia memperingatkan kumpulan ikan, termasuk tuna yang bermigrasi, berkembang biak di terumbu yang rusak itu dan dapat menyebabkan stok ikan menurun drastis di daerah lepas pantai yang merupakan kawasan sumber makanan utama.

Secara terpisah, militer China mengatakan pihaknya mengejar satu kapal perang AS keluar dari wilayah lain yang disengketakan di Laut China Selatan pada Senin (12/7) setelah Washington memperingatkan serangan terhadap Filipina dapat mengaktifkan perjanjian pertahanan bersama.

Beijing menegaskan klaimnya atas Laut China Selatan yang juga diklaim negara-negara Asia Tenggara.

Mereka menolak deklarasi dukungan pemerintahan Presiden AS Joe Biden pada Minggu untuk putusan pengadilan internasional 2016 yang mendukung Filipina.

China semakin keras dalam menekankan klaim wilayahnya, yang memicu ketegangan dengan negara tetangga termasuk Jepang, India, Vietnam dan Filipina.

Tentara Pembebasan Rakyat China mengatakan mereka mengirim kapal dan pesawat setelah kapal perang USS Benfold memasuki perairan yang diklaim Beijing di sekitar Kepulauan Paracel.

Pada Maret, pihak berwenang Filipina melihat lebih dari 200 kapal penangkap ikan China di Whitsun Reef, pinggiran timur laut Union Banks.

Filipina kemudian menuntut agar China menarik mereka dari daerah tersebut. China mengabaikan permintaan selama beberapa pekan, sambil terus menegaskan terumbu karang adalah wilayahnya sendiri.

Filipina berargumen Whitsun Reef terletak di dalam bentangan perairan yang diakui secara internasional bahwa Manila memiliki hak eksklusif untuk mengeksploitasi perikanan, minyak, gas, dan sumber daya laut lainnya.

Manila mengutip putusan pengadilan internasional 2016 yang membatalkan klaim China atas wilayah perairan itu dengan alasan sejarah.

Pengadilan internasional dengan suara bulat menjunjung tinggi hak kedaulatan Filipina atas apa yang disebut zona ekonomi eksklusif.

Beberapa ratus pengunjuk rasa pada Senin berkumpul di depan Konsulat China di Manila untuk menandai ulang tahun kelima dari keputusan tersebut.

Keputusan pengadilan itu diabaikan China dan terus ditentangnya.

Para pengunjuk rasa mengecam Presiden Filipina Rodrigo Duterte, yang memelihara hubungan lebih dekat dengan Beijing.

Duterte menolak bertindak agresif dalam menuntut China mematuhi keputusan penting tersebut.
(sya)
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More