Analis: Myanmar Ambil Pelajaran yang Salah dari Transisi Politik Indonesia
Minggu, 21 Maret 2021 - 21:05 WIB
YANGON - Nehginpao Kipgen, Direktur Eksekutif di Pusat Kajian Asia Tenggara , Sekolah Urusan Internasional Jindal, India menuturkan bahwa para jenderal Myanmar mungkin telah terinspirasi oleh kudeta Suharto untuk menggulingkan musuh politik yang kuat di tahun 1960-an. Tetapi, dia menyebut, seharusnya Myanmar melihat transisi demokrasi Indonesia.
Dia mengatakan, meski militer Myanmar mungkin terinspirasi oleh bara api rezim Orde Baru di Indonesia, mereka gagal menyerap pelajaran dari transisi demokrasi Indonesia.
"Dalam upaya mereka untuk meniru model transisi demokrasi Indonesia, militer Myanmar telah menunjukkan niat untuk mentransfer kekuasaan, tetapi secara konsisten berhenti melakukannya," ucap Nehginpao, seperti dilansir Channel News Asia.
"Militer mengadopsi konstitusi 2008, menjamin transisi ke pemerintahan kuasi-sipil dan untuk badan yang dipilih oleh badan legislatif bikameral Myanmar untuk mengambil alih pada tahap akhir. Tetapi, jadwal tahun 2008 ini sudah merupakan penundaan dari pengumuman Perdana Menteri Jenderal Khin Nyunt tentang peta jalan tujuh langkah menuju demokrasi pada tahun 2003," sambungnya.
Militer juga, jelasnya, kemudian membuat undang-undang pemilu yang melarang siapa pun yang dihukum untuk bergabung dengan partai politik, yang mengharuskan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) mengusir pemimpinnya, yakni Aung San Suu Kyi untuk berpartisipasi, yang memaksa partai tersebut dan sekutunya untuk memboikot pemilu 2010.
"Meski merupakan kemenangan besar bagi Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan (USDP) yang didukung oleh militer, Myanmar mendapat kecaman keras dari komunitas internasional," jelasnya.
Dia menyebut, militer dengan enggan mencapai kesepakatan dengan NLD, mengizinkannya untuk ikut serta dalam pemilihan sela 2012, yang menyaksikan Barat mencabut sanksi dan membangun hubungan diplomatik. Ini meningkatkan ekonomi Myanmar dan proyek infrastruktur, yang mengalami pengabaian dalam beberapa dekade sebelumnya.
"Meskipun berupaya untuk mengikuti model Indonesia, militer Myanmar tidak mengikuti jalan yang ditentukan oleh transisi demokrasi Indonesia. Intinya, Tatmadaw belum siap menyerahkan kekuasaan," paparnya.
Nehginpao mengatakan, tidak sulit untuk mengetahui alasannya. Tahun lalu, ucapnya, NLD memperkenalkan undang-undang yang mengusulkan pengurangan bertahap bagian militer dari kursi di parlemen nasional, badan legislatif negara bagian dan badan legislatif daerah, dari 25 persen menjadi 15 persen setelah pemilu 2020, 10 persen setelah 2025, dan 5 persen setelah 2030.
"NLD juga mengusulkan penurunan persyaratan amandemen konstitusi untuk memiliki lebih dari 75 persen suara parlemen menjadi "dua pertiga dari perwakilan terpilih" yang mengecualikan calon militer. Militer menolak usulan ini, membenarkan tanggapannya atas dasar bahwa negara menghadapi ancaman terhadap kedaulatan nasionalnya, supremasi hukum dan stabilitas," ujarnya.
Setelah kemenangan telak NLD dalam pemungutan suara November 2020, jelasnya, militer juga mungkin menyimpan ketakutan akan dampak pelanggaran hak asasi manusia dan krisis Rohingya, setelah lebih banyak kekuasaan diserahkan kepada NLD.
