Timur Tengah Diprediksi Terpanggang Gelombang Panas Super 56 Derajat Celsius
Kamis, 03 Juni 2021 - 05:05 WIB
DUBAI - Suhu panas hingga 56 derajat Celsius bisa segera menjadi suatu yang biasa terjadi di Timur Tengah . Menurut para pakar, itu akibat perubahan iklim membawa gelombang panas super dan ultra-ekstrem ke wilayah itu.
Peringatan itu muncul setelah suhu panas ekstrem hampir 50 derajat Celsius tercatat di beberapa bagian Teluk Arab, termasuk Arab Saudi, Oman, Uni Emirat Arab (UEA), dan Kuwait, dalam beberapa pekan terakhir.
Pakar kesehatan setempat mengatakan kematian terkait suhu panas menjadi hal biasa di Timur Tengah.
Dalam studi yang baru diterbitkan berjudul 'Bisnis seperti biasa akan menyebabkan gelombang panas super dan ultra-ekstrim di Timur Tengah dan Afrika Utara' yang diterbitkan dalam jurnal Nature, para peneliti menemukan proyeksi iklim global menunjukkan intensifikasi musim panas yang sangat ekstrem di Timur Tengah pada tahun-tahun mendatang.
“Paruh kedua abad ini akan menyaksikan kondisi gelombang panas super dan ultra-ekstrim yang belum pernah terjadi sebelumnya akan muncul,” ungkap laporan studi tersebut.
"Peristiwa ini melibatkan suhu yang sangat tinggi (hingga 56 derajat Celsius dan lebih tinggi) dan akan berlangsung lama (beberapa pekan), berpotensi mengancam jiwa manusia," ungkap penulis utama George Zittis, dari Pusat Riset Iklim dan Atmosfer (CARE-C) di Institut Siprus.
Studi tersebut mengklaim pada akhir abad ini sekitar setengah dari populasi Timur Tengah, sekitar 600 juta orang, dapat terkena gelombang panas ultra-ekstrim yang berulang setiap tahun.
Diperkirakan sebagian besar populasi yang terpapar, lebih dari 90%, akan tinggal di pusat kota dan perlu mengatasi kondisi cuaca yang mengganggu masyarakat ini.
Para ahli mendukung temuan laporan Nature kepada Al Arabiya English.
Pada akhir Mei, beberapa stasiun cuaca melaporkan suhu hingga 49 derajat Celsius di seluruh Arab Saudi, Irak, Iran, Oman, UEA, dan Kuwait.
Omar Baddour, yang bertanggung jawab atas laporan Iklim Global Organisasi Meteorologi Dunia, mengatakan kenaikan suhu disebabkan emisi global dari aktivitas manusia.
“Tidak ada keraguan bahwa panas ekstrem di sebagian besar kasus telah menjadi tanda perubahan iklim, apakah itu terjadi selama musim atau di tepi musim,” ujar dia kepada Al Arabiya English.
Dia menambahkan, “Tren peningkatan suhu dan suhu ekstrem, siang dan malam, adalah ciri-ciri yang ditemukan di seluruh dunia, termasuk Timur Tengah.”
Ada sekitar 40% kemungkinan suhu global rata-rata tahunan bergeser ke 1,5 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri dalam lima tahun ke depan.
Peluang ini meningkat seiring waktu, menurut laporan iklim baru-baru ini oleh WMO.
Ada kemungkinan 90% bahwa suatu saat selama periode 2021-2025 suhu akan mencapai rekor terpanas.
Sekretaris Jenderal WMO Profesor Petteri Taalas mengatakan, “Ini lebih dari sekadar statistik. Peningkatan suhu berarti lebih banyak es yang mencair, permukaan laut yang lebih tinggi, lebih banyak gelombang panas dan cuaca ekstrem lainnya, dan dampak yang lebih besar pada ketahanan pangan, kesehatan, lingkungan, dan pembangunan berkelanjutan.”
“Kami semakin mendekati target yang lebih rendah dari Perjanjian Paris tentang Perubahan Iklim secara terukur dan tak terhindarkan. Ini adalah peringatan lain bahwa dunia perlu mempercepat komitmen untuk memangkas emisi gas rumah kaca dan mencapai netralitas karbon,” ujar dia.
“Kemajuan teknologi sekarang memungkinkan untuk melacak emisi gas rumah kaca kembali ke sumbernya sebagai sarana untuk menargetkan upaya pengurangan secara tepat,” papar dia.
Menurut dia, ini juga menyoroti perlunya adaptasi iklim.
“Hanya setengah dari 193 Anggota WMO yang memiliki layanan peringatan dini yang canggih. Negara-negara harus terus mengembangkan layanan yang akan dibutuhkan untuk mendukung adaptasi di sektor sensitif iklim, seperti kesehatan, air, pertanian, dan energi terbarukan, dan mempromosikan sistem peringatan dini yang mengurangi dampak buruk dari peristiwa ekstrem,” ungkap dia.
Dalam lima tahun mendatang, suhu global rata-rata tahunan kemungkinan akan setidaknya 1 derajat Celsius lebih hangat, dalam kisaran 0,9–1,8 derajat Celsius, dibandingkan tingkat pra-industri.
Perjanjian Paris berusaha menjaga kenaikan suhu global abad ini di bawah 2 derajat Celsius. Komitmen nasional untuk mengurangi emisi saat ini masih jauh dari apa yang dibutuhkan untuk mencapai target ini.
