Virus Nipah di China dengan Tingkat Kematian 75% Bisa Menjadi Pandemi Baru
Senin, 01 Februari 2021 - 12:07 WIB
AMSTERDAM - Wabah virus Nipah di China , dengan tingkat kematian hingga 75 persen, berpotensi menjadi pandemi besar berikutnya. Perusahaan farmasi raksasa ini tidak siap karena masih fokus menghadapi pandemi COVID-19 .
Analisis tentang potensi pandemi berikutnya itu disampaikan Access to Medicine Foundation yang berbasis di Belanda dalam sebuah laporan.
“Virus Nipah adalah penyakit menular lain yang muncul dan menimbulkan kekhawatiran besar. Nipah bisa meledak kapan saja. Pandemi berikutnya bisa jadi infeksi yang resistan terhadap obat," kata direktur eksekutif Access to Medicine Foundation, Jayasree K Iyer, yang dilansir The Guardian, Minggu (31/1/2021) malam.
Virus Nipah ini langka dan disebarkan oleh kelelawar buah. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), virus ini dapat menyebabkan gejala mirip flu dan kerusakan otak.
Selain itu, lanjut WHO, virus Nipah juga dapat menyebabkan ensefalitis atau radang otak. Perawatan yang biasa dilakukan adalah perawatan suportif.
Wabah virus Nipah di negara bagian selatan India, Kerala, pada 2018 merenggut 17 nyawa. Pada saat itu, negara-negara seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab untuk sementara melarang impor buah dan sayuran beku dan olahan dari Kerala sebagai akibat dari wabah di sana.
Saat itu, pejabat kesehatan percaya bahwa wabah Nipah di Bangladesh dan India mungkin terkait dengan minum jus kurma.
Laporan Access to Medicine Index 2021 melihat tindakan dari 20 perusahaan farmasi terkemuka di dunia untuk membuat obat, vaksin, dan diagnostik lebih mudah diakses. Ditemukan bahwa penelitian dan pengembangan untuk COVID-19 telah meningkat dalam setahun terakhir, tetapi risiko pandemi lainnya sejauh ini belum tertangani.
“Indeks ini disiapkan selama krisis kesehatan masyarakat terburuk dalam satu abad—yang telah mengungkapkan ketidaksetaraan kronis akses ke obat tidak seperti sebelumnya. Namun, setelah bertahun-tahun mendorong perencanaan akses, kami sekarang melihat pergeseran strategis ke arah ini. Hal ini secara radikal dapat mengubah seberapa cepat akses ke produk baru dicapai—jika kepemimpinan perusahaan bertekad untuk memastikan orang yang tinggal di negara berpenghasilan rendah dan menengah tidak berada di antrean terakhir," imbuh laporan tersebut mengutip pernyataan Iyer.
Analisis tentang potensi pandemi berikutnya itu disampaikan Access to Medicine Foundation yang berbasis di Belanda dalam sebuah laporan.
“Virus Nipah adalah penyakit menular lain yang muncul dan menimbulkan kekhawatiran besar. Nipah bisa meledak kapan saja. Pandemi berikutnya bisa jadi infeksi yang resistan terhadap obat," kata direktur eksekutif Access to Medicine Foundation, Jayasree K Iyer, yang dilansir The Guardian, Minggu (31/1/2021) malam.
Virus Nipah ini langka dan disebarkan oleh kelelawar buah. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), virus ini dapat menyebabkan gejala mirip flu dan kerusakan otak.
Selain itu, lanjut WHO, virus Nipah juga dapat menyebabkan ensefalitis atau radang otak. Perawatan yang biasa dilakukan adalah perawatan suportif.
Wabah virus Nipah di negara bagian selatan India, Kerala, pada 2018 merenggut 17 nyawa. Pada saat itu, negara-negara seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab untuk sementara melarang impor buah dan sayuran beku dan olahan dari Kerala sebagai akibat dari wabah di sana.
Saat itu, pejabat kesehatan percaya bahwa wabah Nipah di Bangladesh dan India mungkin terkait dengan minum jus kurma.
Laporan Access to Medicine Index 2021 melihat tindakan dari 20 perusahaan farmasi terkemuka di dunia untuk membuat obat, vaksin, dan diagnostik lebih mudah diakses. Ditemukan bahwa penelitian dan pengembangan untuk COVID-19 telah meningkat dalam setahun terakhir, tetapi risiko pandemi lainnya sejauh ini belum tertangani.
“Indeks ini disiapkan selama krisis kesehatan masyarakat terburuk dalam satu abad—yang telah mengungkapkan ketidaksetaraan kronis akses ke obat tidak seperti sebelumnya. Namun, setelah bertahun-tahun mendorong perencanaan akses, kami sekarang melihat pergeseran strategis ke arah ini. Hal ini secara radikal dapat mengubah seberapa cepat akses ke produk baru dicapai—jika kepemimpinan perusahaan bertekad untuk memastikan orang yang tinggal di negara berpenghasilan rendah dan menengah tidak berada di antrean terakhir," imbuh laporan tersebut mengutip pernyataan Iyer.
(min)
tulis komentar anda