Iran Mulai Riset Bahan Bakar Nuklir Berbasis Logam Uranium
Kamis, 14 Januari 2021 - 01:01 WIB
Dikatakan bahwa jika, setelah kesepakatan dibuat selama satu dekade, Iran kemudian berusaha memulai penelitian tentang bahan bakar berbasis logam uranium untuk Teheran Research Reactor, Iran akan meminta persetujuan dari pihak lain untuk kesepakatan tersebut.
Logam uranium merupakan masalah sensitif karena berpotensi dapat digunakan untuk senjata nuklir.
IAEA sedang menyelidiki kemungkinan penggunaan bahan bakar itu di masa lalu oleh Iran, jauh sebelum kesepakatan nuklir tercapai.
Iran menyatakan bahwa mereka tidak pernah menginginkan senjata nuklir dan tidak akan pernah.
Pada Desember, parlemen Iran yang didominasi kubu garis keras mengeluarkan Undang-undang (UU) yang mewajibkan pemerintah memperkuat sikap nuklirnya, termasuk peresmian pabrik logam uranium di Isfahan dalam waktu lima bulan.
UU itu juga mengatakan jika sanksi Amerika Serikat (AS) tidak mereda pada 21 Februari, Teheran akan meningkatkan pengayaan uranium dan akan mengakhiri kewenangan inspeksi yang diberikan kepada IAEA melalui kesepakatan nuklir, membatasi inspeksi hanya untuk situs nuklir yang dideklarasikan.
Dalam langkah yang mungkin akan mempersulit upaya Presiden AS terpilih Joe Biden untuk memasukkan kembali AS dalam pakta tersebut, Iran kembali memperkaya uranium hingga 20% kekuatan fisilnya di fasilitas nuklir bawah tanah Fordow awal bulan ini.
Teheran mulai melanggar perjanjian nuklir 2015 pada 2019 sebagai tanggapan selangkah demi selangkah atas penarikan mundur Presiden Donald Trump dari kesepakatan itu pada 2018.
Lihat Juga: Israel Lebih Suka Trump atau Kamala Harris jadi Presiden AS ? Simak Penjelasan dan Alasannya
Logam uranium merupakan masalah sensitif karena berpotensi dapat digunakan untuk senjata nuklir.
IAEA sedang menyelidiki kemungkinan penggunaan bahan bakar itu di masa lalu oleh Iran, jauh sebelum kesepakatan nuklir tercapai.
Iran menyatakan bahwa mereka tidak pernah menginginkan senjata nuklir dan tidak akan pernah.
Pada Desember, parlemen Iran yang didominasi kubu garis keras mengeluarkan Undang-undang (UU) yang mewajibkan pemerintah memperkuat sikap nuklirnya, termasuk peresmian pabrik logam uranium di Isfahan dalam waktu lima bulan.
UU itu juga mengatakan jika sanksi Amerika Serikat (AS) tidak mereda pada 21 Februari, Teheran akan meningkatkan pengayaan uranium dan akan mengakhiri kewenangan inspeksi yang diberikan kepada IAEA melalui kesepakatan nuklir, membatasi inspeksi hanya untuk situs nuklir yang dideklarasikan.
Dalam langkah yang mungkin akan mempersulit upaya Presiden AS terpilih Joe Biden untuk memasukkan kembali AS dalam pakta tersebut, Iran kembali memperkaya uranium hingga 20% kekuatan fisilnya di fasilitas nuklir bawah tanah Fordow awal bulan ini.
Teheran mulai melanggar perjanjian nuklir 2015 pada 2019 sebagai tanggapan selangkah demi selangkah atas penarikan mundur Presiden Donald Trump dari kesepakatan itu pada 2018.
Lihat Juga: Israel Lebih Suka Trump atau Kamala Harris jadi Presiden AS ? Simak Penjelasan dan Alasannya
(sya)
tulis komentar anda