Tahun 2021, dan negosiasi perubahan iklim yang penting, COP26, pada November, telah secara luas digambarkan sebagai peluang "berhasil atau hancur" untuk mencegah perubahan iklim yang tidak terkendali.
Peringatan itu muncul setelah suhu panas ekstrem hampir 50 derajat Celsius tercatat di beberapa bagian Teluk Arab, termasuk Arab Saudi, Oman, Uni Emirat Arab (UEA), dan Kuwait, dalam beberapa pekan terakhir.
Pakar kesehatan setempat mengatakan kematian terkait suhu panas menjadi hal biasa di Timur Tengah.
Dalam studi yang baru diterbitkan berjudul 'Bisnis seperti biasa akan menyebabkan gelombang panas super dan ultra-ekstrim di Timur Tengah dan Afrika Utara' yang diterbitkan dalam jurnal Nature, para peneliti menemukan proyeksi iklim global menunjukkan intensifikasi musim panas yang sangat ekstrem di Timur Tengah pada tahun-tahun mendatang.
“Paruh kedua abad ini akan menyaksikan kondisi gelombang panas super dan ultra-ekstrim yang belum pernah terjadi sebelumnya akan muncul,” ungkap laporan studi tersebut.
"Peristiwa ini melibatkan suhu yang sangat tinggi (hingga 56 derajat Celsius dan lebih tinggi) dan akan berlangsung lama (beberapa pekan), berpotensi mengancam jiwa manusia," ungkap penulis utama George Zittis, dari Pusat Riset Iklim dan Atmosfer (CARE-C) di Institut Siprus.
Studi tersebut mengklaim pada akhir abad ini sekitar setengah dari populasi Timur Tengah, sekitar 600 juta orang, dapat terkena gelombang panas ultra-ekstrim yang berulang setiap tahun.
Diperkirakan sebagian besar populasi yang terpapar, lebih dari 90%, akan tinggal di pusat kota dan perlu mengatasi kondisi cuaca yang mengganggu masyarakat ini.
Para ahli mendukung temuan laporan Nature kepada Al Arabiya English.
Pada akhir Mei, beberapa stasiun cuaca melaporkan suhu hingga 49 derajat Celsius di seluruh Arab Saudi, Irak, Iran, Oman, UEA, dan Kuwait.
Omar Baddour, yang bertanggung jawab atas laporan Iklim Global Organisasi Meteorologi Dunia, mengatakan kenaikan suhu disebabkan emisi global dari aktivitas manusia.
“Tidak ada keraguan bahwa panas ekstrem di sebagian besar kasus telah menjadi tanda perubahan iklim, apakah itu terjadi selama musim atau di tepi musim,” ujar dia kepada Al Arabiya English.
Dia menambahkan, “Tren peningkatan suhu dan suhu ekstrem, siang dan malam, adalah ciri-ciri yang ditemukan di seluruh dunia, termasuk Timur Tengah.”
Ada sekitar 40% kemungkinan suhu global rata-rata tahunan bergeser ke 1,5 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri dalam lima tahun ke depan.
Peluang ini meningkat seiring waktu, menurut laporan iklim baru-baru ini oleh WMO.
Ada kemungkinan 90% bahwa suatu saat selama periode 2021-2025 suhu akan mencapai rekor terpanas.
Sekretaris Jenderal WMO Profesor Petteri Taalas mengatakan, “Ini lebih dari sekadar statistik. Peningkatan suhu berarti lebih banyak es yang mencair, permukaan laut yang lebih tinggi, lebih banyak gelombang panas dan cuaca ekstrem lainnya, dan dampak yang lebih besar pada ketahanan pangan, kesehatan, lingkungan, dan pembangunan berkelanjutan.”
“Kami semakin mendekati target yang lebih rendah dari Perjanjian Paris tentang Perubahan Iklim secara terukur dan tak terhindarkan. Ini adalah peringatan lain bahwa dunia perlu mempercepat komitmen untuk memangkas emisi gas rumah kaca dan mencapai netralitas karbon,” ujar dia.
“Kemajuan teknologi sekarang memungkinkan untuk melacak emisi gas rumah kaca kembali ke sumbernya sebagai sarana untuk menargetkan upaya pengurangan secara tepat,” papar dia.
Menurut dia, ini juga menyoroti perlunya adaptasi iklim.
“Hanya setengah dari 193 Anggota WMO yang memiliki layanan peringatan dini yang canggih. Negara-negara harus terus mengembangkan layanan yang akan dibutuhkan untuk mendukung adaptasi di sektor sensitif iklim, seperti kesehatan, air, pertanian, dan energi terbarukan, dan mempromosikan sistem peringatan dini yang mengurangi dampak buruk dari peristiwa ekstrem,” ungkap dia.
Dalam lima tahun mendatang, suhu global rata-rata tahunan kemungkinan akan setidaknya 1 derajat Celsius lebih hangat, dalam kisaran 0,9–1,8 derajat Celsius, dibandingkan tingkat pra-industri.
Perjanjian Paris berusaha menjaga kenaikan suhu global abad ini di bawah 2 derajat Celsius. Komitmen nasional untuk mengurangi emisi saat ini masih jauh dari apa yang dibutuhkan untuk mencapai target ini.
Tahun 2021, dan negosiasi perubahan iklim yang penting, COP26, pada November, telah secara luas digambarkan sebagai peluang "berhasil atau hancur" untuk mencegah perubahan iklim yang tidak terkendali.
(sya)
tulis komentar anda