Tiru Masa Lalu Raja Thailand, ABG 16 Tahun Demo Pakai Crop Top

Sabtu, 27 Maret 2021 - 19:31 WIB
Maha Vajiralongkorn, sebelum jadi Raja Thailand, mengenakan crop top dan tato palsu, di sekitar bandara di Jerman. Dandanan itu kini ditiru para demonstran pro-demokrasi Thailand. Foto/New York Post
BANGKOK - Seorang anak baru gede (ABG) berusia 16 tahun di Thailand berpotensi menghadapi penjara atas dugaan mencemarkan nama baik Raja Maha Vajiralongkorn di negara itu. Musababnya, remaja itu mengenakan crop top saat demo pro-demokrasi.

Dandandan demonstran remaja itu meniru masa lalu Vajiralongkorn sebelum dinobatkan sebagai raja atau masih berstatus sebagai putra mahkota. Vajiralongkorn pernah jadi sorotan media internasional ketika mengenakan crop top, tato palsu dan celana jeans dengan anjing pudel dan seorang perempuan di area bandara di Jerman.



Thailand memilikiaturan Lèse-majesté—yang lebih dikenal sebagai "Pasal 112"—bagian dari Undang-Undang Pidana Thailand. Undang-undang untuk melindungi kerajaan dan keluarganya itu memuat ancaman 15 tahun penjara untuk setiap tuduhan memfitnah, menghina atau pun mengancam tokoh-tokoh kunci di istana. Aturan itu secara efektif melindungi monarki yang kuat dari kritik.



Tuduhan Lèse-majesté telah diajukan terhadap setidaknya 71 pengunjuk rasa, dengan tujuh pemimpin kunci ditolak jaminan pembebasannya saat mereka menunggu persidangan.



Tuduhan kejahatan terhadap demonstran remaja itu—yang identitasnya dirahasiakan oleh VOA News, karena dia masih di bawah umur—adalah mengenakan crop top pada sebuah protes dengan slogan anti-monarki tertulis di perutnya.

Itu dianggap penghinaan bagi raja, yang telah berulang kali ditampilkan di media Eropa mengenakan busana seperti itu saat berada di luar negeri.

“Mengapa saya dihukum karena memiliki opini yang berbeda?,” tanya demonstran remaja tersebut, yang dilansir Sabtu (27/3/2021).

“Saya tidak takut pada diri saya sendiri, tapi saya takut orang lain akan berakhir seperti saya. Saya khawatir ini mungkin menjadi alasan mengapa orang tidak keluar untuk memprotes lagi," ujarnya.

Remaja itu kemungkinan akan didakwa secara resmi oleh pengadilan pada Senin depan, yang kemudian dapat menolak jaminan untuk pembebasannya. Dia diyakini sebagai pengunjuk rasa termuda sejauh ini yang menghadapi hukum garis keras.

Pada puncaknya tahun lalu, protes Thailand mengguncang pemerintah dan membuat pihak royalis tidak seimbang.

Protes dimulai dengan menyerukan pemerintah perdana menteri, mantan panglima militer Prayuth Chan-Ocha, untuk mundur dan Senat Thailand dipilih rakyat alih-alih dipilih sendiri. Tuntutan itu dengan cepat berubah menjadi seruan agar kekuasaan monarki dibatasi di bawah konstitusi.

Serangan demonstran terhadap istana belum pernah terjadi sebelumnya, di mana para pengunjuk rasa menggunakan slogan dan meme anti-monarki, meneriakkan "Pajak Saya" dan memegang spanduk yang mendesak diakhirinya Pasal 112, Itu semua adalah tindakan pembangkangan yang tidak terpikirkan sebelumnya terhadap puncak piramida kekuasaan Thailand.

Jumlah pengunjuk rasa telah menyusut menjadi hanya ribuan, karena undang-undang pencemaran nama baik kerajaan telah membuat para pemimpin demo ditangkapi. Undang-undang itu pula yang membuat banyak orang takit untuk menghadiri demonstrasi.



Mereka yang tetap berada di jalanan semakin marah dengan penerapan hukum seperti itu.

Menurut demonstran remaja yang menghadapi sidang pengadilan; "Masalah Pasal 112 adalah hukum yang dirancang untuk menjaga ketidaksetaraan dan jika tidak ada persamaan, hukum dapat digunakan untuk diterapkan secara berbeda pada manusia yang berbeda."

Di Thailand, raja selama beberapa generasi memiliki status semi-dewa meskipun secara teori berada di luar politik di bawah konstitusi 1932.

Namun dalam praktiknya, monarki yang sangat kaya menyetujui promosi jenderal militer, menandatangani kudeta, dan mengacu pada kesetiaan hakim dan taipan miliarder di salah satu masyarakat paling tidak setara di Asia.

Thailand adalah kerajaan yang terbelah di mana banyak yang masih mengaku setia total kepada monarki, dan kaum royalis telah menjahili remaja tersebut meskipun usianya masih muda, menyebutnya sebagai "pembenci bangsa" di media sosial di antara ejekan lainnya.

Para kritikus mengatakan undang-undang pencemaran nama baik kerajaan itu busuk dan merusak diskusi terbuka tentang masalah penting masa depan Thailand.
(min)
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More