Ketegangan AS-China Ancam Upaya Global Lawan Perubahan Iklim

Selasa, 11 Mei 2021 - 03:00 WIB
Ilustrasi
WASHINGTON - Harapan dunia untuk mengekang perubahan iklim bergantung pada tindakan dua negara raksasa yang hubungannya memburuk, China dan Amerika Serikat (AS). Kedua negara tersebut menyatakan bahwa mereka bermaksud untuk melengkapi kembali ekonomi mereka untuk mengurangi pembakaran batu bara, minyak, dan gas yang merusak iklim.

Tetapi, ketegangan yang terjadi di antara mereka mengancam kesuksesan akhir mereka. China dan AS masing-masing adalah pencemar karbon Nomor satu dan dua di dunia, mengeluarkan hampir setengah dari asap bahan bakar fosil yang menghangatkan atmosfer planet.



Pemotongan cepat karbon yang diperlukan untuk mencegah perubahan iklim yang terburuk tidak mungkin dilakukan kecuali negara-negara ini bekerja sama dan pada dasarnya saling mempercayai janji satu sama lain. Selama pemerintahan Donald Trump, AS menggunakan emisi China sebagai alasan untuk tidak bertindak dan di masa lalu China menunjuk emisi historis AS sebagai alasan untuk menolak mengambil tindakan.

AS dan China sama-sama telah menunjuk utusan veteran sebagai negosiator iklim global mereka, John Kerry dan Xie Zhenhua. Tetapi, sementara dua negarawan senior bekerja sama dengan baik dalam meletakkan dasar untuk kesepakatan iklim Paris 2015, sekarang mereka menghadapi tantangan baru.



Diplomasi iklim AS-China mengancam akan dibayangi oleh apa yang dilihat Washington sebagai kebijakan Beijing yang mengancam terhadap Hong Kong, Taiwan dan Laut China Selatan, konflik HAM dan perdagangan, dan klaim AS atas spionase China.



Sementara itu, para pejabat China kesal dengan pembatasan yang diberlakukan oleh administrasi Trump pada perdagangan, teknologi, media, dan pelajar China di AS, dan deklarasi Kementerian Luar Negeri tahun ini bahwa kekejaman terhadap minoritas Muslim China adalah "genosida".

"Masalah dengan China tidak akan pernah ditukar dengan apa pun yang berkaitan dengan iklim. Ini tidak akan terjadi," ujar Kerry beberapa waktu lalu, seperti dilansir Japan Today.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More