Dilema Indonesia Hadapi Covid-19: Antara PSBB dan Risiko Kelaparan

Kamis, 14 Mei 2020 - 07:39 WIB
Petugas Palang Merah Indonesia mengenakan pakaian pelindung menyemprotkan desinfektan di jalan untuk mencegah penyebaran Covid-19 di Jakarta, Indonesia. Foto/REUTERS
JAKARTA - Indonesia telah mencatat 689 kasus infeksi virus corona baru kemarin, sebuah rekor kasus harian tertinggi sejak pandemi dimulai. Lonjakan jumlah kasus ini terjadi ketika pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) berencana membuka kembali perekonomiannya mulai awal Juni.

Pemerintah hendak melonggarkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dengan hati-hati, yakni secara bertahap dengan pertimbangan pembatasan yang berkepanjangan berisiko memicu bencana kelaparan.

Namun, jika pelonggaran PSBB terlalu dini akan membuat masa pandemi Covid-19 —penyakit yang disebabkan oleh virus corona baru; SARS-CoV-2—akan berlangsung lebih lama dari yang diharapan segera berakhir. Inilah yang jadi dilema pemerintah Indonesia saat ini.



Seperti banyak negara di dunia, Indonesia sedang mencoba untuk menyeimbangkan perlunya penegakan PSBB untuk mencegah penyebaran virus corona baru dengan perlunya pembukaan kembali perekonomian sehingga orang-orang dapat memperoleh penghasilan yang cukup untuk hidup.

Perlambatan dalam kegiatan ekonomi telah menyengsarakan buruh harian di sektor ekonomi informal, di mana jutaan orang kehilangan pekerjaan mereka. (Baca: Intelijen Lima Mata Tunjukkan Bagaimana China Tipu Dunia soal COVID-19 )

Sebanyak 689 kasus baru infeksi Covid-19 pada hari Rabu menambah jumlah total kasus menjadi 15.438 dengan 1.028 kematian dan sebanyak 3.287 pasien berhasil disembuhkan. Sebelumnya rekor kasus harian tertinggi adalah 484 dan 533 dengan selisih beberapa hari.

Presiden Jokowi mengeluh tentang tingkat tes Covid-19 yang rendah, dengan hanya 53 dari 104 laboratorium yang ditunjuk untuk melakukan tes PCR dan jumlah yang diproses setiap hari berkisar sekitar 4.000 hingga 5.000.

Meskipun tingkat tes telah meningkat, jumlah harian itu masih jauh di bawah target yakni 10.000 per hari yang telah ditetapkan Presiden, dan jauh di bawah beberapa negara tetangga.

Raden Pardede, penasihat khusus untuk Menteri Ekonomi, merilis rincian rencana pembukaan kembali perekonomian, di mana toko kelontong dan pusat perbelanjaan diinginkan melanjutkan operasi secara terbatas mulai 8 Juni. Restoran, kafe, bar, dan pusat kebugaran akan mulai dibuka kembali pada bulan Juli, dan pembatasan angkutan umum akan dicabut setelah itu.

Tetapi Raden mengatakan kepada media Australia; The Sydney Morning Herald dan The Age, bahwa pemerintah tidak mutlak berpatokan pada timeline tersebut dan bahwa timeline Juni didasarkan pada prediksi untuk penyebaran infeksi yang terkandung dalam makalah Singapore University of Technology and Design.

"Kebijakan ekonomi akan selalu didasarkan pada kondisi kesehatan, pada saat wabah dapat ditanggulangi. Saya harus akui, wabah menimbulkan situasi yang sangat sulit bagi perekonomian karena kita memiliki banyak orang mencari nafkah di sektor informal. Ini adalah orang-orang yang dengan upah cukup untuk sehari. Mereka tidak memiliki tabungan," katanya.

"Jika kita menutup ekonomi selama tiga bulan, bagaimana mereka bisa bertahan hidup? Ini juga akan sangat sulit bagi pemerintah untuk memberikan dukungan untuk periode jangka panjang. Pendekatan kami adalah bagaimana cara bertahan dari wabah dan bagaimana menghindari kelaparan," kata Raden, yang dilansir Kamis (14/5/2020). (Baca juga: Bukan Gertak Sambal, China Realisasikan Ancamannya pada Australia )

Batas waktu pemerintah untuk pembukaan kembali ekonomi secara bertahap sekarang kemungkinan adalah Juli atau Agustus mendatang.

"Jika kita terlalu lama menutup (bisnis dan ekonomi), tidak ada yang akan mati karena penyakit ini tetapi kita akan mati karena kelaparan. Kita harus bertahan hidup berdua. Ingat, virus telah ada di antara kita selama sepuluh ribu tahun sehingga kita harus hidup dengan itu," ujar Raden.

Epidemiolog Tri Yunis Miko Wahyono, dari Universitas Indonesia, mengatakan masih terlalu dini untuk melonggarkan PSBB karena jumlah kasus baru masih meningkat.

"Sekarang, wabah ini masih terus berkembang. Ini ditunjukkan dengan jumlah kasus baru yang meningkat. Kurva akan rata pada akhir Juni atau Juli," katanya, ketika membuat perkiraan.

"Membuka kembali bisnis dan ekonomi sebelumnya selama sejumlah besar kasus baru dapat menghasilkan transmisi Covid-19 yang tinggi, maka perataan kurva akan tertunda."

Sebagai perbandingan, Thailand telah mulai melonggarkan pembatasan tetapi masyarakat masih didesak untuk memakai masker dan mempertahankan jarak sosial (social distancing). Negara ini telah memiliki total 3.017 kasus dan 56 kematian sejak wabah dimulai pada Januari, dengan 2.844 pasien telah sembuh.

Malaysia memiliki peningkatan kasus dalam jumlah kecil sejak pelonggaran pembatasan pada 5 Mei. Sedangkan Singapura masih mencatat lonjakan kasus di komunitas pekerja bergaji rendah di sebuah asrama.
(min)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More