18 Demonstran Ditembak Mati, Aktivis Myanmar: Saya Nyatakan Militer Teroris!
Senin, 01 Maret 2021 - 14:17 WIB
YANGON - Para pengunjuk rasa di Myanmar bersiap untuk lebih banyak demonstrasi menentang pemerintahan junta hari ini (1/3/2021) setelah 18 demonstran ditembak mati kemarin. Sementara itu, aktivis muda setempat yang marah atas kebrutalan pasukan polisi dan tentara menyatakan militer di negara itu sebagai organisasi teroris.
Demo yang berakhir dengan pertumpahan darah pada hari Minggu kemarin menjadi hari kekerasan paling berdarah sejak militer melakukan kudeta terhadap pemerintah terpilih pimpinan Aung San Suu Kyi satu bulan lalu.
Kekerasan berkobar di berbagai wilayah kemarin dan polisi menembaki kerumunan di beberapa pusat demonstrasi di Yangon, setelah gas air mata dan tembakan peringatan gagal untuk membubarkan massa yang menuntut pemulihan pemerintahan Aung San Suu Kyi.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken mengutuk apa yang disebutnya sebagai "kekerasan yang menjijikkan" oleh pasukan keamanan Myanmar. Menteri Luar Negeri Kanada Marc Garneau menyebut penggunaan kekuatan mematikan oleh militer Myanmar terhadap rakyatnya sendiri "mengerikan".
Myanmar berada dalam kekacauan sejak tentara merebut kekuasaan dan menahan pemimpin pemerintah terpilih Suu Kyi dan sebagian besar kepemimpinan partainya pada 1 Februari. Junta militer merebut kekuasaan dengan menuduh pemilu November yang dimenangkan partainya Suu Kyi secara telak diwarnai kecurangan. Tuduhan itu sudah berkali-kali dibantah oleh komisi pemilu setempat.
Suu Kyi menghadapi tuduhan mengimpor enam radio walkie-talkie secara ilegal dan melanggar undang-undang bencana alam dengan melanggar protokol kesehatan terkait virus corona. Sidang pengadilan terakhirnya dijadwalkan pada hari Senin.
Kudeta, yang menghentikan langkah tentatif menuju demokrasi setelah hampir 50 tahun pemerintahan militer, telah menarik ratusan ribu demonstran ke jalan dan kecaman dari negara-negara Barat.
Tom Andrews, pelapor khusus PBB untuk hak asasi manusia (HAM) di Myanmar mengatakan jelas serangan junta akan berlanjut sehingga komunitas internasional perlu meningkatkan tanggapannya.
Demo yang berakhir dengan pertumpahan darah pada hari Minggu kemarin menjadi hari kekerasan paling berdarah sejak militer melakukan kudeta terhadap pemerintah terpilih pimpinan Aung San Suu Kyi satu bulan lalu.
Kekerasan berkobar di berbagai wilayah kemarin dan polisi menembaki kerumunan di beberapa pusat demonstrasi di Yangon, setelah gas air mata dan tembakan peringatan gagal untuk membubarkan massa yang menuntut pemulihan pemerintahan Aung San Suu Kyi.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken mengutuk apa yang disebutnya sebagai "kekerasan yang menjijikkan" oleh pasukan keamanan Myanmar. Menteri Luar Negeri Kanada Marc Garneau menyebut penggunaan kekuatan mematikan oleh militer Myanmar terhadap rakyatnya sendiri "mengerikan".
Myanmar berada dalam kekacauan sejak tentara merebut kekuasaan dan menahan pemimpin pemerintah terpilih Suu Kyi dan sebagian besar kepemimpinan partainya pada 1 Februari. Junta militer merebut kekuasaan dengan menuduh pemilu November yang dimenangkan partainya Suu Kyi secara telak diwarnai kecurangan. Tuduhan itu sudah berkali-kali dibantah oleh komisi pemilu setempat.
Suu Kyi menghadapi tuduhan mengimpor enam radio walkie-talkie secara ilegal dan melanggar undang-undang bencana alam dengan melanggar protokol kesehatan terkait virus corona. Sidang pengadilan terakhirnya dijadwalkan pada hari Senin.
Kudeta, yang menghentikan langkah tentatif menuju demokrasi setelah hampir 50 tahun pemerintahan militer, telah menarik ratusan ribu demonstran ke jalan dan kecaman dari negara-negara Barat.
Tom Andrews, pelapor khusus PBB untuk hak asasi manusia (HAM) di Myanmar mengatakan jelas serangan junta akan berlanjut sehingga komunitas internasional perlu meningkatkan tanggapannya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda