Militer Myanmar Ancam Lakukan Kudeta, PBB dan Barat Prihatin
Jum'at, 29 Januari 2021 - 16:47 WIB
NEW YORK - Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres mengatakan dia mengikuti dengan "keprihatinan besar" perkembangan di Myanmar , di mana ancaman militer dan ketakutan kudeta telah membayangi rencana pembukaan parlemen.
Meningkatnya ketegangan antara pemerintah sipil dan militer yang kuat di Myanmar telah menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya kudeta setelah pemilihan umum yang menurut militer ada kecurangan.
Militer Myanmar mengatakan pihaknya berencana untuk "mengambil tindakan" jika keluhannya tentang pemilu tidak ditangani dan seorang juru bicara pekan ini menolak untuk mengesampingkan kemungkinan perebutan kekuasaan.
"Semua aktor berhenti dari segala bentuk hasutan atau provokasi, menunjukkan kepemimpinan, dan mematuhi norma-norma demokrasi serta menghormati hasil pemilihan umum 8 November," kata Guterres dalam sebuah pernyataan.
“Semua sengketa pemilu harus diselesaikan melalui mekanisme hukum yang ditetapkan,” tambahnya seperti dikutip dari Reuters, Jumat (29/1/2021).
Dalam pernyataan terpisah, negara-negara Barat mengatakan mereka menantikan "pertemuan damai" parlemen pada hari Senin.
"Kami mendesak militer, dan semua partai lain di negara itu untuk mematuhi norma-norma demokrasi, dan kami menentang segala upaya untuk mengubah hasil pemilu atau menghalangi transisi demokrasi Myanmar," bunyi pernyataan yang antara lain ditandatangani oleh kedutaan besar Australia, Inggris, Kanada, Uni Eropa, dan Amerika Serikat.
Panglima Militer Myanmar melontarkan retorika kudeta terhadap pemerintah berkuasa, yakni kubu Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi. Retorika itu muncul di tengah krisis politik terkait dugaan kecurangan Pemilu.
Meningkatnya ketegangan antara pemerintah sipil dan militer yang kuat di Myanmar telah menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya kudeta setelah pemilihan umum yang menurut militer ada kecurangan.
Militer Myanmar mengatakan pihaknya berencana untuk "mengambil tindakan" jika keluhannya tentang pemilu tidak ditangani dan seorang juru bicara pekan ini menolak untuk mengesampingkan kemungkinan perebutan kekuasaan.
"Semua aktor berhenti dari segala bentuk hasutan atau provokasi, menunjukkan kepemimpinan, dan mematuhi norma-norma demokrasi serta menghormati hasil pemilihan umum 8 November," kata Guterres dalam sebuah pernyataan.
“Semua sengketa pemilu harus diselesaikan melalui mekanisme hukum yang ditetapkan,” tambahnya seperti dikutip dari Reuters, Jumat (29/1/2021).
Dalam pernyataan terpisah, negara-negara Barat mengatakan mereka menantikan "pertemuan damai" parlemen pada hari Senin.
"Kami mendesak militer, dan semua partai lain di negara itu untuk mematuhi norma-norma demokrasi, dan kami menentang segala upaya untuk mengubah hasil pemilu atau menghalangi transisi demokrasi Myanmar," bunyi pernyataan yang antara lain ditandatangani oleh kedutaan besar Australia, Inggris, Kanada, Uni Eropa, dan Amerika Serikat.
Panglima Militer Myanmar melontarkan retorika kudeta terhadap pemerintah berkuasa, yakni kubu Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi. Retorika itu muncul di tengah krisis politik terkait dugaan kecurangan Pemilu.
tulis komentar anda