Polisi Myanmar Peringatkan Demonstran Bubar atau Hadapi Kekerasan
Selasa, 09 Februari 2021 - 00:01 WIB
YANGON - Polisi Myanmar memperingatkan pengunjuk rasa membubarkan diri atau menghadapi kekerasan.
Peringatan itu muncul tak lama setelah televisi pemerintah mengisyaratkan tindakan yang akan datang untuk membungkam demonstrasi menentang kudeta militer dan penangkapan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi.
Puluhan ribu orang bergabung dalam demonstrasi jalanan hari ketiga di kota-kota di penjuru negeri untuk mengecam kudeta militer pekan lalu.
Di ibu kota Naypyitaw, tiga barikade polisi dengan perlengkapan anti-huru hara terlihat di seberang jalan ketika pengunjuk rasa meneriakkan slogan anti-kudeta.
Lihat infografis: Kim Jong Un Larang Warganya Cukur ala Barat dan Pakai Jins Ketat
“Demonstran mengatakan kepada polisi bahwa mereka harus melayani rakyat, bukan militer,” ungkap laporan media dalam siaran langsung.
Lihat video: Waspada Banjir, Debit Air di Pos Panus Depok Siaga II
Polisi memasang tanda di jalan yang mengatakan bahwa peluru tajam dapat digunakan jika demonstran melanggar barisan ketiga polisi.
Sebelumnya, polisi di Naypyitaw secara singkat mengarahkan meriam air ke pengunjuk rasa.
Reuters tidak dapat menghubungi junta untuk mengomentari protes tersebut, tetapi media pemerintah mengisyaratkan kemungkinan tindakan terhadap mereka dalam komentar pertama pemerintah, dengan mengatakan publik ingin menyingkirkan "pelaku kesalahan".
“Kami, seluruh orang yang menghargai keadilan, kebebasan, persamaan, perdamaian dan keamanan, tidak hanya menolak untuk menerima para pelanggar hukum tetapi juga meminta agar mereka dicegah dan disingkirkan melalui kerjasama,” papar laporan stasiun televisi MRTV.
Meskipun tidak dikaitkan dengan otoritas atau kelompok mana pun, laporan itu kemudian dibacakan di jaringan milik militer.
Seruan untuk bergabung unjuk rasa dan mendukung kampanye pembangkangan sipil kian meluas dan lebih terorganisir sejak kudeta. Dunia internasional juga terus mengecam kudeta itu.
"Kami petugas kesehatan memimpin kampanye ini untuk mendesak semua staf pemerintah bergabung," papar Aye Misan, perawat di rumah sakit pemerintah saat protes di kota terbesar Yangon.
"Pesan kami kepada publik adalah bahwa kami bertujuan sepenuhnya menghapus rezim militer ini dan kami harus berjuang untuk takdir kami," ujar dia.
Unjuk rasa berlangsung baik dan sebagian besar damai, tidak seperti tindakan keras berdarah terhadap protes sebelumnya, khususnya pada 1988 dan 2007.
Ribuan orang juga berunjuk rasa di kota tenggara Dawei dan di ibu kota negara bagian Kachin di ujung utara.
Kerumunan massa yang besar mencerminkan penolakan terhadap junta militer oleh berbagai kelompok etnis, bahkan mereka yang telah mengkritik Suu Kyi dan menuduh pemerintahnya mengabaikan minoritas.
Di Yangon, sekelompok biksu berjubah oranye, yang memiliki sejarah menggalang aksi komunitas di negara yang mayoritas beragama Buddha, berbaris di barisan depan protes dengan para pekerja dan pelajar.
Para biksu mengibarkan bendera Buddha warna-warni di samping spanduk merah dengan warna Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin Suu Kyi.
NLD menang pemilu November tapi militer menolak kemenangan itu dengan dalih terjadi kecurangan.
"Bebaskan Pemimpin Kami, Hormati Suara Kami, Tolak Kudeta Militer," ungkap salah satu spanduk.
Protes tersebut adalah yang terbesar sejak "Revolusi Safron" yang dipimpin para biksu pada 2007, yang menyebabkan penarikan bertahap militer dari politik setelah beberapa dekade pemerintahan junta.
