Nafsu Berkuasa Masih Kuat, Netanyahu Buru 'Para Pengkhianat' di Koalisinya
Kamis, 10 Juni 2021 - 05:05 WIB
TEL AVIV - Setelah pemilu keempat dalam dua tahun dan kemungkinan besar hengkangnya Benjamin Netanyahu sebagai perdana menteri Israel , situasi di sana menjadi semakin memanas.
Netanyahu sendiri sekali lagi menuangkan bahan bakar ke kobaran api yang menyala liar dalam pemerintahannya.
Netanyahu jelas menghadapi ancaman kehilangan kekuasaan pada Minggu (13/6) setelah 12 tahun berkuasa. Namun dia cenderung tidak menerima perkembangan terbaru dari berbagai lawan politik yang bergandengan tangan melawannya.
Sebaliknya, dia memberikan tekanan besar pada para anggota parlemen Knesset agar mereka tidak memilih pemerintahan baru dengan memobilisasi pendukungnya yang telah berkumpul di depan gedung parlemen untuk demonstrasi dan intimidasi.
Beberapa hari ke depan ini akan menunjukkan apakah era Netanyahu memang sudah berakhir.
Sejak aliansi pemerintah yang direncanakan dengan Perdana Menteri yang ditunjuk Naftali Bennett hanya memiliki mayoritas tipis 61 dari 120 kursi di parlemen, setiap hari menjadi sangat penting.
Upaya Netanyahu dan Partai Likud yang dipimpinnya untuk menemukan “para pengkhianat” di antara barisan koalisi adalah contoh terbaru dari upaya "Raja Bibi" dan ambisinya untuk tetap berkuasa.
“Ironisnya, Netanyahu adalah sosok yang memungkinkan hadirnya pemerintahan berikutnya dengan mengesahkan undang-undang baru dan dengan mengakhiri tradisi tidak mengadakan pembicaraan dengan partai-partai Arab,” ungkap Donna Robinson Divine, profesor Studi dan Pemerintahan Yahudi di Smith College pada Al Jazeera.
Dia menambahkan, “Netanyahu membuka jalan bagi pemerintah alternatif untuk mendapatkan kekuasaan. Dia memperkenalkan Undang-Undang Dasar yang memungkinkan perdana menteri alternatif; dia mulai berbicara dengan Mansour Abbas tentang mendukung koalisinya sendiri.”
Permainan Kekuasaan Machiavelli
Ini telah menjadi tema yang berulang dalam politik Israel. Selama bertahun-tahun Netanyahu menggunakan semua jenis kejahatan politik dan permainan kekuasaan Machiavelli untuk tetap menjadi perdana menteri negara itu.
Namun, Israel telah membayarnya dengan mahal. “Secara politik, Israel telah lumpuh. Bahkan tanggung jawab pemerintah yang paling mendasar telah ditunda,” tutur Divine.
“Netanyahu menemukan cara untuk memberlakukan empat pemilu dalam dua tahun di Israel, dengan negara harus beroperasi tanpa anggaran untuk dua tahun terakhir,” papar dia.
Secara sosial, negara ini sangat terpecah, pada dasarnya menjadi kubu pro dan anti-Netanyahu.
Kepala badan keamanan domestik Israel Shin Bet, Nadav Argaman, memperingatkan terjadinya kekerasan politik dan meminta semua yang terlibat untuk melucuti senjata secara lisan.
Tanpa menyebut nama, pernyataan Argaman ditujukan terutama pada Netanyahu dan Likud.
Partai Likud telah secara terbuka menghina anggota Knesset sayap kanan dari koalisi masa depan sebagai pengkhianat.
Sementara Netanyahu sendiri mengatakan dia mengutuk seruan untuk melakukan kekerasan, dia sepenuhnya menyadari kata-katanya dan dampaknya.
“Netanyahu adalah seorang politisi yang sangat cerdas, banyak membaca dan ahli dalam taktik politik Israel,” ujar Divine.
Kata-katanya dipilih dengan sengaja. Netanyahu berbicara tentang “kecurangan pemilu terbesar dalam sejarah negara”, dan bahkan “kecurangan terbesar dalam sejarah demokrasi”.
“Keputusan Bennett memasuki koalisi dengan kelompok kiri dan Arab adalah alasan mengapa orang merasa tertipu dan bereaksi sesuai dengan itu,” ujar Netanyahu.
Retorika Netanyahu menyerupai mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan pernyataan pasca pemilu, terutama pada 6 Januari, dengan berbagai kebohongan yang memicu kekerasan politik yang jarang terjadi di negara itu.
Netanyahu sendiri sekali lagi menuangkan bahan bakar ke kobaran api yang menyala liar dalam pemerintahannya.
Netanyahu jelas menghadapi ancaman kehilangan kekuasaan pada Minggu (13/6) setelah 12 tahun berkuasa. Namun dia cenderung tidak menerima perkembangan terbaru dari berbagai lawan politik yang bergandengan tangan melawannya.
Sebaliknya, dia memberikan tekanan besar pada para anggota parlemen Knesset agar mereka tidak memilih pemerintahan baru dengan memobilisasi pendukungnya yang telah berkumpul di depan gedung parlemen untuk demonstrasi dan intimidasi.
Beberapa hari ke depan ini akan menunjukkan apakah era Netanyahu memang sudah berakhir.
Sejak aliansi pemerintah yang direncanakan dengan Perdana Menteri yang ditunjuk Naftali Bennett hanya memiliki mayoritas tipis 61 dari 120 kursi di parlemen, setiap hari menjadi sangat penting.
Upaya Netanyahu dan Partai Likud yang dipimpinnya untuk menemukan “para pengkhianat” di antara barisan koalisi adalah contoh terbaru dari upaya "Raja Bibi" dan ambisinya untuk tetap berkuasa.
“Ironisnya, Netanyahu adalah sosok yang memungkinkan hadirnya pemerintahan berikutnya dengan mengesahkan undang-undang baru dan dengan mengakhiri tradisi tidak mengadakan pembicaraan dengan partai-partai Arab,” ungkap Donna Robinson Divine, profesor Studi dan Pemerintahan Yahudi di Smith College pada Al Jazeera.
Dia menambahkan, “Netanyahu membuka jalan bagi pemerintah alternatif untuk mendapatkan kekuasaan. Dia memperkenalkan Undang-Undang Dasar yang memungkinkan perdana menteri alternatif; dia mulai berbicara dengan Mansour Abbas tentang mendukung koalisinya sendiri.”
Permainan Kekuasaan Machiavelli
Ini telah menjadi tema yang berulang dalam politik Israel. Selama bertahun-tahun Netanyahu menggunakan semua jenis kejahatan politik dan permainan kekuasaan Machiavelli untuk tetap menjadi perdana menteri negara itu.
Namun, Israel telah membayarnya dengan mahal. “Secara politik, Israel telah lumpuh. Bahkan tanggung jawab pemerintah yang paling mendasar telah ditunda,” tutur Divine.
“Netanyahu menemukan cara untuk memberlakukan empat pemilu dalam dua tahun di Israel, dengan negara harus beroperasi tanpa anggaran untuk dua tahun terakhir,” papar dia.
Secara sosial, negara ini sangat terpecah, pada dasarnya menjadi kubu pro dan anti-Netanyahu.
Kepala badan keamanan domestik Israel Shin Bet, Nadav Argaman, memperingatkan terjadinya kekerasan politik dan meminta semua yang terlibat untuk melucuti senjata secara lisan.
Tanpa menyebut nama, pernyataan Argaman ditujukan terutama pada Netanyahu dan Likud.
Partai Likud telah secara terbuka menghina anggota Knesset sayap kanan dari koalisi masa depan sebagai pengkhianat.
Sementara Netanyahu sendiri mengatakan dia mengutuk seruan untuk melakukan kekerasan, dia sepenuhnya menyadari kata-katanya dan dampaknya.
“Netanyahu adalah seorang politisi yang sangat cerdas, banyak membaca dan ahli dalam taktik politik Israel,” ujar Divine.
Kata-katanya dipilih dengan sengaja. Netanyahu berbicara tentang “kecurangan pemilu terbesar dalam sejarah negara”, dan bahkan “kecurangan terbesar dalam sejarah demokrasi”.
“Keputusan Bennett memasuki koalisi dengan kelompok kiri dan Arab adalah alasan mengapa orang merasa tertipu dan bereaksi sesuai dengan itu,” ujar Netanyahu.
Retorika Netanyahu menyerupai mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan pernyataan pasca pemilu, terutama pada 6 Januari, dengan berbagai kebohongan yang memicu kekerasan politik yang jarang terjadi di negara itu.
(sya)
tulis komentar anda