Tiru Masa Lalu Raja Thailand, ABG 16 Tahun Demo Pakai Crop Top
Sabtu, 27 Maret 2021 - 19:31 WIB
“Saya tidak takut pada diri saya sendiri, tapi saya takut orang lain akan berakhir seperti saya. Saya khawatir ini mungkin menjadi alasan mengapa orang tidak keluar untuk memprotes lagi," ujarnya.
Remaja itu kemungkinan akan didakwa secara resmi oleh pengadilan pada Senin depan, yang kemudian dapat menolak jaminan untuk pembebasannya. Dia diyakini sebagai pengunjuk rasa termuda sejauh ini yang menghadapi hukum garis keras.
Pada puncaknya tahun lalu, protes Thailand mengguncang pemerintah dan membuat pihak royalis tidak seimbang.
Protes dimulai dengan menyerukan pemerintah perdana menteri, mantan panglima militer Prayuth Chan-Ocha, untuk mundur dan Senat Thailand dipilih rakyat alih-alih dipilih sendiri. Tuntutan itu dengan cepat berubah menjadi seruan agar kekuasaan monarki dibatasi di bawah konstitusi.
Serangan demonstran terhadap istana belum pernah terjadi sebelumnya, di mana para pengunjuk rasa menggunakan slogan dan meme anti-monarki, meneriakkan "Pajak Saya" dan memegang spanduk yang mendesak diakhirinya Pasal 112, Itu semua adalah tindakan pembangkangan yang tidak terpikirkan sebelumnya terhadap puncak piramida kekuasaan Thailand.
Jumlah pengunjuk rasa telah menyusut menjadi hanya ribuan, karena undang-undang pencemaran nama baik kerajaan telah membuat para pemimpin demo ditangkapi. Undang-undang itu pula yang membuat banyak orang takit untuk menghadiri demonstrasi.
Mereka yang tetap berada di jalanan semakin marah dengan penerapan hukum seperti itu.
Menurut demonstran remaja yang menghadapi sidang pengadilan; "Masalah Pasal 112 adalah hukum yang dirancang untuk menjaga ketidaksetaraan dan jika tidak ada persamaan, hukum dapat digunakan untuk diterapkan secara berbeda pada manusia yang berbeda."
Di Thailand, raja selama beberapa generasi memiliki status semi-dewa meskipun secara teori berada di luar politik di bawah konstitusi 1932.
Remaja itu kemungkinan akan didakwa secara resmi oleh pengadilan pada Senin depan, yang kemudian dapat menolak jaminan untuk pembebasannya. Dia diyakini sebagai pengunjuk rasa termuda sejauh ini yang menghadapi hukum garis keras.
Pada puncaknya tahun lalu, protes Thailand mengguncang pemerintah dan membuat pihak royalis tidak seimbang.
Protes dimulai dengan menyerukan pemerintah perdana menteri, mantan panglima militer Prayuth Chan-Ocha, untuk mundur dan Senat Thailand dipilih rakyat alih-alih dipilih sendiri. Tuntutan itu dengan cepat berubah menjadi seruan agar kekuasaan monarki dibatasi di bawah konstitusi.
Serangan demonstran terhadap istana belum pernah terjadi sebelumnya, di mana para pengunjuk rasa menggunakan slogan dan meme anti-monarki, meneriakkan "Pajak Saya" dan memegang spanduk yang mendesak diakhirinya Pasal 112, Itu semua adalah tindakan pembangkangan yang tidak terpikirkan sebelumnya terhadap puncak piramida kekuasaan Thailand.
Jumlah pengunjuk rasa telah menyusut menjadi hanya ribuan, karena undang-undang pencemaran nama baik kerajaan telah membuat para pemimpin demo ditangkapi. Undang-undang itu pula yang membuat banyak orang takit untuk menghadiri demonstrasi.
Mereka yang tetap berada di jalanan semakin marah dengan penerapan hukum seperti itu.
Menurut demonstran remaja yang menghadapi sidang pengadilan; "Masalah Pasal 112 adalah hukum yang dirancang untuk menjaga ketidaksetaraan dan jika tidak ada persamaan, hukum dapat digunakan untuk diterapkan secara berbeda pada manusia yang berbeda."
Di Thailand, raja selama beberapa generasi memiliki status semi-dewa meskipun secara teori berada di luar politik di bawah konstitusi 1932.
Lihat Juga :
tulis komentar anda