"Kemudian lagi, mungkin benar-benar berpikir itu adalah satu-satunya lembaga nasional yang dapat menyatukan negara. Apapun itu, sepertinya hubungan stop-go dengan transisi demokrasi di Myanmar ini mungkin menjadi kenyataan negara untuk sementara waktu," tukasnya.
Dia mengatakan, meski militer Myanmar mungkin terinspirasi oleh bara api rezim Orde Baru di Indonesia, mereka gagal menyerap pelajaran dari transisi demokrasi Indonesia.
"Dalam upaya mereka untuk meniru model transisi demokrasi Indonesia, militer Myanmar telah menunjukkan niat untuk mentransfer kekuasaan, tetapi secara konsisten berhenti melakukannya," ucap Nehginpao, seperti dilansir Channel News Asia.
"Militer mengadopsi konstitusi 2008, menjamin transisi ke pemerintahan kuasi-sipil dan untuk badan yang dipilih oleh badan legislatif bikameral Myanmar untuk mengambil alih pada tahap akhir. Tetapi, jadwal tahun 2008 ini sudah merupakan penundaan dari pengumuman Perdana Menteri Jenderal Khin Nyunt tentang peta jalan tujuh langkah menuju demokrasi pada tahun 2003," sambungnya.
Militer juga, jelasnya, kemudian membuat undang-undang pemilu yang melarang siapa pun yang dihukum untuk bergabung dengan partai politik, yang mengharuskan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) mengusir pemimpinnya, yakni Aung San Suu Kyi untuk berpartisipasi, yang memaksa partai tersebut dan sekutunya untuk memboikot pemilu 2010.
"Meski merupakan kemenangan besar bagi Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan (USDP) yang didukung oleh militer, Myanmar mendapat kecaman keras dari komunitas internasional," jelasnya.
Dia menyebut, militer dengan enggan mencapai kesepakatan dengan NLD, mengizinkannya untuk ikut serta dalam pemilihan sela 2012, yang menyaksikan Barat mencabut sanksi dan membangun hubungan diplomatik. Ini meningkatkan ekonomi Myanmar dan proyek infrastruktur, yang mengalami pengabaian dalam beberapa dekade sebelumnya.
"Meskipun berupaya untuk mengikuti model Indonesia, militer Myanmar tidak mengikuti jalan yang ditentukan oleh transisi demokrasi Indonesia. Intinya, Tatmadaw belum siap menyerahkan kekuasaan," paparnya.
Nehginpao mengatakan, tidak sulit untuk mengetahui alasannya. Tahun lalu, ucapnya, NLD memperkenalkan undang-undang yang mengusulkan pengurangan bertahap bagian militer dari kursi di parlemen nasional, badan legislatif negara bagian dan badan legislatif daerah, dari 25 persen menjadi 15 persen setelah pemilu 2020, 10 persen setelah 2025, dan 5 persen setelah 2030.
"NLD juga mengusulkan penurunan persyaratan amandemen konstitusi untuk memiliki lebih dari 75 persen suara parlemen menjadi "dua pertiga dari perwakilan terpilih" yang mengecualikan calon militer. Militer menolak usulan ini, membenarkan tanggapannya atas dasar bahwa negara menghadapi ancaman terhadap kedaulatan nasionalnya, supremasi hukum dan stabilitas," ujarnya.
Setelah kemenangan telak NLD dalam pemungutan suara November 2020, jelasnya, militer juga mungkin menyimpan ketakutan akan dampak pelanggaran hak asasi manusia dan krisis Rohingya, setelah lebih banyak kekuasaan diserahkan kepada NLD.
"Kemudian lagi, mungkin benar-benar berpikir itu adalah satu-satunya lembaga nasional yang dapat menyatukan negara. Apapun itu, sepertinya hubungan stop-go dengan transisi demokrasi di Myanmar ini mungkin menjadi kenyataan negara untuk sementara waktu," tukasnya.
(esn)
Lihat Juga :
tulis komentar anda