Namun era pemerintahan sipil yang dipimpin Suu Kyi itu tiba-tiba terhenti secara mengejutkan oleh kudeta militer pada 1 Februari lalu.
Peringatan itu muncul tak lama setelah televisi pemerintah mengisyaratkan tindakan yang akan datang untuk membungkam demonstrasi menentang kudeta militer dan penangkapan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi.
Puluhan ribu orang bergabung dalam demonstrasi jalanan hari ketiga di kota-kota di penjuru negeri untuk mengecam kudeta militer pekan lalu.
Di ibu kota Naypyitaw, tiga barikade polisi dengan perlengkapan anti-huru hara terlihat di seberang jalan ketika pengunjuk rasa meneriakkan slogan anti-kudeta.
Lihat infografis: Kim Jong Un Larang Warganya Cukur ala Barat dan Pakai Jins Ketat
“Demonstran mengatakan kepada polisi bahwa mereka harus melayani rakyat, bukan militer,” ungkap laporan media dalam siaran langsung.
Lihat video: Waspada Banjir, Debit Air di Pos Panus Depok Siaga II
Polisi memasang tanda di jalan yang mengatakan bahwa peluru tajam dapat digunakan jika demonstran melanggar barisan ketiga polisi.
Sebelumnya, polisi di Naypyitaw secara singkat mengarahkan meriam air ke pengunjuk rasa.
Reuters tidak dapat menghubungi junta untuk mengomentari protes tersebut, tetapi media pemerintah mengisyaratkan kemungkinan tindakan terhadap mereka dalam komentar pertama pemerintah, dengan mengatakan publik ingin menyingkirkan "pelaku kesalahan".
“Kami, seluruh orang yang menghargai keadilan, kebebasan, persamaan, perdamaian dan keamanan, tidak hanya menolak untuk menerima para pelanggar hukum tetapi juga meminta agar mereka dicegah dan disingkirkan melalui kerjasama,” papar laporan stasiun televisi MRTV.
Meskipun tidak dikaitkan dengan otoritas atau kelompok mana pun, laporan itu kemudian dibacakan di jaringan milik militer.
Seruan untuk bergabung unjuk rasa dan mendukung kampanye pembangkangan sipil kian meluas dan lebih terorganisir sejak kudeta. Dunia internasional juga terus mengecam kudeta itu.
"Kami petugas kesehatan memimpin kampanye ini untuk mendesak semua staf pemerintah bergabung," papar Aye Misan, perawat di rumah sakit pemerintah saat protes di kota terbesar Yangon.
"Pesan kami kepada publik adalah bahwa kami bertujuan sepenuhnya menghapus rezim militer ini dan kami harus berjuang untuk takdir kami," ujar dia.
Unjuk rasa berlangsung baik dan sebagian besar damai, tidak seperti tindakan keras berdarah terhadap protes sebelumnya, khususnya pada 1988 dan 2007.
Ribuan orang juga berunjuk rasa di kota tenggara Dawei dan di ibu kota negara bagian Kachin di ujung utara.
Kerumunan massa yang besar mencerminkan penolakan terhadap junta militer oleh berbagai kelompok etnis, bahkan mereka yang telah mengkritik Suu Kyi dan menuduh pemerintahnya mengabaikan minoritas.
Di Yangon, sekelompok biksu berjubah oranye, yang memiliki sejarah menggalang aksi komunitas di negara yang mayoritas beragama Buddha, berbaris di barisan depan protes dengan para pekerja dan pelajar.
Para biksu mengibarkan bendera Buddha warna-warni di samping spanduk merah dengan warna Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin Suu Kyi.
NLD menang pemilu November tapi militer menolak kemenangan itu dengan dalih terjadi kecurangan.
"Bebaskan Pemimpin Kami, Hormati Suara Kami, Tolak Kudeta Militer," ungkap salah satu spanduk.
Protes tersebut adalah yang terbesar sejak "Revolusi Safron" yang dipimpin para biksu pada 2007, yang menyebabkan penarikan bertahap militer dari politik setelah beberapa dekade pemerintahan junta.
Namun era pemerintahan sipil yang dipimpin Suu Kyi itu tiba-tiba terhenti secara mengejutkan oleh kudeta militer pada 1 Februari lalu.
(sya)
tulis komentar anda