Alasan Politik, Arab Saudi Tutup Sekolah Bahasa Turki
Rabu, 17 Maret 2021 - 13:44 WIB
ANKARA - Sejumlah pejabat Turki mengatakan bahwa keputusan Arab Saudi untuk menutup sekolah bahasa Turki di beberapa kota di seluruh kerajaan tahun lalu adalah murni langkah politik.
"Terlepas dari semua upaya yang dilakukan, otoritas Saudi menutup semua sekolah bahasa Turki di kota Makkah dan Madinah," kata juru bicara Kementerian Pendidikan Turki, Ahmet Emre Bilgili seperti dikutip dari Middle East Monitor, Rabu (17/3/2021).
Ia menambahkan bahwa sekolah lain mengalami banyak kesulitan.
Sementara itu, legislator yang juga anggota oposisi Partai Rakyat Republik, Otko Shaker Ozer, menolak keputusan Arab Saudi tersebut. Anggota Subkomite Parlemen untuk Turks Abroad itu mengatakan bahwa masalah antara kedua negara tidak boleh mempengaruhi atau membahayakan warga Turki di kerajaan., Ia menekankan bahwa itu adalah keputusan yang "sangat menyedihkan".
Dia menjelaskan bahwa beberapa keluhan telah diterima dari warga Turki yang tinggal di Arab Saudi, atas kesulitan yang mereka hadapi dalam mendidik anak-anak mereka di sekolah bahasa Turki dan meminta pihak berwenang Saudi untuk membatalkan keputusan mereka serta membuka kembali lembaga pendidikan tersebut sesegera mungkin.
Seorang pejabat dari Kementerian Pendidikan Turki mengatakan keputusan Saudi itu "murni politis", menekankan bahwa tidak ada alasan untuk menutup sekolah bahasa Turki.
Dia menambahkan bahwa Arab Saudi telah mengakhiri kegiatan pendidikan Turki di kerajaan dengan cara yang tidak sesuai dengan aturan internasional, menggambarkan keputusan tersebut sebagai "sewenang-wenang".
Dia menekankan perlunya mengakhiri penderitaan anak-anak Turki di Arab Saudi.
"Tidak dapat diterima bagi negara mana pun untuk mencegah warga negara lain untuk mengajar di sekolah mereka dalam bahasa mereka sendiri," ujarnya.
Selama beberapa tahun terakhir, hubungan antara Arab Saudi dan Turki semakin tegang oleh perbedaan diplomatik dan oleh keterlibatan satu sama lain dalam perang saudara di Suriah, terutama dukungan Turki terhadap Qatar setelah blokade yang diberlakukan oleh Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain dan Mesir pada 2017.
Ketegangan hubungan ini mencapai titik puncak dengan pembunuhan jurnalis Arab Saudi yang berbasis di Amerika Serikat (AS) Jamal Khashoggi di konsulat Saudi di Istanbul pada Oktober 2018. Setelah berbulan-bulan penyelidikan atas pembunuhan tersebut dan laporan PBB yang menyimpulkan bahwa agen Saudi membunuh Khashoggi di bawah komando langsung Putra Mahkota Mohammed bin Salman, Turki telah berulang kali menyerukan agar mereka yang bertanggung jawab diadili.
Akibatnya, kerajaan telah mendorong kampanye agar wisatawannya memboikot Turki melalui segala cara, termasuk pembelian produk, konsumsi makanan, penjualan properti, kesepakatan dengan perusahaan Turki, dan terutama pariwisata ke negara itu. Kampanye tersebut telah mengumpulkan dukungan di antara bangsawan dan tokoh Saudi. Kasus yang terkenal adalah ketika Gubernur Riyadh yang berpengaruh, Faisal bin Bandar menolak tawaran kopi Turki, memicu seruan untuk memboikot produk Turki.
Pada Agustus 2019, Kementerian Pendidikan Arab Saudi membuat serangkaian modifikasi pada buku sejarahnya, mengubah warisan Kekaisaran Ottoman dan menyebutnya sebagai "pendudukan".
"Terlepas dari semua upaya yang dilakukan, otoritas Saudi menutup semua sekolah bahasa Turki di kota Makkah dan Madinah," kata juru bicara Kementerian Pendidikan Turki, Ahmet Emre Bilgili seperti dikutip dari Middle East Monitor, Rabu (17/3/2021).
Ia menambahkan bahwa sekolah lain mengalami banyak kesulitan.
Sementara itu, legislator yang juga anggota oposisi Partai Rakyat Republik, Otko Shaker Ozer, menolak keputusan Arab Saudi tersebut. Anggota Subkomite Parlemen untuk Turks Abroad itu mengatakan bahwa masalah antara kedua negara tidak boleh mempengaruhi atau membahayakan warga Turki di kerajaan., Ia menekankan bahwa itu adalah keputusan yang "sangat menyedihkan".
Dia menjelaskan bahwa beberapa keluhan telah diterima dari warga Turki yang tinggal di Arab Saudi, atas kesulitan yang mereka hadapi dalam mendidik anak-anak mereka di sekolah bahasa Turki dan meminta pihak berwenang Saudi untuk membatalkan keputusan mereka serta membuka kembali lembaga pendidikan tersebut sesegera mungkin.
Seorang pejabat dari Kementerian Pendidikan Turki mengatakan keputusan Saudi itu "murni politis", menekankan bahwa tidak ada alasan untuk menutup sekolah bahasa Turki.
Dia menambahkan bahwa Arab Saudi telah mengakhiri kegiatan pendidikan Turki di kerajaan dengan cara yang tidak sesuai dengan aturan internasional, menggambarkan keputusan tersebut sebagai "sewenang-wenang".
Dia menekankan perlunya mengakhiri penderitaan anak-anak Turki di Arab Saudi.
"Tidak dapat diterima bagi negara mana pun untuk mencegah warga negara lain untuk mengajar di sekolah mereka dalam bahasa mereka sendiri," ujarnya.
Selama beberapa tahun terakhir, hubungan antara Arab Saudi dan Turki semakin tegang oleh perbedaan diplomatik dan oleh keterlibatan satu sama lain dalam perang saudara di Suriah, terutama dukungan Turki terhadap Qatar setelah blokade yang diberlakukan oleh Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain dan Mesir pada 2017.
Ketegangan hubungan ini mencapai titik puncak dengan pembunuhan jurnalis Arab Saudi yang berbasis di Amerika Serikat (AS) Jamal Khashoggi di konsulat Saudi di Istanbul pada Oktober 2018. Setelah berbulan-bulan penyelidikan atas pembunuhan tersebut dan laporan PBB yang menyimpulkan bahwa agen Saudi membunuh Khashoggi di bawah komando langsung Putra Mahkota Mohammed bin Salman, Turki telah berulang kali menyerukan agar mereka yang bertanggung jawab diadili.
Akibatnya, kerajaan telah mendorong kampanye agar wisatawannya memboikot Turki melalui segala cara, termasuk pembelian produk, konsumsi makanan, penjualan properti, kesepakatan dengan perusahaan Turki, dan terutama pariwisata ke negara itu. Kampanye tersebut telah mengumpulkan dukungan di antara bangsawan dan tokoh Saudi. Kasus yang terkenal adalah ketika Gubernur Riyadh yang berpengaruh, Faisal bin Bandar menolak tawaran kopi Turki, memicu seruan untuk memboikot produk Turki.
Pada Agustus 2019, Kementerian Pendidikan Arab Saudi membuat serangkaian modifikasi pada buku sejarahnya, mengubah warisan Kekaisaran Ottoman dan menyebutnya sebagai "pendudukan".
(ian)
tulis komentar anda